x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Virus Popularitas

Ketenaran memang begitu dekat dengan narsistis, meski fenomena sosial mesti dipahami dalam konteks kolektif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Avoid popularity if you would have peace.”
--Abraham Lincoln (Presiden AS, 1809-1865)

 

Selalu ada harga untuk popularitas. Apa yang tampak bagus mungkin dicari-cari kelemahannya. Ada yang siap menghadapi komentar publik, ada pula yang gamang. Walau begitu, semakin banyak saja orang yang memburu popularitas atau ketenaran.

Dipinjam dari Bahasa Latin popularis, ketenaran mempunyai makna ‘kebanyakan’ atau ‘disukai’. Dalam pengertiannya yang sekarang, ‘kondisi disukai oleh orang banyak’, muncul pertama kali pada tahun 1601—empat abad yang lampau. Begitu pentingkah konsep popularitas bagi masyarakat manusia? Bila melihat usianya, tampaknya begitu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lihatlah, orang-orang gelisah bila tidak populer. Para politikus, misalnya, mulai was-was ketika hitungan hari menjelang tahun politik 2014 semakin berkurang. Mereka membentangkan baliho berukuran 4x10 meter di atas ruas jalan bergambar wajahnya sendiri, komplit dengan jargonnya.

Takut tidak dikenali publik? Mungkin. Narsis? Orang kebanyakan mengatakan begitu. Ketenaran, di satu sisi, memang begitu dekat dengan narsistis, melekat pada individu meski ini fenomena sosial dan mesti dipahami dalam konteks kolektif. Kian banyak orang mengacungkan jempol, kian populer.

Ketenaran, di era Internet, tidak lepas dari desain. Popularitas dirancang melalui iklan cetak, berita televisi, reklame baliho dan spanduk, media sosial, web dan blog, hingga buku. Di dalamnya terbentuk jejaring yang kompleks dan melibatkan banyak pihak: jurnalis, stasiun teve, penyedia jasa cetak baliho, staf humas, twitter-wan/twitter-wati, penulis bayangan, hingga lembaga survei.

Popularitas dikonstruksi dengan melibatkan jejaring kompleks agar tertanam dalam benak publik. Ketenaran juga dikonstruksi secara sosial sebagai ukuran dalam pengambilan keputusan: jika popularitas politikus ini tinggi, ia layak menjadi calon presiden, gubernur, bupati, dsb. Lewat jejaring, popularitas menjalar bagai virus yang hinggap dari satu benak ke benak lainnya. Persepsi dipermainkan.

Di dunia hiburan—yang tidak selalu menghibur, sebab di televisi si penghibur sibuk membersihkan timbunan bedak dari wajahnya—ketenaran juga menjadi ukuran. Peringkat jeblok, acara dicopot. Mutu hiburan menjadi tidak penting. Penampilan Burger Kill rasanya lebih bernas dan pro-sosial ketimbang lempar-lemparan bedak.

Namun begitulah ketenaran dibangun. Tatkala ketenaran jadi standar kesuksesan, menjadi tenar adalah satu-satunya pilihan. Virus popularitas ini menjalari nyaris setiap sudut kehidupan sosial, menular dengan cepat dan meninggalkan muatannya terseok-seok di belakang. Kepemimpinan lantas disamakan dengan popularitas. Bayangkanlah, apa yang terjadi bila pemilihan umum direduksi menjadi kontes popularitas.

Orang senang jadi populer dengan menumpuk kekayaan, berjoget setiap hari, tertawa-tawa di kursi pesakitan, beradu kata di koran, teve, dan media sosial, atau meluncur dengan Ferrari di jalur Trans Jakarta dan dikawal mobil polisi. Seorang artis jadi populer lantaran senang membikin keributan, dan publik senang membicarakannya. Agresi menjadi jalan untuk populer.

Di titik itulah, popularitas kian cenderung antirasionalitas. Tatkala popularitas kian jadi yang terpenting, orang semakin kehilangan nalar. Individu maupun publik mengabaikan rasionalitas dan bersama-sama menikmati popularitas: Dunia sudah ruwet, bung, jangan ambil pusing! Jadi, berapa peringkat kita hari ini? (sbr foto: en.wikipedia.org) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler