x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indonesia, Darurat Bunuh Diri

Bunuh diri diyakini menular. Jumlah kasus bunuh diri di Indonesia diperkirakan meningkat dua kali lipat dalam dua tahun, menjadi 10 ribu pada 2012.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Suicide doesn't solve your problems. It only makes them infinitely, un-countably worse.”
--Sinead O’Connor (Penyanyi, 1966-...)

Apakah bunuh diri menular (contagious)? Pertanyaan ini mencuat ketika saya mendapati bahwa berita perihal bunuh diri kerap muncul di tempo.co.

Akhir November 2014: seorang mahasiswa mengakhiri hidupnya dengan terjun dari lantai 3 sebuah kamar kos di Bandung. Awal November: seorang direktur menembak diri sendiri di sebuah hotel. Lalu 21 Oktober: seorang kepala keluarga menggantung diri dan seorang kakek sepuh melompat dari apartemen. Awal Oktober: seorang direktur meloncat dari gedung tinggi. Berikutnya, 30 September: pensiunan tentara melompat dari jembatan di Tangerang. Pekan pertama September: seorang pasien rumah sakit terjun dari ketinggian.

Itu baru sebagian kecil dari kasus yang sempat saya baca. Kasus yang diberitakan tapi tidak terbaca niscaya lebih banyak. Dan ternyata, di Indonesia, angka kematian akibat bunuh diri sungguh mengagetkan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, angka bunuh di Indonesia meningkat dua kali lipat dari 5 ribu orang per tahun pada 2010 menjadi (estimasi) 10 ribu per tahun pada 2012—sebuah peningkatan yang sangat besar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Angka itu bagian dari kasus bunuh diri yang jumlahnya mencapai 800 ribu per tahun di  seluruh dunia—sangat besar dan melampaui kematian akibat pembunuhan, perang, maupun bencana alam. Artinya, setiap 40 detik terjadi satu kasus bunuh diri. “Itu jumlah yang besar,” kata Shekhar Saxena, direktur kesehatan mental WHO, beberapa waktu lalu.

Bukan hanya angka, soalnya. Hal lain yang mengusik: apakah bunuh diri itu menular (contagiuous) seperti yang tidak langsung tergambarkan dalam pemberitaan? Peristiwa bunuh diri memang masalah kompleks yang dipengaruhi oleh beragam faktor, seperti psikologis, sosial, biologis, budaya, maupun lingkungan. Tapi apakah informasi tentang peristiwa bunuh diri turut berkontribusi dalam memantik jiwa-jiwa yang sudah rentan untuk mengakhiri hidupnya?

Ketika bintang film Marilyn Monroe meninggal dunia pada 1962, yang diduga akibat bunuh diri, hingga beberapa bulan kemudian pemberitaannya masih berlangsung ekstensif. Menurut sebuah studi, tingkat bunuh diri di AS ketika itu melonjak 12 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya untuk rentang waktu yang sama. Dalam kasus ini, para ahli menduga, faktor Marilyn sebagai figur publik sangat berpengaruh.

Meski sebagai ahli menolak pandangan bahwa bunuh diri itu ‘menular’ (menular dalam pengertian menginspirasi, memantik, bukan menular seperti virus flu), namun Madelyn Gould, guru besar Epidemiologi dalam Psikiatri di Columbia University, yakin bahwa penularan bunuh diri itu nyata. “Itulah sebabnya saya menaruh perhatian terhadap soal ini,” ujar Gould, yang mengkaji penularan bunuh diri secara ekstensif, seperti dikutip media ketika kabar kematian aktor Robin Williams diberitakan beberapa waktu lalu. Ia mengkhawatirkan pemberitaan luas kematian Williams dapat memicu ‘glamorisasi bunuh diri’—bahwa bunuh diri adalah tindakan yang wah dan keren.

Terkait hal itu, sejumlah ahli juga menyarankan agar pemberitaan tidak terlalu menyoroti peristiwa bunuh dirinya, bahkan harus diupayakan agar kata ‘bunuh diri’ tidak dipakai sebagai judul berita. “Kasus bunuh diri berbeda dari penyebab kematian lainnya,” kata Christine Moutier, Chief Medical Officer di American Foundation for Suicide Prevention, seperti dikutip media. “Ketika mendengar kabar kematian seseorang karena kanker atau sakit jantung, peristiwa ini tidak akan mengirim pesan yang salah (kepada orang lain).”

Seorang ahli psikiatri mengungkapkan apa yang diceritakan pasiennya tentang apa yang terlintas di benaknya ketika membaca atau mendengar berita tentang bunuh diri. “Mereka berusaha melawan otak yang mendorong mereka ke satu arah (tindakan bunuh diri),” ujar psikiater ini. “Menjadi tugas kita untuk membantu mereka dengan menyayangi dan memotivasi.”

Media dan hubungan sosial, kata David Rudd, guru besar psikologi di College of Social and Behavioral, University of Utah, AS, cenderung ‘memfasilitasi’ (mungkin secara tidak sadar) perasaan tidak berdaya dan tidak berpengharapan. “Juga memfasilitasi gagasan keliru bahwa bunuh diri adalah solusi bagi persoalan hidup.”

Bagi pribadi yang rentan dan sedang menghadapi persoalan serius, pesan-pesan bunuh diri yang terbawa bersama pemberitaan (koran, televisi, media online, radio, maupun media sosial) berpotensi memicu dorongan untuk mengakhiri hidup. Alexandra Fleischmann, salah seorang penulis laporan pertama PBB mengenai bunuh diri, yang dipublikasi September lalu, menyebutkan adanya kaitan antara bunuh diri yang dilaporkan di media dan tindakan yang dilakukan setelahnya.

Fleischmann mengingatkan peran media dalam melaporkan kasus bunuh diri. “Bunuh diri seharusnya tidak diglamorisasi atau disensasionalkan di media karena perilaku imitasi (peniruan) dapat mengikutinya,” ujarnya.

Bunuh diri adalah isyu besar. Seperti kata Shekhar Saxena, direktur kesehatan mental WHO, “Bunuh diri adalah kasus kesehatan masyarakat yang luar biasa.” Sayangnya, perhatian kita di sini sepertinya kurang memadai. Bayangkan, seperti laporan PBB, diperkirakan 10 ribu orang mengakhiri hidupnya sendiri setiap tahun di negeri ini. Amat mengerikan! ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler