x

Iklan

Anton Muhajir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sisi Bali yang Tak Peduli Pejalan Kaki

Terlalu banyak yang menyebut Ubud sebagai tujuan wisata terbaik di Bali. Tapi cobalah berjalan-jalan sedikit ke pinggiran. Ternyata, banyak fasilitas pejalan kaki yang beralih fungsi menjadi tempat berdagang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Sudah pernah jalan-jalan di Ubud?
 
Bukan. Bukan di bagian pusat Ubud seperti sekitar puri, pasar, dan jalan-jalan di sekitarnya. Kalau di sana sih pasti nyaman. Kan banyak turis asing.
 
Cobalah sesekali jalannya agak ke pinggir. Tidak jauh kok. Hanya sekitar Jalan Penestanan berjarak sekitar 1 km dari Pusat Ubud. Atau boleh juga di pusat Ubud tapi agak di belakang. Jangan yang di depan di mana banyak turis asing penggila ketimuran berlalu lalang.
 
Saya melakukannya awal Januari lalu. Kami menginap dan kemudian jalan kaki dari penginapan kami, Demunut Resort and Spa, ke warung di seberang jalan supermarket Bintang. Niatnya untuk cari makan malam.
 
Sekitar pukul 6.30 petang itu, saya tak hanya harus menahan lapar tapi juga menahan diri untuk tidak mengumpat karena rusaknya fasilitas untuk pejalan kaki.
 
Sejak dari depan Demunut, sudah tidak ada fasilitas untuk pejalan kaki. Kami harus jalan kaki di pinggir jalan raya. Tak ada trotoar. Padahal itu jalan umum dan dilewati banyak orang.
 
Masuk jalan lebih besar, jalan utama di Ubud, ternyata lebih parah. Memang ada trotoar tapi trotoar itu sudah beralih fungsi. Sepanjang jalan sekitar 500 meter itu, trotoar berfungsi untuk tempat bahan bangunan, berjualan, papan informasi mata uang, juga tempat pembuangan sampah.
 
Kami harus naik turun trotoar ketika jalan. Selain karena alih fungsi tadi juga karena sesekali menemukan lubang besar di trotoar. Parahnya lagi, tak ada lampu penerang untuk pejalan kaki. Mungkin pemerintahnya sengaja biar kelihatan romantis. 
 
Eh, ini di Ubud lho. Terlalu banyak yang menyebut tempat ini sebagai tujuan wisata terbaik di Bali. Tapi ternyata masih acak adut juga fasilitas untuk pejalan kaki.
 
Esoknya saya nulis status di Facebook tentang buruknya fasilitas pejalan kaki di Ubud. Beberapa teman merespon dan membagi status tersebut.
 
Ada komentar dari warga Ubud yang menarik. “Saya orang Ubud. Trotoar di depan rumah saya bagus karena saya perbaiki sendiri dengan tetangga saya yang lain. Kalau tidak diperbaiki ya usaha kita tidak lancar,” tulis warga Ubud itu mengomentari status yang disebar salah satu teman.
 
Dan, keluhan terhadap buruknya fasilitas umum, terutama untuk pejalan kaki itu tak cuma di Ubud. Teman-teman saya yang lain juga sering mengeluhkan hal serupa, rusaknya jalan raya. Jika mau tahu, silakan sesekali melewati jalan ke Jatiluwih, pusat terasering Subak paling termasyhur di Bali, atau ke Kintanami, tempat di mana Gunung dan Danau Batur berada.
 
Silakan menikmati jalan rusak di sana sini.
 
Denpasar juga parah. Coba saja jika tak percaya. Jalan kakilah, misalnya di jalan Diponegoro atau jalan Teuku Umar, dua jalan paling ramai di kota ini. Nikmatilah betapa tak nyamannya trotoar di kanan kiri jalan ini.
 
Atau cobalah jalan kaki di kawasan Nusa Dua, Kuta, dan Sanur. Di beberapa tempat di mana banyak turis mungkin fasilitasnya lebih baik. Tapi tidak untuk tempat di mana warga sehari-hari berjalan kaki.
 
Kesimpulannya, di pulau Bali yang terkenal dengan keindahannya ini, fasilitas untuk pejalan kaki memang bikin mengelus dada.
 
Foto dari flickr.com/paulcornish

Ikuti tulisan menarik Anton Muhajir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler