x

Iklan

Qaris Tajudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Percikan Api pada Sebuah Siang

Lewat buku #Passion2Performance, Rene Suhardono melontarkan petasan ke otak kita, sesuatu di luar buku itu yang membuat kita berpikir jauh. Sudahkah kita bekerja untuk masyarakat dan tak hanya untuk passion pribadi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selasa lalu, saya menghadiri sebuah peluncuran buku yang tidak biasa. Sebelumnya, untuk mengetahui "yang tidak biasa", kita mesti mengetahui "yang biasa". Biasanya, peluncuran buku dimulai dengan sejumlah sambutan, misalnya dari penerbit dan editor, atau mungkin sponsor kalau ada. Kemudian ada pemaparan isi buku itu oleh penulis (yang bisa dijelaskan langsung atau lewat sesi tanya-jawab, jika penulisnya kurang pandai berbicara). Lalu nanti ada sesi tanya jawab (yang biasanya pertanyaannya tidak penting), dan penutup.

Setelah itu kita pulang dengan keinginan untuk membeli buku itu atau tidak.

Selasa lalu saya diundang oleh Rene Canoneo Suhardono, seorang career coach, untuk menghadiri peluncuran bukunya yang kedua, #Passion2Performance di Conclave, Jakarta Selatan. Awalnya, saya mengira buku ini berjudul Passion is Nothing, karena di sampul, kalimat itu tercetak lebih besar dibanding judul aslinya. Meski itu bukan judul sebenarnya, kalimat itu memancing rasa penasaran saya, karena Rene selama ini saya ketahui mengagung-agungkan passion (yang menurut Didi Mudita yang membawakan acara itu, harus diucapkan dengan ludah muncrat).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pendewaan passion ini bisa kita rasakan saat membaca buku Rene yang pertama, Your Job is not Your Career atau saat mengobrol dengan dia sambil minum kopi. Ini seperti mantra bagi Rene, layaknya abrakadabra. Banyak masalah bisa diselesaikan kalau kita sudah beres dengan passion. Performa, produktivitas, kebahagiaan dalam bekerja, tidak akan ada kalau kita melakukan pekerjaan tanpa passion.

Lalu, dengan judul seperti itu, apakah Rene di buku barunya tak lagi mengagungkan passion? Itu kita jawab nanti. Saya akan kembali dulu ke soal bagaimana peluncuran buku ini "tidak biasa". Pertama, hadirin diminta berdiri dan bersama-sama menyanyikan Indonesia Raya. Ini tentu bukan untuk pertama kalinya saya menghadiri acara yang dimulai dengan Indonesia Raya. Tapi, biasanya acara yang dimulai seperti itu adalah acara kenegaraan atau di instansi pemerintah.

Entah mengapa, biasanya saya memandangnya seperti ritual yang dipaksakan. Tapi, siang itu di Conclave, saya merasa merinding saat menyanyikannya (mirip ketika menyanyikannya di Gelora Bung Karno saat menonton timnas yang biasanya kalah). Kali ini saya kembali merinding, mungkin karena lagu ini dinyanyikan oleh hadirin yang sebagian besar anak muda (atau mereka yang merasa muda, atau yang berjiwa muda), yang punya semangat menggebu, yang berpikir global tapi sangat mencintai negeri ini. Saya percaya bahwa energi dari merekalah yang membuat bulu kuduk itu berdiri.

Saya tidak tahu, apakah semua acara Impact Factory—yang memunculkan buku ini—memang selalu dimulai dengan menyanyikan Indonesia Raya. Kecurigaan ini perlu ada, karena nama perusahaan mereka cukup patriotik, PT Indonesia Lebih Baik (saya tidak tahu bagaimana reaksi notaris dan orang-orang di Kementerian Hukum dan HAM saat mereka mendaftarkan perusahaan tersebut). Yang jelas, saya merasakan "maksud" dari menyanyikan lagu nasional itu setelah mengikuti rentetan acara berikutnya.

Setelah hadirin diperkenankan duduk kembali, Rene muncul dari bangku paling belakang, membaca salah satu bagian pengantar yang ditulis oleh Kuntoro Mangkusubroto. Rene yang biasanya pecicilan, membacakan kutipan itu dengan gaya teatrikal: "Saudara-saudaraku, camkan. Di sini kita bekerja bukan sekadar mencari makan. Bukan semata urusan perut. Kita bekerja bukan seperti ayam yang notol di sana-sini sepanjang hari tiada henti. Kita, manusia, bekerja untuk menggapai cita-cita yang dilandasi oleh nilai-nilai yang kita pegang kukuh-kukuh, yang kita percayai. Kita bekerja untuk memberi makna bagi hidup yang singkat ini. Apabila hidup hanya diisi dengan bekerja untuk mencari makan, apalah kita ini; kita tak ubahnya seperti ayam!"

Ini adalah untuk kali kedua saya merinding. Kata-kata Pak Kuntoro yang diucapkan pertama kali pada 1988 ketika dia baru diangkat menjadi Direktur Utama tambang batu bara Bukit Asam. Usianya baru 41 dan dia berada di tengah anak buah yang datang dari seluruh Indonesia, dia melihat ada gairah di mata teman-temannya di Bukit Asam, yang berusia 30-an ke bawah. Meski suara Rene tidak seindah suara WS Rendra, saya tiba-tiba teringat akan salah satu puisi Mas Willy, Sajak Seorang Tua untuk Istrinya:

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh

Hidup adalah untuk mengolah hidup

bekerja membalik tanah

memasuki rahasia langit dan samodra,

serta mencipta dan mengukir dunia.

Kita menyandang tugas,

kerna tugas adalah tugas.

Bukannya demi sorga atau neraka.

Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kuntoro dan Rendra seakan mengatakan hal yang sama: kita bekerja bukan hanya untuk mencari makan, tapi demi kehormatan nilai-nilai kemanusiaan.

Kelar Rene, kini giliran Handry Satriago, CEO General Electric Indonesia, yang berbicara menggantikan Menteri Pendidikan Anies Baswedan yang sedang dipanggil DPR. Dengan suara yang membuat iri semua pria yang ingin terdengar berwibawa, Handry bercerita bahwa tidak semua orang bernasib baik, memperoleh pekerjaan sesuai passion-nya. Ia mencontohkan dirinya yang sebenarnya lebih senang manjadi dosen dibanding CEO. Tapi, yang terpenting adalah, bagaimana memberi "makna" pada apa pun peran yang kita jalani. "Pemimpin yang hebat itu bukan yang pandai mencetak angka (keuntungan), tapi yang berhasil menimbulkan impact," kata dia.

Dalam pidato dadakannya, Handry tidak merinci apa impact yang dimaksud, karena itu bisa berarti apa saja. Tapi, saya melihat ada benang merah dengan kutipan Pak Kuntoro tadi, perusahaan yang baik harus mampu memberi alasan kepada karyawannya untuk apa mereka bekerja? Dalam bayangan saya, kalau perusahaan hanya mampu mengatakan bahwa mereka bekerja untuk mencari uang, maka ketika datang tawaran yang lebih tinggi, mereka akan kabur. Tapi jika mereka memiliki nilai, impact, atau apa pun itu yang tidak dapat dicari di perusahaan lain, orang tidak hanya bertahan, tapi juga dapat menemukan passion kolektif untuk bekerja dengan semangat.

Saya tidak tahu apakah penafsiran saya itu sesuai dengan apa yang dimaksud Handry atau tidak. Tapi, saya percaya, sebuah pernyataan yang baik bukanlah pernyataan yang memiliki satu penafsiran. Pernyataan yang baik mampu memantik bunga api di otak kita yang kemudian memunculkan rentetan ledakan buah pikiran baru. Dan Handry telah membuat bunga api itu terpercik di otak saya.

Lalu giliran Pak Kuntoro yang bicara. Orang lurus yang pernah menjadi Kepala BRR Aceh—mengelola triliunan uang internasional untuk membangun kembali Aceh pascatsunami—itu menceritakan pengalamannya di Bukit Asam. Tidak mengulang kutipan yang sudah diambil Rene, tentu. Ada satu cerita yang menarik. Saat itu dia kerap mendatangkan para senior, orang-orang yang dianggap sudah makan asam-garam di bidang itu.

Salah satu pejabat senior yang diundang menyemangati anak-anak muda di sana dengan cara aneh: memojokkan mereka. Dia mengatakan bahwa anak-anak zaman sekarang lembek, sukanya hura-hura ke disko, tidak seperti angkatannya yang berjuang di garis depan. Pak Kuntoro langsung protes dan mengatakan: "Pak, kesalahan kami hanya satu: kami lahir belakangan. Kalau saja kami seusia bapak, kami juga akan berjuang di garis depan."

Sama seperti Handry, Pak Kuntoro tidak mendetil-detilkan keterangannya. Tapi kita bisa tahu bahwa, orang yang lahir belakangan pun, yang tidak mengalami revolusi melawan Belanda, juga bisa berbuat untuk negeri ini. Kami mungkin ke disko dan bersenang-senang, tapi kami juga berbuat untuk negeri ini. Saya tak tahu apakah hal itu yang dimaksud oleh Pak Kuntoro saat menceritakannya, tapi itulah yang saya tangkap.

Mugkin Anda protes dan mengatakan, peluncuran buku ini kan juga ada sambutan, lalu apa bedanya dengan yang lain? Beda, karena sambutan ini bukan basa-basi. Rene tidak sedang memromosikan isi bukunya, tapi melempar sesuatu yang membuat kita berpikir. Handry dan Pak Kuntoro juga tidak basa-basi dengan hanya memuja-muji buku yang diterbitkan. Mereka melontarkan petasan ke otak kita, sesuatu di luar buku itu yang membuat kita berpikir jauh.

Menyanyikan Indonesia Raya, omongan Rene, pidato Handry, cerita Pak Kun, itu semua ternyata berujung pada satu hal: kita harus bekerja untuk masyarakat. Bukan hanya untuk passion pribadi, tapi yang lebih penting dari itu adalah misi perusahaan kita apa.

Hal itulah yang kemudian diterangkan oleh Ivan Deva dalam pemaparannya. Buku ini, terbit untuk menjawab pertanyaan para petinggi perusahaan: kalau semua orang mengikuti kata Rene untuk mengikuti passion mereka, karyawan pada cabut dong? Jawabannya bisa ya dan tidak. Mereka tidak akan kabur kalau perusahaan bisa menentukan mission dan purpose. Kedua hal inilah yang akan memicu social performance. Ini bukan sekadar program CSR, tapi apa andil perusahaan dalam membangun masyarakat dan bangsa ini. Nilai, impact, atau apalah namanya, harus ada agar kita tahu bahwa kita bekerja untuk apa.

Sebelum acara dimulai, ketika saya baru datang dan memberi selamat kepada Rene atas peluncuran bukunya, Rene berkata begini: "Mas, thanks Tempo selama ini menjaga KPK." Kalimat singkat dari Rene inilah yang kemudian saya sadari sebagai social performance yang dimaksudkan Ivan dalam pemaparannya di akhir acara. Inilah mission dan purpose yang bisa membuat saya betah di perusahaan saya sekarang ini.

Itulah kenapa saya mengatakan peluncuran buku ini tidak biasa. Peluncuran buku ini tidak hanya ditujukan untuk mempromosikan buku (meski Rene berkali-kali berseloroh meminta hadirin untuk membelinya), tapi membuat kami yang hadir berpikir panjang setelah pulang.

Qaris Tajudin

Ikuti tulisan menarik Qaris Tajudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler