x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengingat Lagi Bung Hatta

Bung Hatta juga pernah menolak naik gaji. Ia terpaksa menyetujui kenaikan gajinya setelah diberitahu bahwa jika gajinya tidak naik, gaji para pegawai tidak akan bisa dinaikkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Demokrasi hanya berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi tanpa tanggung jawab. Dan, demokrasi yang melewati batasnya dan meluap menjadi anarki akan menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh diktator.” 
--Bung Hatta dalam buku 'Demokrasi Kita'

 

 

Suatu ketika, pada tahun 1950an, Bung Hatta ingin memiliki sepatu Bally. Bila disebut Bung, niscaya orang akan berpaling kepada proklamator itu, bukan Hatta yang lain (baginya, panggilan Bung juga lebih egaliter dibandingkan dengan Bapak). Bally merek terkenal pada masa itu. Tapi, sekalipun ia wakil presiden negara ini, Bung Hatta baru sanggup menyimpan guntingan iklan sepatu yang memuat alamat penjualnya—ia harus menabung lebih dulu. Ia tak bisa menyuruh ajudan untuk langsung membeli sepatu itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tokoh ini memilih cara yang memang khas Hatta: berusaha membeli dengan uang hasil keringat sendiri. Usaha Bung Hatta untuk menyisihkan sebagian gaji sebagai wakil presiden tidak mudah terlaksana. Uang gaji terpakai untuk keperluan rumah tangga dan membantu orang-orang yang meminta pertolongan. Pendek cerita, hingga akhir hayatnya, Bung Hatta hanya mampu memiliki guntingan iklan sepatu Bally itu.

Mengapa Bung Hatta tidak memasukkan item sepatu Bally ke dalam anggaran rumah tangga kewakilpresidenan? Jangankan menyisipkan anggaran untuk membeli sepasang sepatu (sebab ia seorang wakil presiden), mau yang jauh lebih dari itu, niscaya Bung Hatta bisa (kalau memakai ukuran sekarang). Namun tindakannya mengembalikan dana taktis, yang sebenarnya tidak perlu dipertanggungjawabkan, cukup memberi gambaran mengapa ia tidak akan mau menyisipkan anggaran pembelian sepatu, sekalipun sepatu itu dipakai untuk menjalankan tugasnya sebagai wakil presiden.

Bung Hatta juga pernah menolak naik gaji. Ia terpaksa menyetujui kenaikan gajinya setelah diberitahu bahwa jika gajinya tidak naik, gaji para pegawai tidak akan bisa dinaikkan. “Kasihan juga para pegawai,” mungkin itu yang tersirat dalam benak Bung Hatta. Ia tidak pernah meminta kenaikan gaji kendati dalam periode tertentu gajinya dipotong untuk mengangsur pinjaman kepada negara.

Saya jadi ingat kata-kata Abraham Lincoln (lagi), bapak bangsa Amerika Serikat. Ia pernah berbicara begini: “Siapa saja mungkin tahan untuk menderita. Namun jika ingin mengetahui karakternya, berilah ia kekuasaan.” Dan Hatta ketika itu “seorang wakil presiden, Bro!” Sejarah menunjukkan bahwa Bung Hatta telah lolos dari ujian kekuasaan.

Setelah mundur dari jabatan wakil presiden, ia menolak permintaan untuk menjadi komisaris perusahaan. “Apa kata rakyat?” ujarnya (lihatlah zaman sekarang). Bung Hatta membiayai hidup keluarganya, membayar tagihan listrik, air, dan sebagainya dari honor menulis.

Cerita lain, yang barangkali juga sudah kerap didengar, Bung Hatta tidak sanggup membeli mesin jahit, padahal Bu Rahmi—istri Bung Hatta—sudah lama ingin memilikinya, bahkan ketika suaminya masih wakil presiden.

Di saat Bung Hatta masih menjadi wakil presiden, tabungan Bu Rahmi untuk membeli mesin jahit terpangkas oleh sanering (pemotongan nilai mata uang)—yang tadinya Rp 100 menjadi Rp 1. Karena sanering, tabungan Bu Rahmi merosot drastis. Bu Rahmi protes, mengapa ia sebagai isteri wakil presiden tidak diberitahu. Bung Hatta bilang, “Ini rahasia negara. Kalau saya beritahu, bukan rahasia lagi.”

Di zaman sekarang, kata seorang tokoh masyarakat, hidup sederhana itu sukar. Ada pejabat yang mengeluh gajinya tidak naik-naik. Ada petinggi partai yang merasa kurang patut bila datang ke gedung parlemen dengan mobil butut atau memakai jam tangan dua ratus ribu rupiah. Ada pula pejabat yang berutang uang lauk-pauk hingga miliaran rupiah untuk menjamu tamu-tamunya dan membebankannya kepada anggaran negara. Ada pula pejabat yang kekayaannya naik berlipat-lipat dalam waktu singkat.

Sebagai pemimpin, Bung Hatta bertindak menurut pikiran dan hati nuraninya, bukan menurut paksaan keadaan maupun tekanan orang lain—ia tidak mau dipaksa oleh gengsi sekalipun. Ia bahkan memilih mundur dari jabatan wakil presiden untuk menghindari penggunaan kekuasaan yang tidak amanah. Ia bukan pula sosok yang, meminjam kalimat sosiolog Ignas Kleden, “senang menumpang kemungkinan yang diberikan oleh kesempatan”. (Oleh sebab itu nama Bung Hatta diadopsi untuk penghargaan anti-korupsi, dan Pak Jokowi pernah menerima penghargaan ini pada tahun 2010, dulu ketika menjadi walikota Solo)

Di tengah pesona kekuasaan dan harta seperti zaman sekarang, seandainya ia masih hidup, Bung Hatta akan tetap seorang anomali. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler