x

Seorang pelajar melintas di depan papan yang menggambarkan proses evolusi manusia dalam pameran Sosialisasi dan Publikasi Museum Manusia Purba Sangiran di pusat perbelanjaan Mall Grand City, Surabaya, Kamis (11/6). Berbagai fosil yang ditemukan di Si

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Situs Purbakala, Riuh di Mata Dunia, Sepi di Rumah Sendiri

Menurut mantan Kepala Pusat Arkanas, selama 2014, hanya ada Rp. 20 miliar yang dikucurkan pemerintah untuk Pusat Arkeologi Nasional, dan hanya ada dana Rp 7,5 miliar untuk penelitian sekian puluh situs.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“You know Di, Indonesia have a lot of potential place. Its such amazing place, same kind of gold field for the archaeology. Do you remember a year when we meet? After I go to Liang Bua? Seems like a dream, after the Wadjak Man, as we know that they discover as the largest fosills ever found in Indonesia, at Liang Bua, we found the opposite of it. You dont know how priceless is it for our literature. But too bad to know that, seems your government have no good concern about it. Much site in Indonesia are abandoned...”

Percakapan dengan seorang kawan diatas cukup menggellitik hati saya. Awalnya kami hanya mengobrol biasa saja, dan berhubung kawan ini seorang arkeolog, kami sempat mengobrol tentang penemuan terbaru di Gua Harimau, di saat saya menulis tentang situs-situs purbakala di Indonesia.

Penemuan di Ogan Komering Ulu ini menambah daftar panjang alasan UNICEF menetapkan Indonesia sebagai negara dengan situs manusia purba terlengkap di Asia. Yup, ada banyak daftar situs-situs arkeologi di Indonesia yang sampai sekarang menjadi kiblat dunia arkeologi untuk diteliti. Sebut saja Sangiran, Liang Bua, Maros, Kalumpang, Pasemah, Pugung Raharjo, Mahat, Gunung Padang, Bada, Besoa dan lain sebagainya. Itu baru sebagian kecil tempat yg dieksplore oleh Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas), dan, itupun sebagian merupakan peninggalan arkeolog-arkeolog jaman baheula. Yang seperti kita tahu, ada nama Eugene Dubois dan Von Koenigswald sebagai pemrakarsa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya jadi teringat kembali cerita tak sedap tentang Homo Floresiensis. Yang saat itu hasil penelitiannya diumumkan secara sepihak oleh peneliti asing di Sidney, Australia. Padahal ada nama R.P. Soejono dari Arkanas yang ikut menggali di Liang Bua sejak awal.

Yah, begitulah, pada kenyataannya, Indonesia memang membutuhkan partner peneliti dari negara lain untuk bisa mengeksploitasi berlimpahnya lahan penelitian di bidang arkeologi. Mengingat minimnya dana penelitian yang dikucurkan oleh pemerintah setiap tahunnya. Menurut mantan Kepala Pusat Arkanas, selama 2014, hanya ada Rp. 20 miliar yang dikucurkan pemerintah untuk Pusarnas, dan hanya ada dana Rp 7,5 miliar untuk penelitian. Dari sekian puluh situs yang bisa dieksplorasi.

Sepertinya memang bukan jalan yang mudah bagi Pusarnas untuk bisa maju dengan langkah kaki sendiri. Mengingat dukungan yang sangat minim dari pemerintah dan masyarakat. Ya, peran serta masyarakat masih sangat minim untuk memberikan dukungan pada Pusarnas. Tidak seperti di negara-negara lain, yang masyarakatnya turut berperan serta mendukung penelitian lewat sponsor-sponsor dari universitas, perusahaan maupun pribadi guna sebuah penelitian.

Belum lagi, bagi sebagian masyarakat, situs-situs purbakala tersebut memang hampir tak dianggap berguna sama sekali. Maklum saja, tidak semua mengerti arti kepentingan sejarah, apa gunanya untuk kehidupan mereka, terutama untuk orang-orang yang sudah money oriented dalam hidupnya. Meski bagi para arkeolog, saat bicara sejarah, itu adalah sumbangsih bagi literature pendidikan anak cucu kita kelak. Dan tetap saja mereka mengharapkan masyarakat berperan serta menjaga agar cagar budaya yang ada tidak terlantar atau tergerus kepentingan, mengingat tidak semua situs berada didalam sebuah tempat terlindungi. Seperti yang terdapat di Lahat, Sumatera Selatan. Situs tersebut berada ditengah sawah dan hanya dibuatkan pagar besi seadanya setinggi kurang lebih 1 meter.

Kemudian menjadi sebuah daftar ironi, seperti kasus Homo Floresiensis di atas. Saat pengumuman tersebut dilakukan oleh peneliti dari Australia, masyarakat begitu terluka, seolah kecolongan (dan memang sebenarnya kecolongan), tapi mereka lupa bahwa mereka sendiri sebenarnya abai akan apa yg mereka miliki.

Contoh sederhana saja jika kita tidak abai dengan apa yg kita miliki, pernahkah anda mengajak putra putri anda melakukan wisata edukasi ke beberapa situs yang merupakan cagar budaya? Atau anda lebih memilih mengajak putra putri anda mengenalkan wahana permainan seperti flying fox sebagai sebuah wisata edukasi?

Ah, masyarakat memang tidak salah saat mereka memilih wahana permainan untuk tujuan wisata, sepertinya memang jiwa nasionalis para peneliti kita saja yang kurang. Hingga banyak dari mereka yang lari ke luar negeri, di mana fasilitas disana lebih mumpuni untuk melakukan penelitian hahahahahahaha

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler