x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

50 Tahun Kematian Malcom-X

Lima puluh tahun yang lampau, 21 Februari 1965, Malcolm-X ditembak oleh anggota Nation of Islam saat berpidato di hadapan anggota organisasinya di New York City.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Apakah Amerika benar-benar siap memiliki prangko bergambar Malcolm-X, sekalipun 34 tahun sesudah pembunuhan atas dirinya?” Pertanyaan beraroma rasa gundah itu disampaikan rekan anak Malcolm-X menanggapi rencana pemerintah AS untuk menerbitkan prangko bergambar sosok ini pada 1999.

Dalam sejumlah segi, masyarakat Amerika bukanlah masyarakat yang mudah menerima perbedaan dan bersikap toleran. Malcolm-X masih mengilhami banyak orang, dan dalam beberapa hal sebagian masyarakat masih mencemaskan pengaruh gagasannya.

Setengah abad mungkin pendek bagi sejarah bangsa yang panjang, tapi kurun ini juga menandai bahwa di masa yang belum lama Amerika Serikat masih bangsa yang belum bisa menerima sepenuhnya ‘yang bukan putih’. Bahkan, peristiwa penembakan warga berkulit hitam di Ferguson, Missouri, serta Florida, tahun lalu mencerminkan bahwa peleburan putih dan hitam itu belum lagi sempurna. Sesekali letupan beraroram rasial terjadi juga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Malcolm-X merasakan sendiri kegetiran hidup sebagai manusia berkulit hitam. Dalam biografi yang ia tulis bersama Alex Haley, Malcolm-X membuka pintu begitu lebar dan mempersilakan pembaca untuk memasuki kamar gelap yang pernah dihuninya, mencecap rasa perih yang mencekamnya ketika ayahnya dibunuh dengan cara yang siapapun tak ingin mengalami hal serupa, nestapa hidupnya yang diimpit kemiskinan, serta kepedihan menyaksikan ibunya harus dibawa ke rumah sakit jiwa.

Kendati pun ayahnya dibunuh dengan cara mengenaskan dan dia sendiri diperlakukan secara tak pantas oleh orang-orang berkulit putih, Malcolm-X tidak pernah menganjurkan kekerasan sebagai cara bereaksi. Sebagai penganjur rekonstruksi budaya dan sosial, Malcolm-X berjuang hingga semua orang merasakan kesetimbangan persamaan hak.

Malcolm X bukan sekedar berbicara perihal gagasan besar yang memandunya untuk keluar dari kegelapan. Haley, dalam biografi tokoh ini, menjadikan Malcolm-X sebagai potret psikologis keturunan Afro-Amerika yang berjuang membebaskan diri dari ‘apartheid Amerika’—paham yang tak berbeda dengan yang pernah berlaku di Afrika Selatan tatkala orang-orang berkulit putih merasa lebih ‘manusia’ dibanding yang berkulit hitam.

Bahwa Malcolm-X akhirnya mati terkena peluru anggota Nation of Islam, ini adalah tragedi seorang pejuang yang berusaha membebaskan manusia yang terlahir—tanpa bisa memilih—berkulit hitam. Dan Malcolm-X dibunuh sebab ia dianggap kurang radikal. Ya, sekalipun ia dibenci, Malcolm-X tak mau membenci.

Lima puluh tahun yang silam, Malcolm-X harus berpulang di usia 39 tahun. “Dia hanya seorang laki-laki muda yang memberikan segala yang dia mampu,” kata Ilyasah Shabazz, anak perempuan Malcolm-X. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu