x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merindukan Pak Hoegeng

Sepuluh tahun yang lampau, Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso wafat dalam usia 82 tahun lebih. Ketika pensiun, ia tak punya rumah, mobil, maupun perabot dan menyambung hidup dengan menjual lukisannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik.”
--Hoegeng Iman Santoso (Kapolri ke-5, 1921-2004)

 

Sebagai polisi, meski berpangkat perwira, hidup Hoegeng pas-pasan. Merry Roesalni, isteri Hoegeng, membuka toko bunga untuk mencari penghasilan tambahan. Lumayan laku dan terus berkembang. Tapi Merry kaget ketika sehari menjelang Hoegeng dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (kini setingkat Dirjen) pada 1960, suaminya meminta Merry agar menutup toko bunganya.

Merry bertanya-tanya, apa hubungan pelantikan suaminya dengan penutupan toko bunga? “Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang ke toko Ibu, kan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” kata Hoegeng menjelaskan.

Merry, yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih, mengerti maksud permintaan Hoegeng. Ia rela menutup tokonya yang sudah cukup maju. “Bapak tidak ingin orang-orang beli bunga ke toko kami karena jabatan Bapak,” ujar Merry.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum menjabat Kepala Imigrasi, Hoegeng menjadi Kepala Direktorat Bareskrim Kantor Polisi Sumatera Utara sejak 1956. Dari Surabaya ia dikirim ke Medan, kota yang waktu itu dikenal sebagai sarang judi dan penyelundupan. Polisi, tentara, dan jaksa di Medan dikuasai oleh bandar judi.

Dikenal sebagai polisi yang galak terhadap perjudian, kemaksiatan, maupun suap dan korupsi, kali ini Hoegeng dihadapkan pada tantangan yang menguji ketahanan integritasnya. Tantangan pertama mengintai Hoegeng begitu ia tiba di Pelabuhan Belawan, Medan. Bandar judi tidak mau buang-buang waktu dan mengirim utusan untuk menjemputnya ke Pelabuhan. Utusan ini mengatakan kepada Hoegeng bahwa mobil dan rumah sudah disiapkan—rupanya, bandar judi tahu, rumah dinas Hoegeng masih dipakai pejabat lama. Hoegeng menolak dan memilih tinggal dulu di Hotel De Boer.

Bandar judi pantang menyerah. Dua bulan kemudian, saat rumah dinas siap dihuni, Hoegeng terkejut bukan main saat memasukinya. Di dalamnya sudah ada kulkas, piano, tape, hingga sofa nan empuk. Pada pertengahan 1950an, menteri pun belum tentu punya kulkas dan piano. Digempur sogokan ini, benteng Hoegeng tetap tegak, ia meminta barang-barang itu dikeluarkan dari rumah dinas. Ketika orang-orang bandar judi tak juga mau mengeluarkannya, Hoegeng menyewa tukang angkut untuk menaruh semua barang itu di depan rumah. “Ini amat memalukan,” ujarnya geram.

Tiga tahun berdinas di Medan, Hoegeng ditarik ke Jakarta untuk memegang sejumlah jabatan, hingga kemudian ia diangkat menjadi Kapolri pada 1968. Ia bergerak cepat untuk membenahi kepolisian. Bukan saja organisasinya yang ia tata, tetapi yang lebih penting itu ialah menata kembali kultur dan nilai-nilai kepolisian. Ia bersihkan kepolisian dari kebiasaan menerima gratifikasi. Tentu saja, tidak semua orang senang dengan langkahnya ini.

Di masa kepemimpinannya, Hoegeng mengharuskan pengendara sepeda motor untuk memakai helm demi keamanan mereka. Tapi masyarakat menentang gagasan yang baik ini. Butuh puluhan tahun bagi masyarakat Indonesia untuk mengakui kebenaran keputusan Hoegeng.

Pada masanya pula, setidaknya ada dua kasus yang menggemparkan masyarakat, yaitu kasus Sum Kuning dan pembongkaran penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahjadi.

Sumarijem, penjual telor berusia 18 tahun, diperkosa oleh sejumlah anak muda di Jogyakarta. Ketika itu tahun 1970. Namun, justru Sum yang ditahan oleh polisi dengan tuduhan memberikan keterangan palsu. Di pengadilan, jaksa menuntut Sum hukuman penjara 3 bulan dan 1 tahun percobaan.

Sidang berlangsung tertutup dan polisi menghadirkan Trimo, penjual bakso, sebagai tertuduh pelaku perkosaan. Wartawan sulit meliput, yang menulis laporan pun harus berurusan dengan Dandim setempat. Tapi majelis hakim menolak permintaan jaksa dan membebaskan Sum yang tidak terbukti memberi keterangan palsu maupun Trimo yang tidak terbukti memerkosa.

Hoegeng rupanya mencium aroma rekayasa dalam penanganan perkara ini karena pelakunya anak-anak pejabat. Tapi Hoegeng tetap bertindak dan membentuk tim khusus untuk mengusut kasus ini pada Januari 1971. “Kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapapun,” ujarnya. “Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun keluarga sendiri, kalau salah tetap kita tindak. Bergeraklah, the sooner the better (makin cepat, makin baik).”

Kasus Sum Kuning menjadi isu nasional, sejumlah pejabat yang anaknya disebut terlibat pemerkosaan membantah. Presiden Soeharto bahkan turun tangan dan memerintahkan Kopkamtib (yang dulu sangat ditakuti) untuk mengambil alih kasus ini dengan alasan sudah membahayakan keamanan negara. Akhir cerita: polisi mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang, semuanya anak orang biasa.

Ketika itulah Hoegeng sadar, ada kekuatan besar untuk menjadikan kasus ini menyimpang. Apa lagi ketika ia berhasil membongkar penyelundupan mobil mewah yang dilakukan oleh Robby Tjahjadi, yang ketika itu menimbulkan kegemparan karena Robby hanya mendekam beberapa jam saja di tahanan Komdak. Kasus ini bahkan kemudian dipetieskan oleh Kejaksaan. “Siapa penjaminnya?” begitu pertanyaan yang mengusik Hoegeng. Tapi, ia tak gentar.

Tatkala Robby mengulang perbuatannya, Hoegeng membongkar kasus ini dan menahan pejabat yang menerima suap. Beredar rumor dengan cepat bahwa gara-gara membongkar kasus penyelundupan inilah Hoegeng dicopot. Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri padahal usianya baru 49 tahun—jauh lebih muda dibandingkan Sutarman yang diberhentikan Presiden Jokowi 9 bulan menjelang usia pensiunnya. Boleh jadi, keberanian dan ketegasan Hoegeng dalam memberantas kejahatan telah membikin banyak pejabat tidak nyaman dan mengusik pula ketenangan Presiden.

“Begitu dipensiunkan, Bapak kemudian mengabarkan pada ibunya. Ibunya hanya berpesan, selesaikan tugasmu dengan kejujuran, karena kita masih bisa makan nasi dengan garam,” ujar Merry, isteri Hoegeng. Pensiun di usia muda, Hoegeng menolak tawaran menjadi duta besar. “Saya polisi, bukan politisi,” begitu kata Hoegeng—kata-kata inilah yang belakangan ini populer kembali.

Hoegeng pensiun tanpa punya rumah, kendaraan, maupun barang mewah. Kepolisian lalu memberikan rumah dinasnya menjadi milik Hoegeng. Tapi semua perabot dinas ia kembalikan. Beberapa Kapolda lantas patungan membeli mobil Kingswood. Ketika uang pensiun tengah diproses, beras habis, dan ia sudah tak memegang uang lagi. Hingga tahun 2001, uang pensiun Hoegeng hanya sebesar Rp 10 ribu—itupun yang ia terima hanya Rp 7.500. Namun, kemudian uang pensiun Hoegeng disesuaikan menjadi Rp 1.170.000. Untuk menunjang kehidupan, Hoegeng melukis dan menjualnya.

Akhirnya ia menekuni juga kembali hobinya yang lain, bermusik. Di zaman tontonan televisi baru ada satu saluran, yaitu TVRI, salah satu acara musik yang banyak ditonton ialah Kamera Ria. Tapi ada acara lain yang diberi nama Irama Lautan Teduh—terkesan agak lebay, tapi nama acara ini memang cocok dengan jenis musik yang ditampilkan, yakni Hawaiian. Begitu disebut Hawaii, yang teringat pasti pantai, daun pohon kelapa yang melambai-lambai, dan musik yang mendayu-dayu.

Pengisinya tetap, yakni The Hawaiian Seniors. Disebut seniors lantaran pemain-pemainnya sudah sepuh. Mereka mengenakan baju kembang-kembang dan berkalung seuntai bunga. Salah satu pemainnya Pak Hoegeng. Di samping menjadi vokalis grup ini, Pak Hoegeng bermain ukulele.

Ketika pada 1979-an The Hawaiian Seniors tiba-tiba menghilang dari layar kaca, banyak pemirsa merasa kehilangan. Kemana Pak Hoegeng dan grup musiknya? Mereka dilarang tampil lagi di TVRI oleh rezim Orde Baru. Rupanya, keterlibatan Pak Hoegeng dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi tidak berkenan di hati Pak Harto.  Pak Hoegeng pun terpaksa berhenti menyalurkan hobinya menyanyi di layar teve.

Lembaga Kesadaran Berkonstitusi didirikan atas prakarsa Jenderal (purn) A.H. Nasution dengan penasihat Bung Hatta. Tujuannya mengawasi dan mengoreksi penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional—maklum, ketika itu DPR dan MPR-nya Pak Turut. Mereka kerap berdiskusi di rumah Bang Ali Sadikin, mantan Gubernur Jakarta.

Hubungannya dengan Pak Harto makin buruk ketika ia bergabung dengan Kelompok 50, yang anggotanya antara lain Mohammad Natsir, A.H. Nasution, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, S.K. Trimurti, Manai Sophian, dan Ny. D. Wallandouw. Mereka, pada 1980, mengeluarkan Pernyataan Keprihatinan yang mengritik jalannya pemerintahan Orde Baru yang dianggap sudah menyimpang dari UUD 45. Pernyataan ini lebih populer dengan sebutan Petisi 50.

Di kalangan polisi yang sempat mengenal Hoegeng, jenderal bertubuh tinggi dan langsing ini dikenal sederhana, antisuap, berani melawan kejahatan apapun bentuknya, tidak bermain politik, dan melayani masyarakat—ia bahkan turun dari mobil dinasnya untuk mengatur lalu lintas yang macet ketika melihat tidak ada polisi yang sedang bertugas di situ, padahal ketika itu ia perwira tinggi.

Kelak kemudian hari, ketika Jenderal (Pol.) Widodo Budidarmo diangkat jadi Kapolri, Hoegeng memberi pesan kepadanya. “Mas Widodo jangan sampai kendor memberantas perjudian dan penyelundupan karena mereka orang-orang yang berhabaya. Suka menyuap. Jangan sampai polisi bisa dibeli,” ujar Widodo menirukan Hoegeng.

Widodo menyamakan Hoegeng, mantan atasannya itu, dengan Elliot Ness, penegak hukum legendaris yang memerangi gembong mafia Al Capone di Chicago, AS. Saat itu mafia menyuap hampir seluruh polisi, jaksa, dan hakim di Chicago, karena itu merasa bebas menjalankan aksi kriminalnya. Namun, Ness dan kawan-kawannya yang dikenal sebagai The Untouchables (yang tak tersentuh; kisah ini diangkat ke layar lebar dan dibintangi oleh Kevin Costner) berhasil mengobrak-abrik kelompok gengster itu.

Ada kata-kata arif dari Hoegeng yang diingat terus oleh Jenderal Widodo. Bunyinya: “Adalah baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik.”

Barangkali karena itulah, masyarakat zaman sekarang merindukan sosok polisi seperti Hoegeng. (Bahan dari beragam sumber) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu