x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aid Versi Empat Mazhab

Tulisan lanjutan Once Upon An Aid, memandang aid dari sudut pandang Islam versi empat aliran fiqih (mazhab), yang diimami Imam Abu Hanifah, Imam Malik Bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Hambali.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mereka, yang bangkrut, kemudian ditimpa muslihat, dilarang atau tidak boleh membebaskan pelaku kejahatan dari tuntutan, empat imam mazhab dalam Islam bersepakat dalam hal itu. Mazhab adalah perbedaan pendapat imam-imam dalam fikih (ilmu tentang hukum-hukum Islam), dan ada empat yang lazim dikenal yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik Bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Hambali. Sedangkan pada kondisi biasa saja, Islam mengajarkan perlawanan pada kejahatan, sepanjang tidak berlebihan atau harus bersendi keadilan, apalagi bagi mereka yang bangkrut.

Penyebabnya, jalan keluar dari keterpurukan harus diusahakan, termasuk jika suatu kali jelas kebangkrutan diperparah tipu muslihat atau tindak kejahatan. Mereka yang bangkrut adalah muflis dalam istilah Islam, dimaksudkan bagi pihak-pihak atau orang yang terlilit utang sampai tidak sanggup mengembalikan. Ketika kejahatan menimpa muflis, maka si muflis harus menunaikan tuntutan yang dalam Islam bisa qishas, bisa diyat. Qishas maksudnya balasan perlakuan sama, sementara diyat adalah ganti rugi berupa sejumlah uang/harta.

Islam memungkinkan korban memafkan kejahatan, sehingga tanpa qishas, tanpa bayaran diyat, tapi tidak bagi penderita kepailitan atau muflis yang dicurangi. Sarinya, tuntutan balik yang diajukan muflis memungkinkan si muflis memperbaiki kehancuran, menjadi jalan keluar kepailitan, karena seandainya si muflis memutuskan meminta diyat, itu bisa dipakai melunasi utang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut saya, hukum ini bisa menjadi acuan jalan keluar Indonesia menyelesaikan permasalahan utang, tanpa bermaksud tidak menghormati Bangsa Indonesia lain beragama berbeda. Setelah banyak fakta, studi ilmiah, sejarah, menyatakan Indonesia, bahkan banyak negara lain, menjadi korban kapitalisme sehingga terlilit utang, dan kini seolah-olah tidak bisa hidup kecuali tetap berada di lingkar kejahatan kartel, kita harus memutuskan berhenti berhutang dan melawan kejahatan penjajahan itu.

Data-data, fakta-fakta, analisa sejarah, dan sebagainya, harus disiapkan sebelum menyatakan berhenti berhutang dan mengakhiri kerja sama dengan segala lembaga kapital luar. Jangan lupa, sebelumnya, menarik semua anak bangsa dari lembaga-lembaga itu, karena tentu menyedihkan kalau usaha memerangi kejahatan ini berakhir dengan perang saudara.

Kita bisa mulai dengan penyadaran. Perlu persamaan pemahaman sebelum kebangkitan bersama melakukan perlawanan, agar kita satu langkah satu tujuan. Dimulai dari cita-cita besar kemerdekaan Indonesia, misalnya, yang sejatinya mandiri, “Melepaskan diri dari segala ketergantungan asing,” kata Bung Hatta, atau, “Mahkota kemerdekaan bukan keanggotaan di badan dunia, tapi berdiri di atas kaki sendiri,” pesan Bung Karno. Betapa kita tersesat, pemahaman awal yang bisa disebarkan.

Kemudian, menyadari posisi Indonesia sebagai korban kejahatan, sebagai jajahan. Keberadaan utang yang menerus tapi tidak memperbaiki Indonesia secara riil, keberadaan badan-badan keuangan dunia, yang harusnya mumpuni membantu Indonesia melepaskan diri dari keterpurukan perekonomian, tapi tetap berada di Indonesia sekian lamanya malah terus menyodorkan utang-utang baru, materi-materi pendidikan yang melahirkan pembenaran berkeliarannya asing dalam rumah tangga Indonesia, sampai soal tidak lepas-lepasnya Indonesia dari kerusuhan-kerusuhan, yang khas semangat penjajah, yaitu membuat taraf hidup bangsa jajahan tetap rendah, adalah kenyataan-kenyataan.

Islam menuntunkan hidup sederhana, sehingga berhutang untuk keperluan rumah tangga, harusnya saat benar-benar perlu menyambung kehidupan, bukan untuk bermewah-mewah, bukan untuk pembangunan besar-besaran yang nyatanya bukan dari kekuatan sendiri, apalagi yang nyatanya menjatuhkan negara dalam kepailitan. Tuntunan keluhuran ini bisa memperkuat niat.

Jika boleh meneladankan, sejak Muhammad sampai Khulafaur Rasyidin, empat pemimpin umat Islam selepas Muhammad, tidak satupun bermewah-mewah. Rasulullah pedagang kaya, ketika menyunting Bunda Siti Khadijah maharnya saja 20 ekor unta, silahkan dihitung dalam uang jaman sekarang, tapi toh memilih menyerahkan semua hartanya demi keperluan negara sejak Islam. Tiga kali purnama, berarti kurang lebih tiga bulan, pernah dapur Rasul tak berasap. Beliau bawa kesempitan itu beribadah, berpuasa di siang hari dan berbuka sekedar susu dan kurma dari berdagang sekedarnya, selepas sebagian besar waktunya tercurah untuk negara dan umat. Umar Bin Khatab, singa padang pasir itu, pemimpin negara dan pemimpin umat itu, bajunya tidak lebih sepuluh lembar. Teladan ini relevan sampai kapanpun, menurut saya, karena jaman mengikuti agama, bukan agama mengikuti jaman.

Masih ada tuntunan Islam memberi lebih baik dari menerima. Ada dalam hadis atau sabda Rasul : Tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah, tangan di atas adalah tangan pemberi sementara tangan di bawah adalah tangan peminta-minta [HR. Muslim], jadi banjir aid jangan serta-merta diterima apalagi jadi kebanggaan kita bagian internasional. Empat imam mazhab tidak berselisih soal hadis tadi. Keempatnya adalah pribadi zuhud, atau mengambil hanya yang bermanfaat, sehingga dalam kehidupan juga sangat sederhana. Abu Hanifah, atau Imam Hanafi malah pernah menolak tawaran jabatan hakim negara saking zuhud-nya.

Setelah satu pemahaman, satu semangat, kita ajukan tuntutan kepada WTO, IMF, Bank Dunia, dan siapa saja yang terbukti memperparah ketergantungan Indonesia pada aid, menjerumuskan Indonesia pada utang besar, menjajah Indonesia. Saya tidak paham mekanismenya, mungkin ke mahkamah internasional, tapi intinya jangan berpikir mengusahakan sejumlah uang mengembalikan utang Indonesia. Itu kemuskilan. Apalagi kalau hanya bermuara pada permohonan utang baru, itu menuju kematian, dan memang itu yang penjajah mau.

Tidak perlu! Kita bukan bangsa tidak bertanggung jawab dengan tidak membayar utang, tapi kita juga bukan bangsa bodoh yang terus-terusan mau diplokotho, mau dicurangi, mau ditindas, mau dijajah, sementara bukti-bukti jelas. Kita akan bayar utang kita dari tuntutan ganti rugi pada kaum kapitalis atau lembaga-lembaga internasional tadi lewat mahkamah internasional. Kita tuntut saja mereka sejumlah sama biar jelas ini hanya demi memerangi penjajahan. Uang mereka membayar tuntutan kita, kita pakai membayar utang kita nanti.

Bagaimana? Jangan takut dikucilkan, jangan takut dimusuhi, jangan takut yang kita hadapi banyak. Empat imam mazhab tidak berbeda pendapat, jelas, bahwa muflis harus menuntut haknya ketika menjadi korban kejahatan. Kita harus yakin kita kuat karena perlawanan terhadap penjajahan adalah perlawanan terhadap keangkaramurkaan, adalah perlawanan terhadap kekejian, dan itu adalah kebenaran. Silahkan saja mereka berbondong-bondong, silahkan saja mereka ramai-ramai memerangi. Sekutu kita satu, Tuhan. Bismillah... 

 

Sumber foto : www.diaryofamadhausfrau.com

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler