x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Empu

Ibu adalah perempuan dan perempuan adalah empu kehidupan. Ini catatan kecil memperingati hari ibu, hari para empu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,

Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Inti bait itu adalah Budha dan Hindu hanya trah ketentuan Tuhan, Penggenggam Semesta. Jiwa tepa slira atau toleransi disampaikan sang empu penuh satu kitab, yang sejak penulisan kemudian bertahun sesudahnya, membesarkan Majapahit, menginspirasi seluruh bangsa memandang perbedaan adalah rahmat Tuhan. Itu karya Empu Tantular, maha pujangga masa Raja Hayam Wuruk memimpin Majapahit.  Atas titah sang raja, yang menghendaki tuntunan perekat satu bangsa, Empu Tantular menulis Kitab Sutasoma. Penggalan kalimat terakhir, ‘Bhineka Tunggal Ika’, kemudian menyemangati Indonesia, bahkan 600 tahun setelah penulisannya, menjadi slogan semangat menjunjung utama ikatan satu bangsa, satu negara, di atas perbedaan-perbedaan. Pilihan kata Empu Tantular menembus masa.

Empu, dulu, gelar dalam kultur Jawa untuk penguasa-penguasa suatu ilmu, yaitu orang-orang yang mumpuni, tersemat hanya pada para sakti. Keutamaan manusia-manusia bergelar Empu dalam tatanan Jawa masa lalu, demikian besar dari bukti karya yang sering kuat berpengaruh melampaui masa hidup. Para pujangga ada Empu Tantular, Empu Prapanca, Empu Sendok, dan diteruskan saudaranya, Empu Panuluh, sementara soal menempa senjata, ternamalah Empu Gandring. Empu Gandring, sumpahnya tumus (benar terwujud) pada Ken Arok, Raja Singosari pertama, dan enam keturunannya. Mereka semua mati terhunus keris yang sama, karya Sang Empu, karena Ken Arok merampasnya saat pembuatan belum purna. 

Kisah-kisah Empu, seingat saya, selalu lengkap dengan laku tirakat atau ibadah yang begitu ikhlas dan total hanya demi Tuhan. Penguasaan mendalam pada satu bidang beriringan dengan kedekatan pada Tuhan, menggambarkan Empu jaman dulu, sehingga tiap persembahan juga besar seijin Tuhan, menurut saya. Sepertinya Empu adalah soal karya besar bukan tentang pribadi-pribadi sendiri buktinya sering nama sang empu justru tak seperkasa karyanya, yang kemudian berguna besar, luas, juga panjang masa.

Empu itu peramu, pembentuk, penempa, pencipta suatu karya, atas ijin Tuhan, seperti penghormatan pada sosok perempuan yang dilekati julukan. ‘Empu’ adalah kata dasar ‘perempuan’ sebagai bentuk harapan pada perannya meramu, menempa, dan membentuk jiwa-jiwa kehidupan. Tuhan melengkapi perempuan dengan kelembutan dan kasih sayang, lebih dari makhluk lain, sehingga memberi perlindungan, menjaga, dan merawat kehidupan adalah kesanggupannya. Pribadi penerus-penerus dalam keluarga adalah olah perempuan, sebagai perawat, penjaga, pelindung, dan pemberi pendidikan utama dan pertama. Itu tugas Ibu, karena Ibu adalah perempuan, dan perempuan adalah empu kehidupan.

22 Desember tiap-tiap tahunnya, selamat harimu, Empu-Empu.

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler