x

Sitor Situmorang. (Dok.Tempo/ Fransiskus.S)

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sitor yang bukan Penyair

Kepergian Sitor Situmorang, seorang penyair mumpuni Indonesia, menyisakan kenangan, sejarah, dan karya besar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 2010, saya sempat bertemu dengan Sitor Situmorang. Bagi saya kala itu, ia bukan hanya sosok penyair angkatan ’45 dengan sekian lapis pengalaman sejarahnya, melainkan yang jauh lebih mengharukan: seorang manusia biasa yang nyaris gemetar hadapi usia tua.

Berapa umur Sitor waktu itu? Mungkin sekitar 87 tahun, kalau saya tidak salah. Dan berapa usia saya tatkala mengunjunginya di kediaman budayawan Jean Couteau di Bali itu? Kira-kira 21 tahun. Ya, rentang waktu di antara kami sangatlah jauh, bahkan sedikit melampaui angka ulang tahun Republik Indonesia kala tersebut.

Karena jauhnya jarak usia itu, kedatangan saya persislah bagai satu anak muda yang miskin asam garam hidup, berhadapan dengan tokoh yang pelan-pelan justru menyisih dari hiruk pikuk keduniaan. Saya dan teman-teman berkesempatan datang hampir setiap hari dalam seminggu ke tempat persinggahan Sitor sebelum berangkat ke Toba dan Belanda: kediaman Jean Couteau di tepi sungai Ayung, yang alir sungainya berabad-abad membasahi tanah Bali. Saya dan teman-teman menyaksikan pribadi Sitor yang begitu manusiawi, bagaikan para cucu yang termangu-mangu menyimak jalan hidupnya selama sekian kurun waktu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang Sitor kisahkan kepada kami, pada hari-hari itu? Sayang disayangkan, saya tidak bisa mengingatnya begitu pasti. Saya tahu Sitor bercerita perihal pengalaman masa kecilnya di Harianboho, lalu pengelanaannya di Jakarta, lalu dunia politik, dunia penyair, dunia dalam bui. Hanya kronologisnya benar-benar tidak dapat saya runutkan. Betapa lalainya, saya yang masih belia terlanjur mudah melupakan hal-hal penting seperti itu. Sedangkan Sitor, karena gejala Alzheimer, cuma kuasa mengingat masa silamnya secara samar-samar. Maka jadilah, percakapan di antara kami seperti dua orang manusia yang meraba-raba kenangan, tanpa pernah tahu apakah kenangan itu sungguh terjadi, atau tidak sama sekali. Apakah kenangan itu betul demikian jalan urutannya, ataukah ada yang terlewatkan tak tercatat.

Betapa absurdnya, pertemuan kami itu.

Setiap kali kami tiba, Sitor yang kebetulan sedang duduk di teras rumah atau berjalan-jalan di sekitar rindang halaman, akan menyambut kami dengan pandangan yang itu juga: mengernyit sedikit, dirundung ragu, sebelum lanjut bertanya, kadang dalam nada sedikit tinggi bagaikan menginterogasi “Anda siapa? Mau apa?”

Istrinya, Barbara, beberapa kali memberikan pandangan ramah yang sedih, lantas menyambut jawab: “Pengalaman masa lalu Sitor begitu sulit. Dipenjara dalam kamar gelap. Itulah yang membuat dirinya trauma. Ia pun sering awas terhadap orang tak dikenal. Dia tak mudah mengingat nama-nama, dan siapa mereka.”

Beberapa menit kemudian, setelah Barbara menjelaskan maksud kedatangan kami, anak muda dari Komunitas Sahaja yang ditemani penyair Warih Wisatsana, wajah Sitor masih belum menampakkan keteduhan. Entahlah apa yang dipikirkannya. Saya tidak tahu. Kami pun duduk mengelilingi meja makan, menghadap pohon-pohon jati dan kayu di tepian sungai. Kalau sudah begitu, Sitor akan duduk dan mengaduk cangkir teh-nya tanpa henti. Diam beberapa lama. Diam hening yang dalam.

Kadang pertemuan kami mulai dengan pembacaan puisi, yang ditanggapi Sitor dalam raut wajah biasa-biasa saja. Hening dan diam. Kadang kami minta Sitor membacakan sajak karangannya, yang dijawabnya: “Ya, kalian pilihkan judul yang mana.”

Dan apakah Sitor masih bisa mengingat pengalamannya saat mencipta sajak-sajak tersebut? Hanya beberapa saja. Yang paling kuat adalah kisah tentang gadis dari Milano, Italia, serta sesuatu tentang vespa. Sempat kami curiga, mungkin perempuan itu adalah mantan kekasih Sitor, sebab setiap ia bercerita tentang pengalaman menulis sajak kerap kali alur pikirannya justru kembali pada sosok gadis tersebut. Atau baris kenangan perihal Leo, putra semata wayangnya bersama Barbara, yang digambarkannya dalam sajak lain mengenai sungai Amsterdam dan perahu kertas si bocah yang hanyut dalam arus.

Sitor tidak pernah mau menerusterangkan makna karyanya. Tidak boleh, tambahnya. Penyair pantang menjelas-jelaskan puisinya.

Berapa banyak sajak dan kenangan yang kami bincangkan? Ah, saya tidak tahu lagi. Pembicaraan selama berhari-hari itu ibarat melarung bersama alir sungai Ayung, disamarkan suara burung liar, penyap dalam laku waktu menuju gelap.

Betapa absurdnya pertemuan kami itu. Sama seperti ketakterdugaan kabar berpulangnya Sitor Situmorang. Rasa absurd yang membangkitkan ingatan saya terhadapnya. Serupa larik puisi karya sang penyair, melampaui kelindan nasib dan sejarah, lalu muncul di hadapan saya sebagai sajak-sajak, sebagai cerita hidup bersahaja. Ya, begitulah. Kenangan saya mengenai dirinya jauh dari kesan kepenyairan yang dipuja, dikagumi. Melainkan manusia dalam kesunyian usia tua, yang mengaduk cangkir tehnya tanpa sudah, yang menyiangi rumput liar di pot-pot bunga, yang duduk bercerita masa lalu, sembari sesekali, entah dicekat pikiran ragu yang mana, ia jeda bertanya, “Anda siapa? Dan mau apa?”***

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu