x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dongeng Menawan tentang Revolusi Digital

Karya inovatif lahir bukan dari jenius tunggal, melainkan buah dari kolaborasi. Isaacson mengisahkan bagaimana para peretas, jenius, dan pecandu menciptakan revolusi digital.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

The Innovators: How a Group of Hackers, Geniuses, and Geeks Created the Digital Revolution
Penulis: Walter Isaacson
Penerbit: Simon & Schuster
Edisi: I, Oktober 2014
Tebal: 550 halaman (termasuk catatan akhir)

 

Sejarah memiliki banyak lintasan yang mungkin, dan kendatipun kita telah memilih salah satu lintasan untuk dilalui, kita tak pernah tahu akan tiba di ujung yang mana. Begitulah hidup Augusta Ada, lebih dikenal sebagai Ada Lovelace (1815-1852), yang mewarisi dua dunia: seni dari sang ayah dan sains dari sang ibu. Annabela, yang tak ingin Ada mengikuti jejak ayahnya, penyair Lord Byron, memperkenalkan putri kecilnya dengan aritmatika.

Sembari tetap mewarisi kekuatan intuisi dari ayahnya, dan belajar kepada matematikawan Charles Babbage—pencetus ide mesin hitung yang dapat diprogram, kecintaan Ada kepada matematika kian tumbuh. Melampaui Babbage, Ada berimajinasi tentang alat penghitung yang suatu hari akan menjadi “mesin yang indah, yang bukan hanya bisa memanipulasi angka-angka, tetapi juga mampu menciptakan musik dan mengolah kata” dan “memadukan simbol-simbol umum dalam ragam yang tak terbatas”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lebih dari 150 tahun yang silam, Ada mewariskan imajinasi yang mencerahkan. Ujung dari lintasan sejarah yang dipilihkan ibunya ialah kelahiran mesin seperti yang diangankan Ada kira-kira satu abad setelah kematiannya. Sekitar 30 tahun kemudian, dua inovasi bersejarah telah merevolusi cara hidup kita: penemuan microchip yang memungkinkan komputer dibuat sekecil mungkin dan packet-switched networks yang memungkinkan komputer saling dihubungkan membentuk jejaring.

Maka lahirlah kini apa yang disebut kreativitas digital, berbagi konten, komunitas maya, dan jejaring sosial dalam skala masif. Apa yang disebut Ada sebagai ‘poetical science’ menjadi nyata. Di dalamnya kreativitas dan teknologi menyatu—penyatuan dua dunia yang diwarisi Ada dari Lord Byron dan Annabella; penyatuan dua budaya, sains dan humaniora, seperti yang dibayangkan C.P. Snow.

Dimulai dengan kisah Augusta Ada, Walter Isaacson menyusuri jejak-jejak historis yang melahirkan ‘Revolusi Digital’—yang pada dasarnya sebuah proses evolusioner yang melibatkan berbagai pencapaian manusia. Komputer modern dan jejaring Internet (dua penemuan terpenting di zaman kita) bertumpu pada sekian penemuan sebelumnya: alat hitung mekanik, pemrograman, transistor, chip, peranti lunak, antarmuka grafis, dan seterusnya.

Tentu saja, Isaacson berkisah tentang orang-orang hebat seperti Alan Turing, Vannevar Bush, John von Neumann, Steve Jobs, Bill Gates, Linus Torvalds, Tim Berners-Lee, dan banyak sosok lainnya. Merekalah orang-orang yang memasang tonggak pada lintasan sejarah hingga kita dapat memakai komputer seperti sekarang: ringan dijinjing, nyaman dipakai, dan serba cepat. Dengan menyingkapkan kisah hidup sosok-sosok ini, Isaacson berusaha memahami cara berpikir mereka dalam berinovasi.

Para inovator membawa ego masing-masing dengan visi yang lebih besar dari diri mereka—sebagian di antaranya menganggap diri paling penting, tapi tonggak itu terbukti tidak akan tegak kecuali berjalinan dengan tonggak lainnya. Isaacson ingin mengatakan: inovasi adalah hasil kerja kolaboratif banyak orang, bahkan banyak generasi. Ia barangkali ingin mengingatkan pada kerendah hatian Isaac Newton ketika berkata: “Bila aku melihat lebih jauh dari yang lain, itu karena aku berdiri di atas pundak-pundak raksasa.”

Nama-nama hebat itu tidak bekerja sendiri. Ada saatnya militer mewadahi mereka atas dasar saling membutuhkan: memenangkan perang dan memenuhi hasrat ingin tahu yang luar biasa besar. Saat perang berkecamuk, ratusan ilmuwan dan insinyur dari berbagai disiplin diberi kebebasan oleh militer dan pemerintah untuk menyalurkan spirit kreatif mereka. Hingga kemudian, didorong oleh motif keuntungan, para inovator di Lembah Silikon mengambil peran dalam menyediakan ekosistem inovasi pada tahun 1970an. Mereka meraih kejayaan, dan sudah barang tentu menimbun dolar.

Namun dunia bisnis melahirkan antitesisnya sendiri: para aktivis free speech, hacker, pengembang bebas, komunitas open source, gamers—mereka mengembangkan ideologi berbeda yang mendorong inovasi teknologi digital ke arah yang berlainan. Mereka mengusung nilai kebebasan, saling berbagi dan menolong, dan tidak menomorsatukan uang. Tapi, pelajarannya tetap sama, bahwa inovasi di dunia nyata membutuhkan kerjasama tim dalam mengatasi kompleksitas.

Kisah tentang kolaborasi dan kerjasama tim begitu penting, sebab, kata Isaacson, selama ini ribuan buku ditulis sebagai ‘perayaan atas keberhasilan inovator tunggal’—Steve Jobs, karya Isaacson, tidak terkecuali. Carilah frasa ‘the man who invented’ di Amazon dan Anda akan dapati 1.860 buku tentang para penemu ini.

Dalam The Innovators, Isaacson mengisahkan kreativitas sebagai kerja kolaboratif dan menunjukkan bagaimana inovator paling imajinatif berpikir dalam mewujudkan gagasan disruptifnya agar menjadi kenyataan. Isaacson memusatkan perhatian pada 10 terobosan paling signifikan di era digital. Ia menawarkan cara pandang yang berbeda dalam memahami proses inovasi dengan melampaui batas-batas organisasi. Inovasi dalam sebuah institusi tidaklah steril dari pengaruh-pengaruh luar.

Revolusi Digital, kata Isaacson, bertumpu pada tiga inovasi radikal yang berlangsung secara evolusioner dan melibatkan banyak sosok berbakat maupun para jenius. Komputer merupakan hasil inovasi radikal yang pertama, dan Isaacson telah menguraikan begitu panjang penemuan-penemuan yang menjadi tonggak historis yang membentuk komputer dan jejaring Internet seperti sekarang.

Inovasi radikal yang kedua ialah penemuan ‘budaya perusahaan dan gaya manajemen’ yang menjadi antitesis organisasi hierarkis yang semula dianut kebanyakan perusahaan. Struktur organisasi yang otoritarian ditinggalkan dan para inovator berupaya menciptakan lingkungan yang mendorong pertumbuhan aneka gagasan. Menciptakan lingkungan agar karyawan mampu memberikan kontribusi terbaik kini menjadi cita-cita para manajer.

Penemuan piranti-piranti pribadi merupakan buah inovasi radikal ketiga yang mendorong revolusi digital. Kalkulator, radio saku, video game, hingga personal computer (PC) menandai inovasi ini. Mobilitas manusia membutuhkan dukungan piranti yang semakin kecil dalam ukuran namun semakin digdaya dalam kemampuan—seperti diramalkan Hukum Moore.

Sejarah dapat ditulis dengan penekanan yang berbeda. “Sejarah dunia tak lain adalah sejarah orang-orang hebat,” begitu kata Thomas Carlyle, tapi Isaacson telah menunjukkan bahwa inovasi berlangsung dalam jalinan relasi kompleks di antara individu cerdik dan jenius, para perintis, peretas, penemu, entrepreneur, institusi-institusi militer, industri, akademis, maupun pemerintahan, bahkan bukan yang sezaman, melainkan dari generasi yang berbeda. Jalinan kolaborasi yang kompleks inilah yang menjadikan inovasi semakin kreatif.

Isaacson percaya, kreativitas sejati di era digital berasal dari mereka yang mampu menghubungkan seni dan sains—sesuatu yang sudah berusia tua. Umar Khayyam dan Leonardo da Vinci mewakili sosok kreatif yang melahirkan karya besar tatkala sains dan seni berpautan, sebagaimana maujud pada diri Augusta Ada yang penglihatannya menembus zaman ketika membayangkan “mesin yang indah, yang bukan hanya bisa memanipulasi angka-angka, tetapi juga mampu menciptakan musik dan mengolah kata”. Itulah yang kita jumpai hari ini.

(Ulasan saya ini sebelumnya dimuat di Majalah Tempo edisi 3 November 2014; Sbr foto: cappscenter.ucsb.edu)***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler