x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inong-inong di Hulu Rencong

Tentang buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah yang berisi catatan sejarah perempuan-perempuan Aceh yang memilih memperjuang haknya tinimbang menyerah pada penjajah

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Memalukan Kesultanan! Siapkan armada! Kita tumpas Iskandar, sekarang!” Sang Ratu berang. Langsung dipimpinnya armada kerajaan memerangi pemberontak, sayangnya, berarti memerangi bangsa sendiri, justru ketika utusan negara sahabat tengah hendak bertandang ke Samudera Pasai. 1415, atau sepuluh tahun setelah bertahta, Ratu Nahrasiyah dipermalukan gembong pemberontak yang merompak iring-iringan armada Panglima Cheng Ho, duta Raja Dinasti Ming, dari Cina, dalam perjalanan ke bandar Samudera Pasai, atau letak hari ini berarti dekat Kota Lhokseumawe, Aceh. Dengan ketegasan dan kecepatan bertindak, Ratu Nahrasiyah berhasil menumpas pemberontakan. Iskandar atau Sekandar, pemimpin pemberontakan, dihukum mati.

Ratu Nahrasiyah adalah perempuan lembut berbudi halus, yang digambarkan sejarah memimpin Samudera Pasai laksana Ibu, tapi ketika kehormatan negara dipertaruhkan, kelembutan itu bertukar kontras. Yang muncul lalu perlawanan keras, pantang menyerah, dan tanggung jawab besar ditunjukkan Sang Sultanah dengan selalu memimpin pertempuran-pertempuran di garis depan. Senin, 27 September 1428, Sang Sultanah mangkat. Oleh penerusnya, ratu besar itu dibangunkan makam indah dari pualam berukir Surat Yasin, Ayat Kursi, Surat Ali Imran ayat 18-19, dan Surat Al Baqarah ayat 285-286, surat-surat pilihan dari Kitab Suci Al Qur’an. Itu menjadi makam termegah di Asia Tenggara pada masanya menurut penelitian Prof. Snouck Hougronje dalam bukunya Arabie En Oost Indie, ditulis 1907.

Syahdan, kemudian, di Kesultanan Aceh Darussalam, tetangga Samudera Pasai, seorang putri generasi kelima pendiri kesultanan, seorang komandan pasukan  pengawal Raja dan keluarga kerajaan, sekaligus janda panglima armada perang yang baru gugur, menghadap Sultan, memohon ijin pembentukan laskar baru. Sang Putri mengusulkan pasukan baru berkekuatan janda-janda pejuang. Sultan memberi ijin dengan menghadiahkan sebuah bukit di tepian teluk dekat ibukota kerajaan, yang dititahkan menjadi pusat latihan pasukan baru, dan kelak dapat didirikan benteng pertahanan.   

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Antara 1596 – 1599, seribu orang janda, tentara kesultanan yang gugur di pertempuran Teluk Haru (di perairan Sumatera Utara) menghadang Portugis, menjadi pasukan resmi Kesultanan Aceh Darussalam, bernama Laskar Inong Balee. Inong adalah Bahasa Aceh berarti perempuan, dan Inong Balee artinya janda. Pertempuran demi pertempuran, Pasukan Inong Balee sanggup menaklukkan musuh, hingga dalam waktu singkat, sang putri, pendiri dan panglima pertama Inong Belee tadi, memutuskan melipatgandakan kekuatan. Bukan lagi para janda saja, tetapi semua perempuan negeri diijinkan memperkuat kesatuan.

11 September 1599, Cornelis De Houtman, komandan armada pertama Belanda ke Aceh, mati terhunus rencong sang putri di atas geladak kapalnya sendiri dalam pertempuran sengit di bandar kesultanan. Belanda membunuh syahbandar karena salah paham, rakyat marah dan melawan. Belanda sedianya hendak melarikan diri setelah menghujani dermaga dengan tembakan-tembakan meriam, namun terkejar sang putri dan armada Belanda porak-poranda oleh Pasukan Inong Balee. Dari bukti kecakapan, sang putri dinobatkan Sultan menjadi pemimpin tertinggi kekuatan perang Kesultanan Aceh Darussalam, bergelar Laksamana. Dunia, paling tidak sejarah Cina, Arab, Belanda, dan Portugis, mencatat kebesaran perempuan pemimpin armada perang Kesultanan Aceh Darussalam, Laksamana Keumalahayati. Bisa jadi, Laksamana Keumalahayati adalah perempuan pertama di dunia, yang menjabat panglima angkatan perang sebuah negara.

Lalu, di foto yang saya lampirkan melengkapi tulisan ini, yang duduk di tengah, adalah, lagi, seorang perempuan, yang berjuang panjang menentang penjajahan Belanda sampai masa tuanya. Itu Cut Nyak Dhien. Cut Nyak Dhien pantang menyerah, meski menjalani pelarian panjang menembus rimba-rimba Aceh, sering tanpa makanan. Baginya lebih terhormat hidup kesulitan di pelarian ketimbang menyerah dan bersekutu dengan bangsa asing yang datang menjajah. Tragis, Cut Nyak Dhien tua, kurus, ringkih, dan buta, harus mengakhiri perjuangan setelah diserahkan bangsanya sendiri pada Belanda. Pasukan terakhir yang mengawal perempuan mulia itu, memilih berkongsi dengan lawan.

11 Desember 1906, dengan tandu, Cut Nyak Dhien diusung keluar hutan Aceh menuju pengasingan di Sumedang. “Ya Tuhan, inikah nasibku? Diserahkan pada penjajah oleh rakyatku sendiri pada Ramadhan?” itu rintih sang pejuang dengan menengadah ke langit dan sepuluh jari tangan terangkat. Cut Nyak Dhien seperti menggugat. 9 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal di pengasingan.

Di sebelah Cut Nyak Dhien, selama pertempuran-pertempuran mempertahankan tanah air, ada perempuan panglima pasukan Aceh lainnya, yaitu Pocut Baren. Pasukan Cut Nyak Dhien dan Pocut Baren sering beriringan mengusir Belanda penjajah di wilayah pesisir Barat, Aceh. Sama dengan Cut Nyak Dhien, Pocut Baren meninggal di pengasingan, dengan kaki palsu yang diusahakan Belanda, setelah sebelah kaki sang perempuan panglima diamputasi, akibat luka tembak dari pertempuran tak kunjung membaik. 1933, perempuan pejuang itu meninggal.

Parasnya ayu, berkulit putih, dengan rambut legam, dan perangainya lembut, juga santun. Tapi jiwanya selalu menggelegak menentang penindasan Belanda penjajah atas negerinya, atas kaum bangsanya. Setelah memilih meninggalkan suami yang lebih senang pada jabatan dan bersekutu dengan Belanda, tinggal di istana, Cut Meutia, adalah satu lagi perempuan Aceh yang memimpin pertarungan-pertarungan sebuah bangsa mempertahankan haknya. Cut Meutia keluar masuk belantara demi perlawanan. Akhir hidupnya adalah tiga peluru, satu di kepala, dua di tubuh, membawanya rubuh di hadapan barisan moncong senapan-senapan Belanda yang menyalak menyongsong pasukan Aceh yang menyerang, kalap. Di pinggiran Sungai Peutoe, 25 Oktober 1910, Cut Meutia wafat terhormat sebagai kusuma, dengan pedang di genggaman kanan, dan hulu rencong erat di genggaman kiri.

Pocut Meurah Intan, sama dengan Cut Meutia, memilih meninggalkan suami yang menyerah pada Belanda. Tertulis dalam Kolonial Verslag 1905, atau dokumen pemerintah Hindia Belanda di Aceh yang dikirimkan ke Belanda, satu orang saja, seorang putri, dalam tembok istana Kesultanan Aceh Darussalam, yang sungguh-sungguh tidak mau bekerja sama dengan Belanda, adalah Pocut Meurah Intan. “Lebih baik aku mati!” pekik sang putri mencabut pedang memimpin perlawanan dalam pertempuran dengan pasukan Belanda dipimpin Valtman, seorang komandan.

Sang putri luka parah penuh tembakan dan bersimbah darah di palagan. Ia ditawan bersama Tuanku Budiman, satu dari dua putra Pocut Meurah Intan yang berjuang bersama ibunda, ketika ternyata belum meninggal. Tuanku Nurdin, putra Pocut Meurah Intan lainnya, lolos dan terus memerangi Belanda. Valtman lalu menggambarkan dalam tulisannya, Pocut Meurah Intan adalah seorang heldhaftig, seorang yang gagah berani, seorang pejuang, seorang pahlawan. 6 Mei 1905, Pocut Meurah Intan dan Tuanku Budiman diasingkan ke Blora, Jawa Tengah. 19 September 1937, sang pejuang meninggal di pengasingan.

Itu sebagian dari sembilan perempuan besar Aceh yang kehidupannya diabadikan dalam buku ‘Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah’ atau Prominent Women in The Glimpse of History. Ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, buku ini menyebar di dunia, sebagai studi tentang perjuangan perempuan Aceh memerangi kolonial. Bangga ya, kita sebagai anak cucunya.... Ini aslinya kita, aslinya Indonesia, bangsa yang tak tunduk menyerahkan haknya, bangsa yang berani berjuang melawan penindasan.

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu