x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pamor Buku Cetak Naik Lagi

Dalam konteks Indonesia, e-book belum mampu menggantikan kenyamanan membaca buku cetak. Bahkan, di negara-negara dengan minat baca tinggi sekalipun, hal itu belum terjadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“There is no future for e-books, because they are not books. E-books smell like burned fuel.” 
--Ray Bradbury (Penulis, 1920-2012)

Apakah buku cetak semakin terpinggirkan oleh buku elektronik (e-book)? Dalam konteks Indonesia, e-book belum mampu melakukan hal itu. Bahkan, di negara-negara dengan minat baca tinggi sekalipun, hal itu belum terjadi. Di banyak negara, penjualan e-book memang tumbuh, tetapi belum benar-benar mengguncang buku cetak.

Pada 2010, di AS, penjualan e-book memang sempat meledak hingga toko buku besar seperti Borders terpaksa tutup pada 2011. Ketika itu buku cetak terancam ditinggalkan oleh pembacanya yang beralih kepada berbagai peranti e-reader. Itulah masa demam e-book. Para penerbit buku cetak pun cemas lantaran penjualan buku cetak turun hingga mencapai 590 juta buku terjual pada 2012.

Namun, rupanya, situasi ini tidak berlangsung terus-menerus. Buku cetak, lagi-lagi dalam konteks AS, mengejar pertumbuhannya kembali. Dalam laporan yang baru-baru ini dipublikasikan oleh Nielsen BookScan, penjualan buku cetak melalui toko buku dan gerai lainnya mencapai 635 juta buku pada 2014. Artinya, dalam dua tahun terakhir, penjualan buku cetak naik sebesar 7,6%.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kecenderungan pertumbuhan kembali buku cetak mulai terlihat ketika pada 2013, angka penjualannya meningkat dari 590 juta menjadi 620 juta buku atau meningkat sebesar 5%. Peningkatan ini ditopang oleh peningkatan penjualan melalui toko buku, termasuk online dan khususnya Amazon.com, maupun klab-klab buku.

‘Serangan balik’ buku cetak ini setidaknya memperlihatkan bahwa e-book belum mampu menggusur buku cetak. Belum dikaji secara menyeluruh apa yang menyebabkan daya gusur e-book tidak sebesar yang semula ditakutkan. Meskipun demikian, ada beberapa indikasi yang barangkali dapat menjelaskan hal itu.

Pertama, ‘ledakan penjualan e-book’ pada 2010 agaknya lebih didorong oleh munculnya sejumlah peranti baca buku elektronik (e-reader). Banyak orang ingin tahu dan ingin merasakan pengalaman membaca e-book di layar elektronik. Salah satunya yang membuat pembaca senang ialah kemana saja mereka pergi, mereka bisa membawa ratusan buku tanpa kerepotan, cukup dalam satu peranti yang berbobot ringan.

Kedua, ketika rasa penasaran itu mulai menyusut, pembaca kemudian menuntut kenyamanan dalam membaca e-book. Sejumlah penelitian mengenai kenyamanan membaca e-book dengan peranti elektronik mungkin saja memengaruhi persepsi pembaca. Juga, riset mengenai dampak kesehatan dari terus-menerus membaca teks di layar yang berpendar boleh jadi mengurangi hasrat membaca e-book.

Ketiga, pembaca buku yang tekun akan rindu kepada aroma buku cetak, kepada tinta yang diserap oleh kertas. Buku baru maupun buku lama menguarkan aroma yang membuat pembacanya betah menyusuri teks halaman demi halaman.

Jadi, mungkin saja, kecenderungan meningkatnya kembali angka penjualan buku cetak akan terus berlangsung. Bukan saja di AS, tapi juga di negara-negara lain. Pembaca buku menunggu inovasi apa yang bakal dieksekusi agar aspek kenyamanan dan kesehatan dalam membaca e-book bertambah baik. Sepanjang ini belum terpenuhi, tidak mudah bagi e-book untuk menggusur peran buku cetak. (sbr foto: ubergizmo.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler