x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kurikulum Bukan Urusan Para Menteri Saja

Kurikulum semestinya bukan urusan menteri pendidikan saja, tapi menjadi agenda nasional yang dibicarakan bersama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir."
--Ki Hajar Dewantara (Pendidik, 1889-1959)

 

Ganti menteri, ganti kebijakan. Pemeo lama ini tetap berlaku hingga kini. Jika kebijakan menteri baru lebih baik, ya patut disambut dengan apresiasi dan senang hati. Betapapun baiknya, tetap saja patut dipertanyakan: apakah kebijakan itu menampung kebutuhan strategis jangka panjang atau tidak.

Dalam konteks pendidikan misalnya, Menteri Pendidikan Anies Baswedan memutuskan Kurikulum 2013 (K-13) dihentikan penerapannya di sebagian besar sekolah. Hanya sekolah yang sudah memakai K-13 selama 3 semester boleh jalan terus. Menteri pendidikan terdahulu tak setuju dengan kebijakan ini. Dapat dimaklumi, sebab K-13 disusun dan diputuskan pada masa kepemimpinannya. Menteri yang baru mengevaluasi. Dapat dimaklumi pula, sebab ia merasa kebijakan tersebut kurang tepat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak heran bila kemudian perbedaan pendapat di antara menteri pendidikan lama dan baru ini menjadi menu pemberitaan para jurnalis. Sayangnya, mereka tidak duduk bersama untuk mendiskusikan isu penting ini. “Don’t take it personally,” kata  Bung Anies, yang mungkin merasa Pak Nuh, menteri lama, geregetan.

Masing-masing menteri punya pertimbangan sendiri-sendiri mengenai kurikulum seperti apa yang baik bagi pendidikan di Indonesia. Ketika Menteri Anies menghentikan pemakaian K-13, respons guru dan masyarakat beragam. Sebagian guru menyambut positif. Sebagian lainnya merasa lelah bila harus berganti lagi dengan kurikulum lain.

Di sinilah duduk masalahnya: kurikulum selama ini menjadi urusan kementerian pendidikan semata. Sebagai isu strategis karena menyangkut bagaimana anak-anak Indonesia dididik, masalah kurikulum terlampau penting untuk dipasrahkan kepada kementerian pendidikan semata.

Kurikulum adalah perwujudan operasional dari strategi untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalamnya tercantum mata ajar apa saja yang akan dipelajari anak didik, bagaimana pengajaran dilakukan, pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang harus dikuasai, berapa jam dialokasikan untuk masing-masing mata ajar, bagaimana cara evaluasinya, dst.

Kurikulum sangat krusial lantaran menyangkut bagaimana anak-anak Indonesia dipersiapkan untuk menghadapi masa depan mereka. Karena itu, penyusunan kurikulum seyogyanya merupakan bagian dari strategi pembangunan manusia Indonesia, bukan semata urusan teknis belajar-mengajar. Kurikulum mesti menjawab pertanyaan dasar: manusia Indonesia seperti apa yang kita persiapkan melalui pendidikan?

Begitu besar dan strategis urusan pendidikan kita, sehingga kurikulum mestinya disusun dengan mempertimbangkan jangka panjang; bukan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Dibutuhkan kemampuan forecasting (peramalan) dalam menyusun kurikulum yang mempertimbangkan kebutuhan anak-anak Indonesia, misalnya, 15 tahun mendatang.

Situasi masa itu jelas berbeda dengan sekarang, niscaya banyak perubahan terjadi. Sebab itu, pembentukan karakter merupakan unsur terpenting dari strategi maupun kurikulum pendidikan, baru kemudian kreativitas, pengetahuan, dan keterampilan. Karakter baik menjadi benteng yang kuat dalam menghadapi perubahan apapun.

Menjadi soal kemudian: bagaimana meletakkan penyusunan kurikulum pendidikan ini sebagai isyu strategis yang dibicarakan bersama dan melibatkan masyarakat luas, bukan hanya menjadi urusan kementerian pendidikan, apa lagi sekedar concerned menterinya saja. Penyusunan kurikulum pendidikan harus menjadi agenda nasional dan disusun dalam kerangka strategi kebudayaan dan pembangunan manusia Indonesia. Sebagai strategi kebudayaan, ia harus menjadi keputusan bersama, bukan orang per orang. Dengan begitu, kurikulum tak gampang berubah cepat. Tidak lagi ganti menteri, ganti kurikulum. (sbr foto: tempo) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler