x

Iklan

Thamrin Dahlan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jokowi Meminta Nasehat Buya Syafi'i Maarif

Tokoh masyarakat yang bisa dijadikan panutan semakin berkurang di negeri ini. Untunglah Tuhan Yang Maha Esa masih menitipkan Buya Syafii Maarif untuk mengawal perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari keterpurukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terlalu sedikit  orang jahat di negri ini, namun tidak kurang pula jumlah orang baik.  Orang jahat memberikan pengaruh negative baik bagi dirinya maupun bagi keluarga, lingkungan bahkan rakyat yang berada di dalam wewengan kekuasaan. Sebaliknya orang rang baik,  paling tidak dia bertanggung jawab  terhadap kesejahteraan untuk keluarga.  Jadi orang jahat dan orang baik bisa di kelompokkan dalam level desa sampai ke level nasional.

Orang super baik tingkat nasional boleh kita sebut negarawan.  Negarawan adalah seseorang yang telah selesai dengan dirinya.  Inilah warga yang telah menapak perjalanan kareir, perjalanan hidup dan kehidupan dalam waktu yang cukup lama.  Track record dalam catatan public telah mendapatkan penghormatan dan pemuliaan tulus dari rakyat.  Rakyat jujur, tidak bisa merekayasa pendapat tentang sosok tokoh nasional yang bisa di jadikan sebagai panutan.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia banyak tokoh nasional yang mendapat gelar kehormatan sebagai Bapak Bangsa.  Sebutlah Proklamtor Bung Karno dan Bung Hatta.  Demikikan pula dengan Sultan Hamengkubowono ke VIII.  Buya Hamka memperoleh polisi tokoh masyarakat karena  kosistensi membela rakyat dan tidak tergiur tawaran  fasilitas negara.  Kitapun teringat kepada Alhamrhum Agus Salim, pola hidup sederhana sungguh sangat mengharukan walaupun beliau menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para tokoh nasional  silih berganti sesuai  zaman.   Disaat saat multi kkrisis seperti di pemerintahan Jokowi kita berpaling kepada siapa negara ini akan bertanya.  Siapakah tokoh masyarakat yang masih bisa dijadikan untuk tempat bertanya meminta nasehat. Nyaris negeri ini telah kehilangan marwah bangsa.  Untunglah Tuhan Yang Maha Kuasa masih menitipkan sosok seorang anak bangsa.  Beliau adalah Buya Sayfiie Maarif.

Jokowi ketika bersiap menapak jenjang karier orang nomor satu di negeri ini menyempatkan diri sowan kepada Buya Syafiie.  Banyak nasehat yang diberikan Buya atau paling tidak Buya memberikan dukungan untuk pencalonanan Presiden Republik Indonesia.  Setelah 100 hari menjabat Jokowi terlalu banyak menghadapi tekanan dan intervensi dari kalangan tertentu dalam mengeluarkan kebijakan.  Kebijakan yang di intervensi itu terlihat ketika Presiden  mulai menyusun menteri untuk duduk di kabinet.

Ternyata intervensi tidak berakhir disana, pada penunjukkan anggota Wantimpres, nyata sekali ada titipan ketua parpol pemenang pemilu.  Puncak dari tekanan itu terlihat ketika Presiden  “terpaksa” mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Tentu saja keputusan ini banyak menuai protes warga mengingat perjalanan perwira karier perwira tinggi tersebut  patut diduga mempunyai catatan rekening bermasalah.

Akibat dari pencalonan terebut KPK membuka kembali file pencalonan Menteri Kabinet Kerja.  Serta merta KPK menetapkan BG sebagai tersangka.  Kemudian anehnya DPR justru menyetujui usulan Presiden padahal sebelumnya beberapa anggota Dewan terhormat menentang keras pencalonan tersebut.  Melihat kondisi pencalonan Kapolri yang kemudian di perkeruh oleh penahanan Bambang Widjojanto Wakil Ketua KPK maka terjadi perseteruan tersembunyi antara Polri denghan KPK.

Presiden semakin bingung apa yang harus diputuskan.  Sebenarnya Jokowi bisa memanfaatkan para Mentri Kabinet Kerja  untuk memberikan analisa baik dari sisi hukum maupun dari sisi ketahanan nasional.  Namun para Mentri tersebut malah berkicau sesatu hal yang semakin memperumit masalah sepeti yang di lakukan oleh Menko Polhukam dengan ucapan terhadap rakyat tidak jelas.

Terkahir seharusnya Presiden bertanya kepada Dewan Pertimbanghan Presiden. Namun hal tersebut tidak dilakukan.  Di tengah kegalauan Presiden,  akhirnya sadar ingin mendapat masukan jernih dari tokoh tokoh nasional yang bisa dipercaya bersikap netral dan mempunyai kredibilitas yang bersih dari catatan kehidupan social dan hukum. Presdien membentuk Tim Tjuh atau Tim Independent yang kemudian di lengkapi menjadi 9 orang tokoh masyarakat.

Salah satu dari anggota Tim Independen tersebut adalah Buya Syafii Maarif. Nah kini terkuak sudah kenapa Buya Syafii Maarif menolak bergabung ke Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).   Kepada pers,  Buya yang pernah menjadi Ketua Umum PP Muhammaddiyah mengatakan bahwa dia terlalu tua untuk berkerja di Wantimpres.  Ini alasan klasik saja.  Anehnya justru Buya kemudian bersedia masuk kedalam Tim Independent.

Analisa liar saya melihat gelagat sikap Buya Syafiii Maarif ketika memutuskan menolak  bergabung di Wantimpres dan kemudian menjadi Ketua Tim Independent begini.  Bisa jadi salah satu alasan Buya menolak setelah melihat personil yang bergabung di Wantimpres.  Namun ketika Jokowi meminta Beliau membantu dalam Tim Tndependent, Buya segera menyetujui karena tanggung jawab moral mengingat negeri ini  dalam situasi dan kondisi  karut marut.

Kita berharap Presiden Jokowi mengikuti nasehat atau katakanlah mempertimbangkan dengan masak masak masukan dari Tim Independent. Memang dalam setiap pengambilan keputusan selalu ada resiko.  Namun tolong dilihat dampak negative apabila Presiden salah dalam mengambil keputusan.  Insha Allah nasehat Tim Independen mewakili suara rakyat yang begitu berharap Presdien Jokowi mampu memposisikan dirinya sebagai Presdien de jure dan de facto.  Presdien RI yang mampu melepaskan diri dari kungkungan para pihak yang merasa berjasa kepada di Jokowi. Yes Mr. President. You are not a lone. Go  a Head.

Salam salaman

Ikuti tulisan menarik Thamrin Dahlan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler