x

Iklan

Ipul Gassing

Pemilik blog daenggassing.com yang senang menulis apa saja. Penikmat pantai yang hobi memotret dan rajin menggambar
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seraut Wajah Museum Kota Makassar

Museum kota Makassar yang terletak di Jl. Balaikota harusnya bisa jadi salah satu tempat terbaik untuk mengenal sejarah kota Makassar. Sayangnya, museum ini seperti mati segan hidup tak mau.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kapan Anda terakhir kali tergerak untuk berkunjung ke museum? Atau lebih tepatnya kapan terakhir kali Anda mengunjungi museum di Indonesia? Kalau Anda menjawab baru saja berarti Anda hebat, Anda bukan seperti kebanyakan orang Indonesia yang tidak tertarik untuk berkunjung ke museum.

Museum bagi sebagian besar orang Indonesia masih jadi urutan kesekian dalam daftar wisata. Masih kalah dibanding objek wisata lain seperti pantai, gunung, danau, pasar atau bahkan kuliner. Tidak heran banyak museum milik pemerintah (utamanya di daerah) yang kemudian seperti hidup segan mati tak mau. Memang ada beberapa museum yang tetap bisa ramai, seperti beberapa museum di Jakarta yang memang sudah dikelola secara profesional dan terhindar dari keadaan buruk seperti rekan-rekannya di daerah.

Salah satu yang bisa saya bilang terkena nasib buruk adalah museum kota Makassar. Bangunan yang berdiri di Jl. Balaikota tidak jauh dari lapangan Karebosi itu menjadi museum yang lebih akrab dengan debu dan kesepian daripada pengunjung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bangunan ini dulunya adalah kantor gubernur jenderal Belanda yang dibangun sejak tahun 1916. Setelah masa kemerdekaan bangunan ini sempat menjadi kantor gubernur Sulawesi Selatan sebelum akhirnya difungsikan sebagai kantor walikota Makassar. Sejak tahun 2000 bangunan yang sudah ditinggalkan karena adanya gedung walikota yang baru, akhirnya disulap menjadi museum kota Makassar.

Di bagian depan bangunan atau yang disebut lobby terdapat meja penerima tamu yang biasa diisi oleh beberapa pegawai museum. Di dinding sebelah kanan terpasang lukisan besar Sultan Hasanuddin, raja Gowa ke-16. Di dekat patung berdiri dua manekin pria dan wanita dengan pakaian adat suku Makassar. Di dinding sebelah kanan ada lukisan besar Syech Yusuf Al Makassari, ulama besar dari Sulawesi Selatan. Di tengah ruangan ada piano besar peninggalan jaman Belanda, piano ini dulu sering digunakan untuk mengiringi pesta dansa para pejabat Belanda jaman kolonial.

Ruangan sebelah kiri gedung adalah ruangan utama museum, berisi beragam cerita dan peninggalan yang menggambarkan kisah kota Makassar sejak jaman purba, jaman kerajaan Gowa-Tallo, kedatangan penjajah Belanda hingga masa kemerdekaan. Ada beragam koleksi di sana termasuk salinan perjanjian Bungayya yang menandai jatuhnya kerajaan Gowa.

Di ruangan ini kita sebenarnya bisa belajar banyak tentang sejarah dan budaya kota Makassar, sayangnya karena ruangan ini seperti tidak terawat dengan baik. Suasananya remang-remang karena penerangan yang tidak mencukupi, ditambah lagi beberapa koleksi seperti sudah berdebu dan tidak terawat.

Naik ke lantai dua ada tiga ruangan utama, ruangan sebelah kanan berisi beberapa manekin dengan pakaian adat beberapa suku bangsa yang ada di Makassar termasuk orang India yang juga jadi salah satu suku yang mendiami kota Makassar. Sayang, ruangan ini juga tidak kalah kusamnya dengan ruangan di lantai 1.

Di tengah-tengah ada satu ruangan besar yang dulu berfungsi sebagai ruang rapat walikota Makassar beserta jajarannya. Ruangan ini tersambung dengan ruangan di sebelah kanan gedung yang sekarang dijadikan ruangan khusus untuk mengenang walikota Makassar yang legendaris, HM daeng Patompo.

Ruangan ini berisi banyak memorabilia yang menceritakan kegiatan HM daeng Patompo yang jadi walikota dari tahun 1962-1978. Ada pakaian dinas beliau lengkap dengan tanda jasanya, ada alat-alat kerja yang digunakan beliau serta ruang kerja yang tetap dibiarkan seperti itu. Ruangan ini lumayan bisa menambah pengetahuan tentang sepak terjang HM Dg. Patompo dan keadaan Makassar di tahun 60an dan 70an.

Di antara lantai 1 dan lantai 2 ada satu ruangan yang interiornya ditata seperti sebuah ruangan di pesta pernikahan suku Bugis-Makassar lengkap dengan manekin mempelai dengan pakaian adatnya serta alat-alat makan dan hiasan pesta. Ruangan ini hanya dibuka ketika ada yang meminta.

Ketika berbincang dengan petugas museum, mereka memang mengakui kalau perhatian dari pemerintah kota masih sangat kurang. Kendala terbesar mereka adalah kurangnya dana dan sumber daya manusia yang bisa membantu mereka mengoperasikan museum agar lebih menarik bagi para pengunjung.

Sayang sekali, padahal museum kota Makassar harusnya bisa jadi salah satu gerbang bagi para wisatawan atau warga yang ingin tahu lebih banyak tentang sejarah kota Makassar dan orang-orang yang hidup di atasnya. Pemerintah kota Makassar tampaknya masih lebih tertarik untuk membangun beragam bangunan megah atau proyek mercusuar lainnya daripada merawat sejarah mereka sendiri.

 

Ikuti tulisan menarik Ipul Gassing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler