x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bahasa Menunjukkan Bangsa, Begitu Pula Makanan

Dalam The Language of Food, Jurafsky menunjukkan bagaimana globalisasi terjadi karena hasrat pencarian manusia akan sesuatu yang enak dimakan. Sejarah tentang nama-nama makanan juga dapat membantu kita memahami interkoneksi antarperadaban.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Food, in the end, in our own tradition, is something holy. It's not about nutrients and calories. It's about sharing. It's about honesty. It's about identity.”
--Louise Fresco (Ilmuwan, 1952-...)

 

Bila Anda mendengar untuk pertama kali kata cireng dan combro, mungkin Anda bingung: makanan apa ini? Namun, bila Anda tahu apa kepanjangan dua nama makanan itu, cireng = aci (tepung kanji) digoreng dan combro = oncom di jero (oncom di dalam tepung lalu digoreng), Anda barangkali dapat menebak bahwa kedua makanan itu berasal dari Tanah Sunda.

Akan tetapi, jika Anda familiar dengan nama-nama makanan dalam format akronim, Anda mungkin dapat menebaknya sejak pertama kali. Sebab, urang Sunda paling gemar membuat singkatan untuk nama-nama makanan: batagor (bakso tahu goreng), colenak (dicocol enak), gehu (taoge di dalam tahu), gurilem (gurih dan peuleum = lembut), dan lainnya.

Baru-baru ini, September 2014, Dan Jurafsky—seorang ahli bahasa di Stanford University, AS—menerbitkan bukunya, The Language of Food. Buku ini menarik, meski sayangnya Jurafsky tidak mengupas soal cireng, gehu, ataupun cilok (aci dicolok). Ia berbicara, antara lain, tentang kecap. Jurafsky mengatakan: “Kata-kata yang kita pakai untuk makanan sehari-hari mengandung isyarat tentang asal-usulnya dan petunjuk mengenai perjalanan yang ditempuh makanan ini dari satu wilayah ke wilayah lain.

Kecap, yang dikupas oleh Jurafsky, selama berabad-abad digunakan oleh orang China, khususnya yang menetap di kawasan pantai selatan. Di abad ke-17, pelaut serta pedagang Inggris dan Belanda berlayar ke Asia dan di China mereka menjumpai ketchup—saus ikan. Pulangnya, mereka membawa banyak sekali ketchup. Kata tchup berarti saus dalam dialek China, tulis Jurafsky, sedangkan ke bermakna ‘ikan yang dihidangkan’—kata Hokkian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saus ikan bernama ketchup ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru bumi dan mengalami modifikasi. Di Inggris, cita rasanya berubah ketika di sini kecap kehilangan ikannya dan berganti dengan tomat, dan selanjutnya orang-orang Amerika menambahkan gula.

Dalam karyanya ini, Jurafsky bukan hanya berbicara tentang pelajaran sejarah di balik nama-nama makanan. Ia juga berkisah tentang mengapa restoran-restoran mahal memilih nama-nama tertentu untuk makananya, dan restoran-restoran yang lebih murah memakai nama-nama berbeda. Menurut Jurafsky, nama makanan juga menggambarkan berapa banyak uang yang harus Anda keluarkan dari dompet untuk menikmati hidangan itu. Restoran mahal kerap memakai kata-kata yang sukar dan kata-kata ini mengekspresikan siapa chef yang memasaknya.

Evolusi kata macaroon menjadi macaron dan kemudian menjadi macaroni menggambarkan sejarah perjalanan makanan ini ketika melewati sejumlah wilayah budaya: Persia, Arab, dan Romawi. Dari satu lidah ke lidah yang lain ada perubahan komposisi dalam menu hidangan: modifikasi, penambahan dan pengurangan bahan dan bumbu. Silsilah makanan ini dapat ditelusuri jejaknya.

Kerja kreatif Jurafsky ini patut diapresiasi. Sebagai linguis, ia bekerja keras bersama timnya untuk membaca ratusan ulasan tentang restoran yang diunggah ke internet. Mereka juga membaca ribuan menu, iklan-iklan makanan, maupun beragam merek makanan. Mereka menelisik asal-usulnya, perubahan katanya, hingga tradisi menyantap hidangan di lingkungan budaya tertentu—misalnya, mengapa orang China tidak punya hidangan penutup (dessert)?

Karya ini menarik karena unik. Jurafsky telah menyingkapkan bagaimana nama-nama makanan dapat membantu kita memahami interkoneksi antar peradaban dan betapa globalisasi (yang tidak seperti kita sangka sudah berlangsung sejak berabad yang lampau) terjadi karena hasrat pencarian manusia yang paling dasar: menemukan sesuatu yang enak untuk dimakan. (Foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler