x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sains dan Agama: Dua Jalur untuk Memahami Alam

Sebagian orang menganggap sains dan agama tak bisa dipersandingkan. Yang lain berpendapat, keduanya saling melengkapi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Science without religion is lame, religion without science is blind.”
--Alber Einstein (Fisikawan, 1879-1955)
 
“Science is not only compatible with spirituality; it is a profound source of spirituality.“
--Carl Sagan (Astronom, Novelis, 1934-1996)

Saat buku The Grand Design terbit beberapa waktu lalu, sambutan publik tidak semeriah ketika The Brief History of Time dipublikasikan. Kendati begitu, Stephen Hawking, penulisnya, tak kurang piawai dalam menyemarakkan kemunculan bukunya di muka umum. Menyambut terbitnya buku itu, Hawking mengeluarkan pernyataan yang memancing kembali diskusi soal sains dan agama. Kata Hawking: “Ada perbedaan fundamental antara agama yang didasarkan atas otoritas dan sains yang didasarkan atas observasi dan nalar.” Ia lalu berujar: “Sains akan menang.”

Sebagaimana Hawking, ahli biologi Richard Dawkins juga menampik kehadiran Sang Pencipta dengan penalaran: sains didasarkan atas bukti yang dapat diverifikasi, sedangkan keyakinan agama bukan hanya tidak punya bukti, tapi bahkan kemandiriannya dari bukti merupakan kebanggaan dan kesenangannya. Ahli biologi ini meyakini bahwa evolusi—yang ia sebut sebagai “sang desainer buta”—menggunakan trial and error secara terus-meneruis untuk bisa mencari ruang yang luas dari struktur kehidupan yang mungkin.

Kedua ilmuwan Inggris itu beranggapan bahwa ketidakcocokan sains dan agama dikarenakan oleh perbedaan tajam di antara epistemologi keduanya. Sains merupakan studi sistematis terhadap fenomena alam (natural world) dengan memanfaatkan indera manusia dan instrumen tertentu. Di sisi lain, agama mengajarkan bahwa manusia memiliki “indera dalam” (internal sense) yang memungkinkan manusia untuk mengakses jagat yang melampau dunia kasat mata. Inilah realitas transeden atau disebut supernatural.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berlawanankah keduanya? Bagi fisikawan Victor Stenger, dua hal itu tidak dapat diakurkan. Ia tak membantah bahwa banyak ilmuwan yang juga beragama. Namun, baginya, para ilmuwan itu telah membagi dua otak mereka ke dalam dua bagian yang sebenarnya tidak berbicara satu sama lain. Otak yang satu, kata Stenger, mestinya tidak mungkin menerima otak yang satu lagi; sebab, keduanya kontradiktif.

Pandangan Stenger itu menyiratkan pengertian bahwa bagian-bagian otak itu bersikap egois satu sama lain. Benarkah begitu? Tidakkah kita dapat melihatnya sebagai dua sisi yang saling melengkapi, sehingga justru membentuk pemahaman yang utuh? Bukankah manusia juga saling melengkapi, antara laki-laki dan perempuan? Bahkan, di dalam diri kita masing-masing pun terdapat unsur feminin dan maskulin sekaligus. John Gray, dengan bukunya Men are from Mars, Women are from Venus, memahami perbedaan itu sebagai unsur yang saling melengkapi dan membangun harmoni.

Dualitas yang saling melengkapi, dalam hemat saya, merupakan pilihan yang mungkin terkait dengan isu sains dan agama. Sebagai contoh, dualitas yang saling melengkapi juga ditunjukkan oleh watak cahaya sebagai partikel dan gelombang. Untuk mengatasi apa yang terlihat sebagai absurd lantaran terkesan bahwa partikel dan gelombang merupakan karakter yang bertentangan, fisikawan Niels Bohr memperkenalkan pengertian ‘komplementer’ atau saling melengkapi. Bohr memandang partikel dan gelombang sebagai gambaran yang saling melengkapi atas realitas yang sama. Tidak ada yang satu salah dan yang lain benar.

Matematikawan mashur Kurt Gödel juga mengingatkan bahwa manusia perlu menerima paradoks sebagai karakter yang melekat dalam alam semesta. Benar yang dikatakan Mehdi Golshani, fisikawan berdarah Iran, bahwa pandangan Gödel itu berdampak penting terhadap ilmu kealaman, yang di dalamnya matematika memainkan peran mendasar. Untuk dapat memahami sains, orang harus melangkah keluar dari batas-batas sains. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa apa yang disebut ‘natural’ dan ‘supernatural’ merupakan dua sisi dari realitas yang sama. Maknanya: alam semesta dapat didekati dari dua sisi yang ‘kelihatannya’ berlawanan.

“Penciptaan alam semesta,” kata Hawking, “tidak memerlukan intervensi sesuatu yang bersifat supernatural atau Tuhan. Semesta muncul alamiah dari hukum-hukum fisika.” Sedangkan Richard Dawkins mengatakan, “...bersama seleksi alam, faktor kebetulan berubah menjadi sejumlah langkah kecil yang melalui waktu berabad-abad mampu menghasilkan mukjizat seperti dinosaurus dan diri kita sendiri.”

Namun, Arthur Peacock, ahli biokimia, menafsirkan teori evolusi secara berbeda dibandingkan Dawkins. “Saya kira teori evolusi telah mengartikulasikan, membongkar, dan menjelaskan kepada kita bagaimana Tuhan menciptakan kehidupan dan berbagai bentuk kehidupan,” ujar Peacock. Menurut Peacock, proses evolusi memungkinkan lahirnya bentuk kehidupan baru, tapi teori evolusi tidak bisa menjawab pertanyaan mengapa harus ada proses seperti itu. Pertanyaan ‘mengapa’ inilah yang berada di ranah supernatural.

Pada akhirnya ada keterbatasan ketika kita berusaha memahami alam melalui jalur sains semata. Seperti dikatakan fisikawan Freeman Dyson, setiapm kali kita memperkenalkan alat baru, ia selalu membawa kita kepada penemuan baru yang tidak terduga. “Imajinasi alam  lebih kaya dari imajinasi kita,” kata Dyson. Ketika itulah, kita mesti siap mengarungi sisi lain dari realitas yang sama—yang tak kalah luasnya. (sbr foto: mrrl.org) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler