x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ambisi Swasembada

Ambisi mengejar swasembada tak boleh membuat pemerintah abai terhadap salah satu fokus utama pembangunan di bidang pertanian: peningkatan kesejahteraan petani dan buruh tani.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Presiden Joko Widodo mengaku malu ketika pertama kali bertemu Presiden Vietnam Truong Tang Sang pada acara KTT APEC di Beijing, Cina, November tahun lalu. Musababnya, presiden salah satu negara eksportir beras itu melayangkan pertanyaan kepada Jokowi: kapan Indonesia mau membeli beras lagi dari Vietnam?

Kejadian remeh itu rupanya berbuntut pemanggilan Menteri Pertanian Amram Sulaiman saat presiden kembali ke tanah air. Instruksi presiden kepada menteri Amran tak main-main, swasembada beras harus berhasil direngkuh dalam waktu singkat. Bahkan, bila pada 2017 swasembada beras gagal diwujudkan, ia bakal dicopot (Tempo.co, 26 Desember 2014).

Upaya yang dikerahkan untuk mewujudkan swasembada pun luar biasa. Triliunan anggaran negara digelontorkan untuk bantuan pupuk, benih, dan traktor kepada petani. Tak hanya itu, 50 ribu Babinsa juga dikerahkan sebagai penyuluh pertanian.

Tentu saja,  tak ada yang salah dengan itu semua. Memang, sungguh keterlaluan bila negeri yang luas lahan sawahnya mencapai 8 juta hektare ini terus menerus menjadi importir beras.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi yang patut dicamkan, jangan sampai  ambisi mengejar swasembada itu justru membuat pemerintah abai terhadap salah satu fokus utama pembangunan di bidang pertanian: peningkatan kesejahteraan petani dan buruh tani.

Faktanya, hingga kini sebagian besar petani dan buruh tani  masih bergumul dengan kemiskinan. Badan Pusat Statistik melaporkan, sekitar 63 persen dari total jumlah penduduk miskin, yang mencapai 27,73 juta orang pada September 2014, tinggal di desa. Mudah diduga, mayoritas mereka adalah petani dan buruh tani.

Ditengarai, salah penyebab kemiskinan masih menjadi fenomena sektor pertanian-pedesaan adalah orientasi pembangunan pertanian selama ini yang terlalu berfokus pada peningkatan produksi, ketimbang menggenjot kesejahteraan petani. Selama ini, petani hanya dijadikan obyek (baca: alat) untuk merengkuh target produksi yang dipatok pemerintah.

Pemerintah seolah menutup mata bahwa mayoritas petani negeri ini mengelola lahan garapan yang sempit. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, 14,25 juta rumah tangga tani pengguna lahan merupakan petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare. Itu artinya, bila setiap rumah tangga terdiri dari empat orang, ada sekitar 57 juta penduduk Indonesia yang hidup dari kegiatan bertani pada lahan yang sempit.

Kondisi tersebut menjadikan mereka acap kali tak memperoleh manfaat berarti dari berbagai program peningkatan produksi yang digulirkan pemerintah. Manfaat tersebut justru lebih banyak dinikmati para petani berlahan luas, yang jumlahnya tak seberapa dibanding total jumlah petani. Alih-alih kesejahteraannya meningkat, petani gurem justru seringkali terjerat utang karena tak mampu membeli input produksi.

Karena itu, agar tak mengulang kesalahan yang sama, implementasi reforma agraria merupakan sebuah keniscayaan. Dalam soal ini, pemerintah harus merealisasikan janjinya berupa peningkatan redistribusi lahan seluas 1,1 juta hektare untuk 1 juta kepala keluarga petani kecil dan buruh tani setiap tahun, serta  meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian. Bila tidak, mayoritas petani dan buruh tani bakal tetap miskin, meski pada saat yang sama target swasembada pangan berhasil direngkuh. (*)

Kadir, penulis bekerja di Badan Pusat Statistik 

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler