x

Budi Gunawan. (ILUSTRASI: TEMPO/ IMAM YUNNI)

Iklan

Mario Manalu

Anak kampung yang belajar menulis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jokowi Vs KPK: Pertarungan 2 Protagonis?

Tak seperti saat memilih para menteri, Jokowi tidak melibatkan KPK dalam proses memilih Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri Mungkinkah ini cara Jokowi menghadapi kekuatan politik besar yang menekannya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika perjalanan reformasi Indonesia diadaptasi ke dalam sebuah cerita, Jokowi dan KPK (baca: para pimpinan KPK) pasti memerankan tokoh protagonis. Jokowi adalah pembela kebenaran dan pembawa harapan baru di tengah minimnya sosok pemimpin dan birokrat jujur, pekerja keras dan pro-rakyat. KPK tampil sebagai penegak hukum berwibawa, berintegritas, membawa harapan akan keadilan dan supremasi hukum di tengah carut marutnya penegakan hukum di negeri ini. Rakyat (pembaca atau penonton cerita) tentu selalu menggandrungi bahkan membela tokoh protagonis dalam setiap cerita. Bahkan cenderung mengganggap segala hal yang dikerjakan tokoh protagonis benar dan cenderung mencap siapa saja yang tidak sejalan dengan tokoh protagonis sebagai musuh (tokoh antagonis).

Cerita begerak maju dengan segala lika-likunya dan Jokowipun berhasil meraih tampuk kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negeri ini dan menjalin kerjasama dengan KPK untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Jokowi meminta bantuan KPK menelusuri rekam jejak calon-calon menteri. Pembaca/penonton (rakyat) makin senang karena kedua tokoh pujaan mereka menunjukkan sinergi yang kuat. Namun,  sebagaimana lazimnya sebuah cerita, plot yang mengalir datar pelan-pelan akan mulai terasa membosankan dan akhirnya basi. Maka cerita perlu dibumbui dengan konflik, ketegangan di antara para tokoh dan kalau perlu diselingi dengan berbagai kejadian dramatis.

Sayangnya, pencerita sepertinya terlalu buru-buru sehingga menghadirkan konflik yang terlalu mengejutkan dan di luar dugaan pembaca/penonton yang paling cerdas sekalipun: kedua tokoh protagonis saling berhadapan dalam situasi dilematis penuh tegangan. Dalam situasi di mana keduanya tidak mungkin sama-sama benar dan tidak mungkin sama-sama keluar sebagai pahlawan. Pembaca/penonton tentu akan sangat sulit menentukan siapa yang mesti mereka dukung dan situasi seperti itu sangat tidak diharapkan. Mereka berharap tokoh kesayangan mereka bekerjasama melawan kekuatan antagonis maha besar dan sama-sama keluar sebagai pahlawan bukan malah saling bertentangan satu sama lain. Namun tidak sedikit yang tak sabar menunggu ending dari cerita ini dan tak sabar melihat bagaimana kedua tokoh itu keluar dari kemelut. Analisis tentang ending cerita inipun mulai marak, berseleweran di berbagai media.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kuda Troya ala Jokowi

Sebagian pembaca/penonton mem-flasback cerita ini. Tersebutlah keganjilan dalam proses pemilihan calon Kapolri yang dilakukan Jokowi. Dia tidak melibatkan KPK dalam proses tersebut sebagaimana pernah dilakukan dalam memilih para menteri. Mengapa? Kemungkinan Jokowi sudah tahu calon yang akan dipilihnya akan diberi tinta merah amat tebal. Jika sudah diberi tinta merah dan dia tetap memilih calon tersebut, itu artinya dia menabuh genderang perang dengan KPK atau bahasa halusnya menyepelekan KPK secara terang-terangan. Ini bisa berbuntut panjang dan beresiko mendapat hujatan publik. Di lain pihak, Jokowi tidak punya pilihan lain karena berhadapan dengan sebuah kekuatan politik yang tidak mungkin dilawannya.

Dalam situasi di atas, skenario Kuda Troya menjadi masuk akal. Jokowi pura-pura mengangkat bendera putih, menyerah, tidak melawan kekuatan politik yang memasungnya. Dia tidak menggunakan KPK untuk mencoret nama calon yang direkomendasikan sang penguasa politik. Dia menuruti kemauannya dan memberinya hadiah amat berharga: kedudukan tertinggi bagi orang pilihan sang penguasa. Tapi di benaknya sudah ada gambaran, hadiah itu akan menjadi bumerang bagi sang penguasa. Cepat atau lambat calon yang dipilihnya akan mendapat masalah. Saat itulah mungkin dia bisa berkata kepada sang penguasa “Lihat nih, gara-gara pilihan tuan, citraku jadi ambruk dan rakyat marah. Cukuplah ya, lain kali biarkan saya menentukan sendiri the right man at the right place”. Pelan-pelan dia mulai terbebas dari campur tangan sang penguasa politik.

 

Antara Patriotisme dan Egosentrisme KPK

Dalam skenario Kuda Troya di atas, terasa janggal bahwa plot cerita bergerak teramat cepat. Hanya dalam hitungan hari, calon yang dipilih Jokowi dinyatakan tersangka oleh KPK. Ini membingungkan, mengapa semua begitu cepat bergerak. Apakah kedua peristiwa itu (pemilihan calon Kapolri dan penetapan tersangka) saling berhubungan? Atau meminjam kata-kata Patrice Rio Capella, sekretaris DPP Nasdem,  “Makanya, saya tanya, kalau Budi Gunawan tidak dicalonkan sebagai kapolri apakah hari ini akan jadi tersangka? Saya rasa belum tentu” (kompas.com, 13 Januari 2015).

KPK telah memberi bantahan. Penyelidikan kasus tersebut telah dimulai jauh-jauh hari. Begitu kira-kira isi keterangan KPK. Tapi betapapun penjelasan itu masuk akal, sulit bagi pembaca/penonton cerita ini untuk menempatkan kedua peristiwa tersebut sebagai kejadian yang berdiri sendiri-sendiri tanpa hubungan satu sama lain. Pertanyaannya adalah, mengapa mesti sekarang ditetapkan jadi tersangka? Apakah KPK terdorong oleh jiwa patriotisme? Atau karena merasa diremehkan dan tidak terima karena  tidak dilibatkan dalam proses seleksi tersebut? Masih banyak pertanyaan dapat dibuat.

Jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut hanya bisa diraba-raba dengan melihat berbagai indikasi di hari-hari yang lampau. Dalam beberapa kesempatan KPK tampak sangat menikmati sorotan publik dengan prestise sebagai lembaga kredibel. Sebagai contoh, pasca penetapan menteri-menteri beberapa bulan lalu, pimpinan KPK mengobral kepada media jumlah calon menteri yang diberi tanda merah dan tanda kuning. Seakan menegaskan, mereka sangat berkuasa dan sangat diperhitungkan Presiden. Ini seharusnya tidak perlu, cukup publik tahu bahwa mereka dilibatkan dalam seleksi menteri, hasilnya biarlah tetap jadi rahasia KPK dan Presiden karena menyangkut nama baik orang lain. Masih banyak contoh yang bisa dirujuk di mana KPK terlalu royal dengan media sehingga terkesan menonjolkan egosentrisme, bukan sikap patriotisme.

Sebagai penutup, pembaca/penonton cerita mungkin sama sekali tidak mengharapkan skenario di atas. Itu adalah cerita rekaan dengan imajinasi liar. Publik menantikan sebuah ending yang indah melalui alur cerita yang logis di mana kedua tokoh ini sebagai anak kandung reformasi tetap menjadi tumpuan harapan akan esok yang lebih baik.Kutipan bijak dari Aristoteles rasanya layak menutup cerita ini. Amicus Plato sed magis amicus veritas (Plato adalah sahabatku tetapi saya lebih bersahabat dengan kebenaran). Betapun Aristoteles menghormati Plato yang telah berjasa dalam hidupnya, rasa hormatnya terhadap kebenaran jauh lebih besar daripada terhadap guru agungnya itu.

Ikuti tulisan menarik Mario Manalu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler