x

Ilustrasi bayi. dailyalternative.co.uk

Iklan

Mario Manalu

Anak kampung yang belajar menulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setetes Asi demi Dollar

Seorang wanita penjaja suvenir berjalan mendekat. Di dadanya menggelayut seorang bayi dalam balutan sarung warna ungu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Edwin bersyukur cuaca cukup cerah sore itu. Dia punya waktu banyak untuk melanjutkan bacaannya. Novel terbaru Danielle Steel, Family Tieshampir mencapai klimaksnya. Setelah bersabar beberapa hari membaca bagian-bagian awal yang cukup monoton, kini dia tahu mengapa banyak orang memberi pujian pada cerita itu. Dia tidak sabar untuk mengetahui endingnya.

    Sesekali dia berpaling dari bacaannya. Menatap ke lautan lepas. Memastikan istrinya masih kelihatan dari darat. Wanita yang telah dinikahinya sejak 5 tahun lalu itu tampak berayun-ayun di atas sebuah papan selancar sekitar 200 meter dari garis pantai. Edwin sekali lagi bersyukur akan cuaca yang cerah. Istrinya bisa menjalankan hobinya dan memberinya waktu beberapa jam untuk sendirian.

       Pengunjung restoran terbuka di tepi pantai Jimbaran itu belum ramai. Banyak meja yang disusun rapi di sepanjang pantai masih kosong. Angin sepoi berembus membelai kulit dan rambut Edwin. Suasana terasa tenang dan damai.  Tidak bising seperti biasanya. Orang-orang masih sibuk menikmati laut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

   Seorang wanita separuh baya berjalan tertatih-tatih mendekati Edwin. Kakinya berlumur pasir putih. Tangan kanannya menenteng seikat kalung dan gelang hasil kerajinan tangan. Seorang bayi tergantung di dadanya dalam balutan sarung warna ungu yang melilit dari bahu kanan hingga ketiak kirinya dan diikatkan dipunggung.

            “Accessories…..accessories, Mister!”

            Wanita itu memperlihat barang dagangannya pada Edwin. Edwin melirik beberapa detik. Dia menggeleng pelan.

            Wanita itu tersenyum ramah. Kemudian meletakkan barang dagangannya di meja. Persis di hadapan Edwin.

            “Have a look, please! Nice…..very nice!”

      Edwin menggeleng lagi tanpa berpaling dari buku bacaannya. Wanita itu mengulangi kata-kata yang sama. “Look....please! please…! nice..nice”. Bayi yang digendongnya menangis tepat setelah dia berhenti berceloteh. Dia menguncang-nguncang tubuhnya pelan sambil menepuk-nepuk pantat bayi itu. Berusaha menyenangkannya. Dia membuka dua buah kancing bajunya, mengeluarkan buah dadanya bagian kiri dan memasukkan puting susunya ke mulut bayi itu. Bayi itu diam sebentar kemudian menangis lagi.

            Edwin berdiri. Merasa terusik sekaligus kasihan. Dia tidak menghiraukan setumpuk kalung dan gelang di hadapannya. Wajahnya berkerut melihat wajah bayi dan mendengar tangisannya. Edwin menjulurkan tangannya. Mengelus punggung bayi.

Wanita itu memencet-mencet buah dadanya dengan tangan kanan, berusaha mendorong air susunya keluar. Bayi itu memutar-mutar kepalanya. Berusaha mengeluarkan puting susu wanita itu keluar dari mulutnya.

            “Give him milk!” kata Edwin dengan wajah kasihan.

            Wanita itu melongo, tidak mengerti. Dia menatap wajah Edwin.

            “Milk…milk..milk!” teriak Edwin. Dia mengepalkan jari dan mendekatkannya ke mulut. Memperagakan anak yang sedang minum dari dot.

            “No money…No money, Mister!” teriak wanita itu sambil berharap Edwin mengerti.

            Edwin berputar mengambil tas kecilnya. Mengeluarkan 2 lembar uang bernilai 20 Dolar. Dia memberinya pada wanita itu.

            “I have no rupiah…no rupiah..no rupiah!”

            “Yes, Mister. Thank you…thank you!”

            Wanita itu memasukkan mata uang dollar itu ke dalam dompetnya.

            “Your name? name?.....name?” sekali lagi Edwin berteriak.

            “Nila Sir, Nila!”

            Kemudian wanita itu bergegas meninggalkan tempat itu karena melihat seorang satpam restoran datang untuk mengusirnya. Dia berjalan terburu-buru dengan wajah sumringgah.

***

            Edwin bersandar di dinding loket pembelian karcis masuk Bali Bird Park. Menunggu istrinya mengurus karcis. Dia tampak lesu, kurang bersemangat. Dia tidak suka  burung. Tapi istrinya bersikeras mau keBird Park. Katanya mau berfoto dengan burung unta kesayangannya. Mereka sempat bertengkar tadi malam saat menyusun rencana perjalanan.

            Edwin mencoba mempertajam penglihatannya saat seorang wanita setengah baya berjalan ke areal parkir yang berjarak 30 meter dari loket pembelian karcis. Dia yakin wanita itu adalah Nila, yang dilihatnya di Jimbaran 2 minggu yang lalu. Panjang rambut dan raut wajahnya persis sama. Dia menggendong seorang bayi dan menjinjing barang-barang dagangan. Berbeda dengan 2 minggu lalu, kali ini dia tidak membawa kalung dan gelang. Edwin tidak bisa melihat dengan jelas jenis barang dagangannya, tapi dia bisa memastikan itu bukan kalung dan gelang. Edwin penasaran bagaimana dia sampai di tempat itu. Jimbaran cukup jauh dari tempat itu.

            Saat istrinya datang membawa dua karcis masuk, Edwin menyuruhnya masuk duluan dan berjanji akan segera menyusul. Dia ingin memastikan apakah wanita yang di areal parkir itu Nila atau tidak.

            Wanita itu mendekati sekelompok turis yang baru keluar dari taman. Dia menyapa mereka dengan senyum yang ramah. Berusaha menawarkan barang dagangannya. Mengaun-ayunkan bayi dalam gendongannya. Tapi tak seorangpun menghiraukannya. Mereka masuk ke mobil tanpa mengubrisnya. Edwin menonton adegan itu dari kejauhan.

            Beberapa menit kemudian Edwin melihat wanita itu berjalan mendekati seorang laki-laki tua yang bersandari di belakang mobil hitam sambil merokok. Edwin bergerser sedikit ke kiri agar bisa melihat dengan lebih jelas. Wanita itu menyapanya lagi dan menyodorkan barang dagangannya. Edwin tidak bisa mendengar percakapan mereka. Wanita itu meletakkan barang dagangannya di hadapan laki-laki itu sambil terus bicara. Lalu dia tampak seperti hendak menyusui bayinya. Tapi laki-laki itu pergi ke arah depan mobil tanpa menghiraukannya.

            Wanita itu tampak kecewa. Dia mengancing bajunya lagi. Tidak jadi mengeluarkan buah dadanya. Dia melihat sekeliling areal parkir itu mencari bule yang lain.  Tiba-tiba Edwin punya ide setelah melihat tidak ada bule lain lagi di areal parkir itu. Dia membuka kaca matanya. Menggantinya dengan kaca mata hitam. Dia berjalan pelan ke areal parkir sambil pura-pura serius membaca majalah, yakin wanita itu tidak akan mengenalnya. Dia duduk di gundukan batu berukir sambil berharap wanita itu segera melihatnya.

            Wanita itu datang mendekat. Edwin meliriknya sejenak dari balik kaca mata hitamnya. Kini dia yakin seratus persen dia adalah Nila. Tapi Edwin sangat terkejut karena bayi yang digendongnya berbeda dengan 2 minggu lalu. Dia perhatikan kaki bayi itu. Kulitnya lebih putih dan lebih gemuk.

            “Souvenir, Mister. Souvenir…..!”

            Edwin pura-pura sibuk membaca. Tidak menghiraukannya. Tapi matanya terus mengawasi dari balik kaca mata hitamnya.

            “Have a look, please! Nice….very nice!”

            Kemudian wanita itu meletakkan barang dagangannya di hadapan Edwin. Persis seperti yang dilakukannya 2 minggu lalu. Edwin melirik sejenak ember kecil di hadapannya, berisi pisau dengan sarung dan gagang berukir. Yang lain adalah gantungan kunci dan yang lainnya tidak dikenal Edwin. Mungkin asbak rokok.

            Wanita itu terus bicara seperti 2 minggu lalu. Edwin pura-pura cuek. Matanya sempat melihat jari-jari kiri wanita itu mencubit pantat bayi yang digendongnya. Bayi itu menangis seperti 2 minggu lalu. Wanita itu mengeluarkan buah dadanya sambil pura-pura berusaha menyenyangkan bayinya. Edwin berdiri pura-pura bersimpati. Puting susu wanita itu keluar dari mulut bayi. Dia terus memeras buah dadanya. Setetes cairan putih keluar. Wanita itu memasukkan puting susunya lagi ke mulut bayi. Sejenak bayi itu diam lalu menangis lagi.

            “Give him milk! milk! milk!” teriak Edwin sambil menirukan anak yang minum dari dot seperti dilakukannya 2 minggu lalu.

            “No money, Mister. No money….!”

            Wanita itu menatapnya dengan raut wajah mengiba. Edwin mencabut 2 lembar uang seribuan Rupiah dari dompetnya, dia sodorkan kepada wanita itu.

            “Dolar, Mister. Dolar….please!” katanya mengiba

            “I have no Dollar. No Dollar…no dollar” Edwin menggeleng-gelengkan kepalanya.

            Wanita itu menerimanya dengan kecewa

            “Thank you, Mister” katanya. Kemudian buru-buru meninggalkan tempat itu. Di pintu gerbang dia berbalik ke kiri menuju jalan raya. Edwin mengganti kaca mata hitamnya dengan kaca mata minus. Dia mengikuti wanita itu. Dia mengintip dari balik pohon cemara kecil ketika wanita itu berhenti di samping mobil Terios warna ungu yang parkir di pinggir jalan. Pintu samping mobil terbuka, Edwin bisa melihat beberapa wanita lain di dalamnya. Menggendong bayi. Sebelum Nila masuk Edwin keluar dari persembunyiannya dan berteriak “Nila….”. Nila berbalik dan terkejut melihatnya. Dia tampak panik dan buru-buru masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba Edwin merasa rugi memberikan uangnya pada wanita itu.

 

Jimbaran 2012

Ikuti tulisan menarik Mario Manalu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB