x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Orang Toraja dan Pesta Kematian yang Unik

Etnis Toraja mungkin yang paling gila-gilaan dari sisi ekonomi dalam melangsungkan prosesi pemakaman, di Toraja, rambu solo, istilah bagi upacara pemakaman tradisional, acap kali tak ubahnya sebuah pesta besar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siang itu, di salah satu kecamatan di Kabupaten Toraja Utara, seorang kawan asal Makassar yang baru memulai debutnya sebagai petugas pengumpul data bertandang ke sebuah rumah yang penghuninya terpilih sebagai sampel sebuah survei yang dilaksanakan oleh suatu institusi pemerintah. Ia hendak mewawancarai kepala keluarga penghuni rumah tersebut.

Kedatangannya siang itu disambut dengan ramah oleh seorang anak muda. Karena yang hendak ditemuinya adalah kepala keluarga, tanpa berpanjang kata ia kemudian bertanya kepada anak muda tersebut untuk memastikan apakah yang hendak diwawancarai sedang berada di rumah atau tidak. “Bapak, ada di rumah?”. “Ada, di dalam”, jawab sang pemuda dengan santai, sembari menunjuk ke arah sebuah kamar tidur yang pintunya setengah terbuka.

Syahdan, bukannya merasa gembira karena bakal segera mewawancarai responden yang dirasakannya siang itu. Sebaliknya, ia malah terkesiap dan segera diselimuti rasa takut serta perasaan horor yang luar biasa. Betapa tidak, yang ditunjukkan kepadanya adalah mayat seorang lelaki yang telah meninggal lebih dari setahun yang lalu. Mayat tersebut belum juga dikuburkan karena upacara pemakaman,  yang disebut rambu solo dalam bahasa Toraja, belum bisa dilangsungkan oleh keluarga yang ditinggalkan.  Musababnya, soal biaya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Boleh dibilang, dari sekian banyak etnis yang mendiami wilayah Nusantara, etnis Toraja di Provinsi Sulawesi Selatan mungkin yang paling “gila-gilaan” dari sisi ekonomi dalam melangsungkan sebuah prosesi pemakaman. Di Toraja, rambu solo yang sejatinya merupakan sebuah upacara pemakaman acap kali tak ubahnya sebuah pesta besar. Terutama jika yang bakal dimakamkan adalah kaum bangsawan (puang).

Betapa tidak, prosesi pemakaman yang lebih pantas disebut pesta itu dihelat selama tiga hari, melibatkan ratusan bahkan ribuan orang (satu kampung), dan tentu saja menelan biaya yang fantastis: ratusan juta bahkan miliaran rupiah.

Tingginya biaya perhelatan rambu solo memang wajar jika dilihat dari meriahnya acara, prosesi adat yang rumit dan kompleks dengan segala ornamen pendukungnya, serta banyaknya jumlah ternak (kerbau dan babi) yang disembelih pada puncak acara.

Tampaknya, banyaknya jumlah ternak–khususnya kerbau—yang disembelih merupakan penyebab utama melejitnya biaya perhelatan rambu solo. Bayangkan, pada puncak acara, hampir dipastikan ada ratusan ekor kerbau (tedong) dan babi yang dijagal. Cukup untuk memberi makan satu kampung. Dalam kepercayaan orang Toraja, kerbau-kerbau tersebut nantinya bakal menjadi kendaraan sang arwah menuju puya (surga).

Selain itu, jumlah ternak yang dijagal pada puncak perhelatan rambu solo merupakan simbol prestise bagi keluarga yang ditinggalkan. Semakin banyak kerbau yang disembelih, semakin tinggi pula kehormatan keluarga yang ditinggalkan di mata khalayak.

Banyaknya ternak yang disembelih juga menggambarkan status sosial si mayat dan keluarga yang ditinggalkan. Bagi mereka yang dianggap bangsawan dalam masyarakat Toraja, bila jumlah kerbau yang dijagal biasa-biasa saja dan tak berbeda dengan orang biasa, hal tersebut merupakan sebuah aib yang bakal menjadi bahan pergunjingan di masyarakat.

Di antara kerbau-kerbau yang dijagal, yang paling menarik perhatian adalah tedong bonga, kerbau belang yang harganya selangit. Anda tentu terkesiap jika mengetahui bahwa harga seekor tedong bonga bisa mencapai ratusan juta. Tedong bonga jenis saloke dengan ciri fisik tanduk kuning, lingkaran putih di bola mata, serta kulit berwarna hitam dan putih dalam kombinasi-kombinasi tertentu, harganya bahkan bisa mencapai Rp1 miliar.

Meskipun harganya selangit, perhelatan rambu solo tak bakal lengkap tanpa pemotongan tedong bonga. Pasalnya, hewan satu ini merupakan simbol prestise bagi keluarga yang ditinggalkan. Dengan menyembelih tedong bonga, martabat dan kehormatan mereka menjadi tegak lagi harum semerbak.

Dalam logika kita yang bukan orang Toraja tentu terbesit pikiran: apa tidak salah, seekor kerbau  dihargai semahal itu, setara harga sebuah mobil atau rumah? Tapi, begitulah orang Toraja, tak menjadi soal uang ratusan juta bahkan miliaran rupaih hanya berakhir sebagai onggokan berkilo-kilo daging (itupun tak dimakan sendiri) seiring putusnya leher tedong bonga di tangan tukang jagal saat puncak acara rambu sola. Dalam hal yang satu ini, mereka milihat makna hidup secara berbeda dengan kita yang bukan orang Toraja.

Selain prosesi pemakaman yang “super mahal”, cara orang Toraja dalam memakamkan mayat juga tak kalah unik. Di Tanatoraja, mayat tidak dimakamkan di dalam liang tanah. Tapi, pada dinding batu yang dilubangi, batang pohon, gua-gua, ceruk pada tebing curam, atau bangunan khusus yang didirikan untuk menaruh peti mati. Tidak membikin heran bila Toraja terkenal dengan wisata makamnya. Di Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, terdapat sejumlah lokasi pemakaman yang terkenal sebagai tempat tujuan wisata, misalnya, Kete Kesu, Londa, dan Kalimbuang Bori’.

Kete Kesu merupakan lokasi pemakaman paling tua di Tanatoraja. Konon, peti-peti mati (erung dalam bahasa Toraja) serta tulang belulang dan tengkorak di Kete Kesu umurnya telah mencapai ratusan tahun. Anda yang tak biasa dengan nuansa horor serta menyaksikan tengkorak dan tulang belulang manusia berserakan begitu saja sebaiknya jangan mengunjungi Kete Kesu. Konon, tidak jarang ada pengunjung yang bermimpi buruk di malam hari setelah mengunjungi Kete Kesu.

Nuansa horor kian terasa jika Anda mengunjungi Londa. Boleh dibilang, suasana angker sudah terasa sejak kita memasuki gapuranya. Di Londa, sebagian besar mayat disemayamkan di dalam gua. Di sana, Anda  dapat menjajal nyali dengan masuk ke dalam gua yang gelap—dengan ditemani seorang pemandu tentunya—untuk melihat langsung peti mati serta tengkorak dan tulang belulang yang memenuhi sudut-sudut gua.

Jika Anda tak cukup bernyali menghadapi suasana horor yang tersaji di Kete Kesu dan Londa, kompleks megalitik Kalimbuang Bori’ bisa menjadi pilihan untuk melihat sisi unik orang Toraja dalam memakamkan mayat. Berbeda dengan Kete Kesu dan Londa, suasana horor tidak terlalu terasa di Kalimbuang Bori’. Tak ada peti mati yang menyeramkan. Tak ada pula tengkorak dan tulang belulang manusia yang berserakan. Di sana, nuansa yang lebih terasa adalah kebudayaan megalitiknya. Di Kalimbuang Bori’, mayat dimakamkan pada lubang yang dipahat pada batu-batu besar. Satu lubang biasanya untuk satu keluarga. Di sana, Anda juga dapat melihat langsung pohon yang batangnya digunakan sebagai tempat memakamkan bayi yang meninggal dunia. Jika Anda penasaran, silahkan berkunjung ke Toraja. (*)

 

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler