x

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bali di Mata Mead dan Bateson

Bagaimanakah rupa wajah Bali pada sekian masa lalu, ketika pariwisata belum merasuki Bali sederas belakangan ini? Dokumentasi karya pasangan Mead dan Bateson bisa memberikan gambaran seperti apa keadaan masyarakat Bali di awal abad ke-20

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Membaca artikel dalam Majalah Tempo edisi Januari 2015, saya seketika teringat dengan tulisan yang dulu sempat dibuat untuk sebuah acara diskusi kebudayaan di Bali. Kegiatan tersebut diberi nama 'Bali Tempo Doeloe', menghadirkan pemutaran film mengenai Bali di masa silam, dan dipadukan dengan dialog perihal perubahan-perubahan yang menyertai pulau ini selama sekian kurun waktu. Acara digelar selama sepuluh edisi di Bentara Budaya Bali, mengetengahkan topik perihal dokumentasi antropologis, seni rupa, dinamika kesenian tari dan aneka problematik kebudayaan di Bali.

Berbagai perubahan telah terjadi pada Bali, lebih-lebih sejak penerapan industri pariwisata yang terus menyentuh lapis demi lapis tatanan kehidupan masyarakat pulau ini. Aneka esai, catatan perjalanan dan kajian sosial-budaya menyebutkan bahwa Bali juga mengalami sisi paradoksnya sendiri: sebagai pulau dewata (island of Gods) atau pulau surga terakhir (the last paradise), dan sebaliknya, pulau gelap (island of dark) juga surga yang hilang (the lost paradise).

Bagaimanakah rupa wajah Bali pada sekian masa lalu, ketika pariwisata belum merasuki Bali sederas belakangan ini? Seperti apa pula keadaan masyarakat Bali di awal abad ke-20, ketika masyarakat pulau ini masih hidup dalam nuansa pergaulan sosialnya yang belum bersentuhan dengan kehidupan modern Barat? Sebagian film dokumenter karya Margaret Mead dan Gregory Bateson, keduanya merupakan antropolog yang melakukan riset di Bali dalam kurun 1936-1938 merekam kondisi tersebut, berjudul ‘A Balinese Family: The Karmas of Bajoeng Gede’ serta ‘Dance and Trance in Bali’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Margaret Mead dan suaminya, Gregory Bateson—keduanya adalah antropolog—tiba di Bali pada tahun 1936, dan menetap selama dua tahun. Pada 1933, mereka telah melakukan penelitian di New Guinea (bagian dari pulau Papua sekarang), sebelum kemudian memutuskan untuk melakukan riset antropologi di Bali.

Mead telah beberapa kali membuat studi antropologi, sebagian besar berfokus pada pola karakter, temperamen dan gender di suku-suku ‘terasing’ pada masa itu. Tidak sedikit dari penelitiannya yang mengambil tema antropologi psikologi, yang mempertautkan antara kebudayaan, latar psikologi sosial, dan pola interaksi sosial dalam suatu masyarakat. Mead dan Bateson secara khusus datang ke Bali karena menilai pulau ini memiliki kebudayaan yang masih penuh selubung misteri. Di pulau ini, mereka mengutamakan riset tentang pola pengasuhan anak dalam lingkungan tradisional serta fenomena trans (kerauhan atau kerasukan), dikaitkan dengan ritual-ritual Bali yang magis.

Sementara Mead membuat catatan-catatan antropologis, Bateson secara apik mendokumentasikan aneka visual tentang Bali. Pada Juni 1936, mereka pindah ke Desa Bajoeng Gede, sebuah desa terpencil di lereng gunung (dekat Kintamani, Bangli). Di sinilah mereka meneliti tentang pola pengasuhan anak pada masyarakat tradisi, sekaligus berinteraksi dengan masyarakat setempat—meski kebanyakan dilakukan dengan bahasa komunikasi yang terbatas, dipadukan gestur dan komunikasi interpersonal—yang kemudian didokumentasikan dalan film ‘A Balinese Family: The Karmas of Bajoeng Gede’. Sementara itu, mereka juga merekam seni-seni tradisi Bali, di antaranya tari Barong dan Rangda sebagaimana yang terdokumentasikan dalam ‘Dance and Trance in Bali’.

Keduanya juga menyadari, bahwa budaya Bali tersebut akan tampak menarik bila didokumentasikan secara visual, yang memungkinkan khalayak luas menyaksikan secara nyata aneka kehidupan pulau ini. Dan selama penelitian di Bali, mereka telah membuat sekitar 8000 foto dan 11.000 klip film.

Sebuah Penelitian bagi Masa Depan Bali

Bali pada tahun 1930-an merupakan sebuah surga yang memikat, terutama bagi seniman dunia Barat. Selama dua bulan pertama di tahun 1936, Mead dan Bateson menetap di tempat tinggal Walter Spies, seorang pelukis asal Belgia yang kemudian tersohor sebagai pembaharu seni lukis Bali. Pergaulan dengan Spies, membuka cakrawala kedua antropolog ini mengenai aneka kehidupan tentang Bali.

Selain itu, keduanya berkarib dengan Jane Belo dan suaminya yang merupakan musisi dan komposer yang ternama, Colin Mc Phee. Dari Jane Belo, salah seorang sejawat yang dikenalnya di Columbia University, Mead mendapatkan informasi yang menarik seputar kesenian, kebudayaan dan kepribadian orang-orang Bali. Sementara Mc Phee turut membantunya dalam membuat penelitian tentang musik tradisi Bali, serta beberapa kali mengisi ilustrasi pada dokumenter yang dibuat Mead dan Bateson. Selain nama-nama tersebut, terdapat sederetan tokoh lain yang mendukung proses riset mereka, antara lain Khatarine Mershon, Claire Holt, dan sebagainya. Selama di Bali, Mead dan Bateson dibantu oleh seorang asisten bernama I Made Kaler. Sosok inilah yang banyak membantu komunikasi dan informasi seputar masyarakat lokal pulau ini.

Mead dan Bateson merupakan pasangan antropolog yang begitu sungguh meneliti Bali. Meskipun masing-masing mengambil peran berbeda dalam produksi dokumenter ini (Mead sebagai sutradara dan Bateson selaku juru kamera), keduanya saling melengkapi dalam setiap penelitian. Mereka dengan antusias mendokumentasikan kebudayaan Bali, terlebih dengan bantuan I Made Kaler yang membantu mentranskripsi percakapan berbahasa Bali ke dalam teks naratif dan juga komunikasi langsung selama wawancara.

Meskipun mereka bukanlah peneliti atau orang Barat pertama yang melakukan dokumentasi visual atas kebudayaan Bali (sebelumnya hal serupa telah juga dilakukan Covarrubias dan bahkan Walter Spies), Mead dan Bateson tetap menganggap bahwa upaya ini merupakan usaha penting dalam memahami masyarakat pulau ini. Kelak akan terbukti pula, bahwa catatan-catatan antropologis yang pernah dibuat oleh para peneliti, dipadukan dengan wujud-wujud visualnya, memberikan kontribusi penting bagi studi-studi antropologis serta perkembangan pengetahuan tentang tatanan masyarakat Bali di kemudian hari.

‘A Balinese Family: The Karmas of Bajoeng Gede’ (1936)

Film ini mendokumentasikan penuturan Nang Karma, seorang pria di Desa Bajoeng Gede. Kepada Mead dan Bateson, ia memaparkan proses pendidikan anak di desanya pada masa itu, di mana sosok ayah dan kakak juga turut berperan dalam pengasuhan balita. Artinya, komunikasi yang terjadi dalam sebuah keluarga, terutama yang dialami anak balita, tidak hanya dengan ibunya sendiri, melainkan juga bagian keluarga lainnya.

Tampak dalam video seorang balita bernama I Kenjoeng, anak perempuan dari keluarga sederhana di Desa Bayung Gede. Di dekat sang ayah, terekam anak laki-laki berusia lebih tua, yang tak lain adalah I Gati, kakak dari I Kenjoeng. Ia berusaha menimang adiknya dengan sehelai kain yang dililitkan, sehingga mampu membopong balita cilik itu. I Kenjoeng sedemikian rupa diasuh dengan sabar oleh kakaknya, sehingga mengesankan bahwa ia sudah kerap kali menimang dan menggendong adiknya tersebut. Film juga menggambarkan proses tumbuh balita di Bali, termasuk upacara-upacara tradisi yang dilaluinya semasa kanak.

Dokumentasi ini dilakukan pada 1936 selama delapan bulan. Mead mengajukan beberapa pertanyaan yang diterjemahkan oleh I Made Kaler, sedangkan Bateson mengambil gambar dua orang anak Nang Karma tersebut. Kedua anak ini berinteraksi dengan kocak dalam raut rupa khas yang lugu. Adegan kemudian berubah ketika sang ibu kembali, membuat kedua anak itu begitu bermanja-manja pada ibunya. Dalam film ini, Bateson mengambil sekitar 60 foto dan 200 klip video.

Penelitian yang dilakukan Mead bersifat deskriptif, bertujuan untuk mengetahui sejauh mana anak-anak berinteraksi dengan keluarganya. Dari film ini diketahui, bahwa seorang anak Bali tumbuh dalam lingkungan keluarga batih yang memungkinkan terjadinya kehangatan pola komunikasi. Dicerminkan pula bahwa sikap orang tua memberikan ruang kepada anak-anak mereka untuk bergaul lebih erat, yang selanjutnya membangun hubungan kekeluargaan yang kuat.

Sosok kakak menjadi lebih dominan dan berperan besar. Ia tidak hanya menjadi anak yang taat pada orangtuanya, namun juga tampil sebagai sosok lebih bertanggungjawab terhadap adik-adiknya. Hal ini kemudian ditengarai turut berpengaruh pada pertumbuhan karakternya sebagai pribadi yang mengayomi adik dan keluarga.

Meskipun Mead dan Bateson tidak sampai membuat analisa lebih jauh tentang keterkaitan metode pengasuhan ini dengan pola interaksi masyarakat tradisi Bali, namun penelitiannya ini boleh dikata menjadi titik berangkat riset antropolog berikutnya, termasuk oleh James Dananjaja dari Universitas Indonesia yang mengkaji pola interaksi dan kehidupan masyarakat Trunyan sekitar tahun 1980-an.

 

‘Dance and Trance in Bali’ (1936)

Dokumenter lain yang ditayangkan adalah Dance and Trance in Bali, merekam jalan pertunjukan barong dan rangda pada tahun 1936 di Bali. Kisah yang dihadirkan dalam lakon telah dikenal sedemikian luas, dan bahkan kini mulai ditampilkan sebagai atraksi pariwisata, tentu saja dengan beberapa penyesuaian atas nilai-nilai kesakralannya.

Namun tari Barong dan Rangda yang didokumentasikan oleh Mead dan Bateson ini boleh dikata merupakan wujud asli dari ragam tari yang telah umum sekarang. Barong dan Rangda bukan saja hadir dalam wujudnya yang dinamis serta bernuansa mitis, namun juga seolah-olah lekat dengan keseharian masyarakat kala itu, yang memandang seni sebagai ekspresi sosial serta religiusitas dibandingkan daya pesona pariwisata sebagaimana yang berkembang dewasa ini.

Mead dan Bateson juga membuat narasi-narasi yang apik, menjelaskan perihal bagian demi bagian tari berikut deskripsi-deskripsi rinci lain mengenai sosok-sosok pelakonnya. Informasi yang mereka sampaikan dapat dipandang turut memberikan pengetahuan bagi masyarakat luar perihal keterpautan antara tari sebagai seni serta tari sebagai wujud ekspresi ritual magis, yang kerap kali diwarnai dengan fenomena transeden atau kerasukan.

Terdapat beberapa versi yang menyebutkan perihal sejarah Barong dan Rangda, namun satu informasi yang luas dikenal, ialah bahwa tari Barong dan Rangda telah ada sejak Pemerintahan Dalem Waturenggong, Dinasti Kresna Kepakisan di Kerajaan Gelgel, sekitar abad ke-16. Hal ini dikarenakan bahwa wujud rupa barong dan rangda ditemukan pada pahatan gerbang kerajaan serta ornamentik lainnya berupa topeng atau punggalan, yang selanjutnya berkembang menjadi berbagai ragam, seperti karang sae, karang barong, karang tapel, dan sebagainya.

Tari Barong dan Rangda di Bali mengadaptasi kisah Calonarang, atau dikenal juga Rangda ing Dirah (Janda dari Dirah). Bila menurut pada cerita yang bermula di Jawa, kisah ini memaparkan sosok Rangda Nateng Girah, perempuan janda penebar teluh di wilayah kerajaan Kediri yang diperintah Raja Airlangga. Disebutkan bahwa sebagai upaya menghentikan tindakannya yang menyesarakan rakyat, atas saran Mpu Baradah, seorang pendeta kerajaan kepercayaan Prabu Airlangga, maka diutuslah Mpu Bahula menuju Desa Girah, tanah asal Rangda Nateng Girah, guna mempersunting putri tunggalnya. Namun pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan. Mpu Bahula, sang pendeta muda, berubah menjadi sosok singa (barong) yang besar mengerikan, serta berhadapan dengan sang Rangda yang berwajah menakutkan.

Berbeda dengan kisah asalnya, Tari Calonarang di Bali tidaklah berakhir dengan kemenangan Barong atas Rangda, akan tetapi pertempuran ini terus terjadi sepanjang masa sebagai cerminan perjuangan atau perlawanan kebenaran (dharma) terhadap kejahatan (adharma). Fenomena trans yang dialami para penarinya juga dimaknai sebagai turunnya kekuatan-kekuatan magis yang diyakini mampu menjadikan dunia semesta lebih selaras dan harmoni.

Telah berkembang berbagai studi yang mencoba menelusuri sebab fenomena trans dalam ritual-ritual Bali, baik yang ditinjau dari sisi psikologi sosial maupun nilai-nilai ritual. Akan tetapi, yang menarik dari perkembangan seni tradisi Bali ini adalah, diketemukannya sebentuk konsensus tari wali, bebali, dan balih-balihan, yang memungkinkan pementasan tari sakral dalam beberapa bentuk modifikasi sebagai pesona pariwisata.

Bila dahulu Mead dan Bateson mengajukan pertanyaan antropologis, bagaimana korelasi dan pengaruh ritual transeden seperti ini bagi dinamika sosial budaya masyarakat, maka kini agaknya Bali perlu mengajukan dan mencari jawaban atas kesangsian yang lebih jauh, yakni: bagaimana perpaduan budaya tradisi dan kemodernan membentuk psikososial orang Bali dan sejauh mana masyarakat sosial budaya pulau ini mampu berkontribusi bagi pelestarian kultur tradisi yang bersifat sangat kompleks itu.

Sumber foto: dokumentasi booklet Bali Tempo Doeloe

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler