x

Iklan

Qaris Tajudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Passion dan Value dalam Secangkir Kopi

Perusahaan apapun bisa menemukan value yang membuat perusahaan itu berguna di masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya bukanlah orang yang percaya pada pernyataan, "tidak ada kebetulan, let nature take its course." Bagi saya, kebetulan ya kebetulan saja. Kebetulan itu ya random, kadang tidak ada persentuhan satu sama lain, kadang ada. Tapi ada kebetulan yang terjadi pada Jumat lalu dan membuat saya berpikir, ini bukan kebetulan yang biasa.

Pekan lalu, saya janjian bertemu dengan Rene Suhardono Canoneo, coach career yang baru meluncurkan buku Passion2Performance. Saat buku ini diluncurkan, saya sempat membuat tulisan di blog (Percikan Api pada Sebuah Siang). Tapi, karena ingin menulis tentang isi buku itu di Koran Tempo, maka saya perlu melakukan wawancara serius (sebenarnya, saya tidak pernah berhasil mewawancarai Rene dengan serius, karena selalu berakhir dengan curhat).

Waktu wawancara sudah ditentukan, Jumat pagi. Tempatnya juga sudah, di Senayan City. Tapi, tepatnya di mana saya belum tahu hingga sampai di mal itu. Rene menyarankan untuk bertemu di Starbucks Cafe lantai dasar. Jujur, saya kurang suka kopi Starbucks. Saya lebih mengagumi cappuccino di Anomali yang kental dan nendang, atau single origin di kafe-kafe kecil yan serius semisal Get Back di Fatmawati.  Tapi, untuk mengobrol santai, Starbucks adalah tempat yang oke.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya datang lima menit terlambat dan Rene sudah menghabiskan sarapan pertamanya. Setelah basa-basi sedikit, saya melontarkan pertanyaan pertama: benarkah banyak pemilik atau bos perusahaan yang komplain pada buku Rene yang pertama, Your Job is not Your Career. Di buku itu, Rene "meracuni" kita dengan istilah passion. Ia mengatakan bahwa bekerja harus dengan passion. Tanpa itu, kita tidak akan bahagia, performa pas-pasan, tak termotivasi. "Kalau semua ngikutin passion, karyawan saya keluar semua dong." Begitu keluhan para petinggi perusahaan.

Di buku kedua, Rene menyinggung peran perusahaan dalam memupuk passion. Ia mengatakan bahwa passion saja tidak cukup. Passion hanyalah benih yang harus tumbuh di tanah yang tepat. Itu adalah perusahaan dengan value yang diyakini bersama. Perusahaan harus punya nilai, sebuah alasan kenapa perusahaan itu harus ada dan berguna bagi lingkungan. Tanpa itu, karyawan hanya bekerja seperti ayam: notol sana-sini dan hidup hanya untuk mencari makanan.

Di Starbucks, pagi itu saya katakan bahwa tidak semua orang beruntung bekerja di perusahaan yang memiliki value. Itu dapat dimaklumi, karena tak mudah memunculkan value. Maklum, sebagian besar perusahaan didirikan untuk mencetak keuntungan saja. Bagaimana dengan sebuah toko serba ada, restoran, kafe merumuskan nilai. Bagaimana mereka merumuskan value, sesuatu yang mungkin sangat abstrak bagi mereka.

Rene tentu memberi jawaban yang membuat saya manggut-manggut dengan keras. Di atas koran hari itu dia menggambar berbagai diagram. Ia mencontohkan bagaimana Whole Foods, perusahaan retail yang hampir bangkrut justru selamat karena menghargai value. Mereka lupakan kompetisi menjual dengan harga paling murah, tapi justru menjual barang berkualitas lebih baik meski lebih mahal. Rene juga mencontohkan Zappos yang untuk menggali value, meminta karyawannya menceritakan kisah hidup mereka. Kisah-kisah kecil yang mungkin tidak ada hubungannya dengan perusahaan (tentang orang tua, sekolah, kekalaman di masa lalu, dsb).

Meski menjelaskannya dengan baik, saya masih memiliki keraguan. Merumuskan value sebuah perusahaan yang sudah kadung ingin menjadi mesin kapitalis paling ampuh, bukanlah hal mudah. Cara yang dipakai Zappos bahkan membuat saya skeptis: apa sih gunanya cerita masa lalu pegawai untuk perusahaan?

Setibanya di kantor, untuk sementara pertanyaan-pertanyaan itu terlupakan. Saya sibuk mengedit dan menulis tumpukan PR yang belum selesai di hari deadline (Jumat adalah waktu ketika banyak orang kehilangan senyum di kantor saya). Saat menulis sebuah artikel, ada informasi yang belum saya dapatkan secara utuh. Maka saya menemui kawan yang meliput hal itu. Dia kebetulan sedang berada di perpustakaan.

Kelar ngobrol, saya melihat tiga edisi majalah Time tergeletak di antara belasan majalah yang berserakan di meja. Entah mengapa saya mengambil ketiganya, melihat judul-judul menarik, dan karena tidak sempat membacanya saat itu, saya hanya mem-fotokopi-nya. Artikel Time itu tidak saya sentuh sepanjang hari hingga tengah malam. Setelah semua selesai, saya membacanya satu per satu.

Ternyata, salah satu artikel yang saya foto kopi itu adalah tentang CEO Starbucks Howard Schultz. Judulnya: Starbucks for America. Sub judulnya: Howard Schultz is Transforming his Company. Changing The Country is Going to be Harder. Dan saat membaca artikel itu, sejumlah pertanyaan dan keraguan saya akan omongan Rene di Starbucks tadi, terjawab.

Artikel itu dibuka dengan CEO berusia 61 tahun itu yang berdiri di depan karyawannya di New York City. Dia tidak bicara soal untung-rugi perusahaan, tidak sedang meminta anak buahnya bekerja lebih keras. Dia bicara soal rasisme! Sejumlah insiden berbau rasial membuatnya risau. Dia mengumpulkan karyawannya (40 persen karyawan Starbucks di AS dari minoritas) dan meminta mereka bicara tentang pengalaman mereka soal rasisme.

Untuk apa CEO membuang waktu kerja karyawannya untuk biara soal yang sepertinya tidak berhubungan dengan keuntungan perusahaan? Dia bahkan membicarakan hal yang paling dihindari oleh banyak pemimpin perusahaan di Amerika. Mereka tahu ada masalah rasisme, tapi berbeda dengan Schultz, mereka memilih menghindar. Biar polisi dan politisi yang menyelesaikannya.

Rasisme bukan satu-satunya hal yang menarik Schultz. Dia juga peduli pada para veteran perang (akan mempekerjakan 10 ribu veteran perang di Starbucks hingga 2018). Schultz juga bekerjasama dengan universitas agar 10 ribu karyawannya yang belum menyelesaikan S1 dapat kuliah. Ia juga meningkatkan jaminan kesehatan pegawai, meski dikecam oleh Wall Street karena itu berarti mengurangi keuntungan. "A CEO's personal passions can irk investors when times turn tough," tulis Time. Schultz tak peduli.

Ia lebih peduli pada perkembangan ekonomi nasional. Setiap hari, empat kali Schultz memperhatikan perekonomian Amerika lewat tabel penjualan 12 ribu gerai Starbucks di seluruh negeri itu. "Sales will rise and fall with national mood." Ia menghubungi Gedung Putih setiap kali ada gejolak sosial-politik-ekonomi di AS, karena sesungguhnya ia lebih tahu dibanding para pejabat pemeritah.

"Our responsibility goes beyond P&L and our stock price. We have to take care of people in communities that we serve.... That's not socialism," kata Schultz.

Di sinilah saya baru menyadari apa yang dikatakan Rene di Starbucks pagi itu. Setiap perusahaan pasti bisa menemukan value kalau mereka memang peduli. Tapi, bagaimana dengan mendengarkan kisah dari para karyawan? Apakah itu berguna? Schultz sudah melakukannya saat acara anti-rasisme itu. Tapi, ia menggelar begitu banyak program di atas justru karena kisah dia waktu kecil.

Ayahnya adalah supir truk sampah yang "dibuang" oleh perusahaannya begitu ia lumpuh karena jatuh di atas es saat bekerja. Schultz bertekad, suatu saat dia ingin memiliki perusahaan yang tidak seperti perusahaan tempat ayahnya bekerja. Kisah ayah Schultz inilah cikal bakal value yang ia kembangkan.

Ia kini digadang-gadang banyak kalangan untuk menjadi calon presiden Amerika. "I like to take a big swing," kata Schultz sambil menyesap kopi Sumateranya. "Maybe it's all the coffee." Kopi yang ia minum, mungkin tak berbeda dengan kopi yang saya minum pagi itu.

Ikuti tulisan menarik Qaris Tajudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler