x

Seorang pengunjung melihat sejumlah buku yang dijual di toko buku milik Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo Jawa Timur, 21 Juli 2014. Toko buku ini merupakan satu dari 70-an unit usaha yang dikelola dari hasil wakaf di pondok tersebut. TEMPO/N

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Toko Buku Bekas

Yang penting ada perpustakaan terbuka, di mana orang bisa baca sambil nongkrong seharian. Jenis buku yang ditawarkan sebagian besar kisah pewayangan dan cerita rakyat edisi lama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak tadi Hopi tak berhenti senyum-senyum sendiri. Grafik tabel pada layar komputer di depannya terus menerus ia tatap. Hampir tak terduga, bisnis toko bukunya mencatatkan untung paling tinggi kali ini, bahkan mungkin melebihi toko-toko mapan lainnya. Usaha yang dilakoni sejak lima tahun silam ini telah menghasilkan uang yang sangat banyak dibanding yang dulu ia bayangkan.

Konsep bisnis toko buku Hopi sederhana saja sebenarnya. Ia membuka gerai kecil di satu kota, yang secara berkala menyelenggarakan acara-acara kebudayaan kecil seperti apresiasi baca puisi dan diskusi. Tokonya tidak perlu mewah dan ber-ac. Yang penting ada perpustakaan terbuka, di mana orang bisa baca sambil nongkrong seharian. Jenis buku yang ditawarkan sebagian besar kisah pewayangan dan cerita rakyat edisi lama. Ada komik cetakan pertama RA Kosasih, kitab-kitab berbahasa Belanda tentang sejarah Bali dan Jawa, hingga koleksi kartu pos dan jurnal-jurnal ilmiah yang dikumpulkannya dari toko loakan di Yogyakarta dan kota sekitarnya. Ia juga membuat etalase dunia maya, lengkap dengan hiasan gambar sampul buku-buku langka hasil buruan.

Toko buku Hopi kelihatannya seperti gerai barang antik. Tapi, yang membedakan toko buku itu daripada yang lain adalah: setelah beberapa tahun berdiri, usahanya justru dibiarkan tutup dengan alasan bangkrut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jangan salah. Itu sebenarnya taktik Hopi saja. Sudah lazim bagi orang Indonesia—yang kesadaran bacanya notabene belum tinggi itu—tatkala mengetahui ada toko buku maupun perpustakaan yang akan tutup oleh karena kurang pembiayaan, dapat begitu mudah memberi bantuan. Ada yang bikin konser amal. Ada gerakan penggalangan dana yang digalakkan melalui media sosial. Sampai ada aksi simbolis ‘pecah celengan’ guna urunan menyelamatkan satu ruang baca bersejarah di Jakarta. Para politisi, budayawan, seniman sampai artis dangdut pun ikut turun ke jalan, menyerukan pentingnya merawat perpustakaan. Semua itu dilakukan seakan-akan mereka sungguh peduli pada budaya membaca. Seakan-akan mereka memperhatikan warisan pustaka-pustaka lama.

Sama seperti siang ini, ratusan komentar prihatin muncul di laman facebook toko buku dunia maya kepunyaan Hopi. Mereka mengungkap simpati, mengasihani, dan mengapresiasi upaya pendirian toko buku—yang dianggap sebagai pembanding konsumerisme modernitas yang hedonis—seraya mengumpat mengapa pemerintah tidak memberikan dukungan bagi usaha-usaha kecil seperti ini. Hopi senyum-senyum saja. Apalagi setelah sejak tadi menghitung, betapa pasca geger pemberitaan penutupan toko bukunya yang keenam ini, tercatat banyak sekali antrian pesanan buku via email. Mereka terpanggil mendukung gerakan literasi bangsa ini lewat cara membeli buku-buku loakan Hopi…

 

Hopi meminum kopi tubruk dari cangkirnya, lantas memandang gembira padaku.

“Kamu lihat, Olen, orang-orang ingin sekali mendapat seri-seri buku lama yang kujual. Berita akan ditutupnya toko buku kali ini begitu besar dampaknya….”

“Ya, dan kini harus dipikirkan, apa nama toko buku baru yang selanjutnya akan kita dirikan, lalu dibangkrutkan...” jawabku sedikit sinis. Pesanan yang masuk betul-betul membludak. Mereka saling berebut untuk mendapatkan buku langka yang dijual. Sementara sebuah laptop menyala di hadapanku, tepat di sebelah kiri ada laptop lain yang menginformasikan kiriman-kiriman transfer pembelian. Kalau keadaan kami ini difoto dari sudut ruang atas, mungkin akan kelihatan seperti aksi sabotase situs internet sebagaimana pada film-film laga.

“Coba urutkan nama-nama toko buku yang sudah kita bangkrutkan….Maya Books, Rumah Buku Cempaka, Pustaka Ngelaras, Buku Lubak, Liligundi, dan yang sekarang…Kamus-suka…hahaha….”

“Hopi, coba lihat ini…Ada yang tanyakan seri Mahabarata dan Bhagavad Gita berbahasa sansekerta. Masih ada juga yang cari?”

“Justru itu, temanku. Itulah ladang uang kita….Memangnya dia mau tawar berapa? Khusus untuk edisi itu kita tak pasang tarif dan cari pembeli yang mau harga tertinggi.”

“Dia berani lima ratus ribu satu eksemplar…”

“Ah, terlalu murah,” sahut Hopi ketus. “Lupakan dia. Dari pembeli luar negeri, kita bisa dapat 60-70 dollar. Ingat pesanan dari Leiden itu?”

“Ya, ya, ya…dari seorang professor ahli Asia Tenggara. Berani ambil buku kekawin Arjuna Wiwaha yang dicetak dalam huruf Bali Kuno. Dan aku masih ingat, buku itu kita kirim dengan pos internasional yang biayanya hampir separuh dari nilai buku. Gila!”

“Tapi, kita dapat untung besar, Olen! Satu buku dibeli nyaris 150 euro! Satu buku, harganya hampir 2 juta rupiah, ha-ha-ha….”

Hopi tertawa terbahak-bahak. Tak lama kemudian, ia melanjutkan, “Dan bagusnya, kita punya beberapa eksemplar serupa, didapat dari warisan budayawan asal Bali yang meninggal beberapa tahun lalu. Istrinya, Olen…Istrinya berikan buku itu cuma-cuma untuk perpustakaan yang kita garap di Denpasar….”

“Yaa, itu Perpustakaan Buku Lubak. Yang kemudian kamu tutup dengan alasan pindah ke Malang. Namun, nyatanya buku-buku langka peninggalan dosen sejarah itu kamu jualkan secara online…Hopi, kamu benar-benar licik, persis lubak!”

Hopi tertawa lagi. Ketawa yang sangat keras, sampai membikin dirinya terbatuk-batuk, nyaris tersedak. Badannya yang gemuk bergoyang-goyang di atas kursi kerja yang empuk.

Lubak adalah nama binatang endemik Bali yang hampir mirip luwak. Ia suka mengganggu ladang para penduduk untuk memangsa bebek atau ayam di kandang. Satu cerita di Bali menyebutkan tentang lubak yang tertipu menggigit batu besar yang dikiranya seekor ayam hitam.

“Sudahi chatting-mu dengan calon pembeli. Tinggalkan pesan di website bahwa kita sudah tutup hari ini, dan minta mereka kirim pesan lewat surat elektronik. Ayo kita makan malam sama-sama! Rayakan, Olen, rayakan keberhasilan kita, ha-ha-ha…”

 

Toko buku Kamus-suka baru buka sekitar tiga tahun lalu tetapi telah dengan segera melesat dikenal orang-orang sebagai sumber buku-buku langka. Tempatnya di sekitar Tanahabang, berdekatan dengan stasiun kereta. Jarak ke jalan besar memang cukup jauh, terbilang sepadan untuk harga sewa yang amat sangat murah. Meskipun gerainya kecil dan pengap, namun iklan di dunia maya terbilang gencar. Terlebih Kamus-suka dicitrakan sering mengadakan gerakan membaca bagi anak-anak pemukiman Tanahabang yang miskin.

Harus diakui, Hopi memang jago mengelola bisnisnya. Aku sudah kenal dia cukup lama. Mulanya aku bergabung karena niatan mulia membangun kesadaran budaya baca di masyarakat. Kami mendirikan perpustakaan pertama, diberi nama Maya Books, yang koleksinya berasal dari sumbangan para ekspartriat di Bali. Sebagian dari mereka adalah rekan kerjaku saat menjadi agen travel pariwisata.

Dalam setahun Hopi mendirinya tiga toko sekaligus. Maya Books yang merangkap perpustakaan, Rumah Buku Cempaka, dan Pustaka Ngelaras—masing-masing berlokasi di tempat berbeda di Bali. Menariknya, tiga toko itu seolah dimiliki orang yang tak sama, dan seakan tidak berafiliasi langsung dengan Hopi. Hanya Maya Books yang terang-terangan diakui sebagai inisiasi kami berdua.

Tibalah saatnya Maya Books ditutup. Awalnya aku sungguh kaget, apa betul perpustakaan itu merugi dan mesti melego koleksinya buat menutupi utang-utang operasional. Namun, Hopi berhasil meyakinkan para donor bahwa selama ini perpustakaan menanggung defisit yang terus membengkak, terbukti dari catatan keuangan yang amat sangat rinci. Para donor yang kebanyakan turis asing itu pun menyerah dan mengizinkan buku-bukunya dijual.

Modus usaha Hopi kurang lebih begitu setiap waktu, yang belakangan aku ketahui saat toko keempat di Yogyakarta, Liligundi, gulung tikar. Yang membuat aku muak adalah betapa ia tega menjualkan buku-buku lama warisan berbagai pihak yang telah memercayakan penggunaannya demi perpustakaan umum atau donasi ke masyarakat miskin entah di mana. Hopi memanipulasi buku-buku itu, semata demi kepentingannya sendiri…

Aku sudah tak tahan lagi tatkala toko buku yang keenam ini ditutup.

 

“Olen, Olen! Lihatlah, ada yang menawar buku koleksi wayang kulit Jawa seharga 2 juta rupiah. Luar biasa,” seru Hopi sewaktu kami makan pecel ayam di satu warung pinggir jalan. “Coba, katanya dia sedang membuat riset tentang pewayangan Ramayana dalam berbagai versi, dan sangat perlu buku itu…”

Aku diam saja. Hopi terus mengoceh membayangkan rezeki nomplok yang akan diperolehnya. “Orang-orang macam begini, yang begitu kepingin mendapat buku karena kebutuhan, rela membayar dengan jumlah berapa pun. Menurutmu, apakah kita harus naikkan nilainya?”

“Hopi, buku itu kamu dapat dari seorang yang juga sedang kepepet perlu duit. Dan ingatkah, kamu bahkan tega menawarnya dengan harga rendah.”

“Oh, Olen, jangan berprasangka buruk. Ini hal yang saling menguntungkan. Bukankah si pemilik awal, yang menjual buku itu kepada kita, juga mendapatkan barang tersebut secara gratisan karena pemberian orang? Jadi, dia tidak merugi. Malah mendapat harga yang cukup pantas waktu itu…”

Aku jadi tak selera makan, dan hanya menghabiskan teh manis panas yang kupesan. Hopi asyik saja dengan telepon genggamnya, membalas surat demi surat dari calon pembeli.

“Kadang aku membayangkan, andai tokoh wayang Ramayana itu kelak hidup layaknya kita manusia, maukah mereka diperjualbelikan seperti ini…”

“Khayalanmu, Olen, seperti juru dalang yang menggerutu karena tak kebagian kerjaan lagi….”

“Itu warisan kebudayaan kita. Peninggalan dari bangsa ini. Dan kita memperjualbelikan mereka sesuka hati. Kebanyakan pembelinya bahkan orang asing. Buku itu…berpindah tangan ke bangsa-bangsa lain…”

“Yaa, begitulah caranya pengetahuan tersebar lebih luas, bukan?”

“Buku itu…adalah warisan yang tak tergantikan. Kalau itu kita anggap sebagai barang dagangan, apakah kita tak durhaka namanya?”

“Kamu makin lucu, Olen. Durhaka pada siapa?”

“Pada…pemilik buku sebelumnya…pada Rsi Walmiki yang membuat Ramayana. Mpu Kanwa yang menggubah Arjuna Wiwaha, atau juru dalang di masa silam yang mendedikasikan diri membuat karya wayang, yang sekarang buku rangkuman koleksinya kita jual….”

“Olen!” Hopi memotong ucapanku. “Jangan konyol. Pikirkan sisi baiknya. Setidak-tidaknya, buku kuno itu ada di tangan yang memerlukan. Dibandingkan mereka lapuk di gudang, terbengkalai begitu saja…”

 

Pagi itu, pada hari ditutupnya gerai Kamus-suka, aku tiba agak terlambat di stasiun Tanahabang. Jalanan seperti biasa ramai oleh penumpang yang entah hendak bekerja ataupun berbelanja di pasar. Angkot-angkot yang ngetem terus membunyikan klaksonnya, seperti musik sumbang yang mengekspresikan keluh kesah dan amarah kota besar Jakarta. Tukang ojek berdiri mengacungkan jari, menawarkan jasa antar kemana pun kita mau. Sebagaimana hari-hari biasanya, mereka aku lewati begitu saja.

Di gang sempit menuju toko buku, orang-orang berjubel padat sekali. Kebanyakan membawa ransel yang disandang di badan depan. Ada juga pemuda rapi, mirip potongan mahasiswa di kampus mana, sibuk mengetik pada telepon genggamnya. Seorang wanita berkemeja biru menerobos kerumunan. Agaknya dia salah seorang awak media.

Setelah menyelusup beberapa langkah mendekati Kamus-suka, baru aku tahu bahwa mereka adalah calon pembeli buku. Media-media televisi datang meliput dan menyampaikan siaran langsung. Suara mereka riuh rendah, dan terus saling berdesakan merangsek ke toko kecil yang sumpek. Makin lama mereka berteriak nyaring.

Ada yang memukul-mukul dinding di sepanjang gang sempit. Ada yang memekik meminta transaksi dipercepat. Ada yang kejepit tak bisa lewat.

Aku tercenung. Mereka semua persis seperti warga di kampung nun yang tengah antri minyak tanah ataupun beras murah. Tak sabar. Mudah marah.

Juru fotografer sibuk ambil gambar. Mungkin pikirnya, ini ekspresi yang bagus untuk foto berita utama dengan judul: masyarakat berebut buku bekas.

Kulihat wajah Hopi di antara kerumuman massa. Dia mencoba menenangkan orang-orang yang datang. Tubuhnya yang gemuk digencet ke sana kemari. Pelayan toko pontang panting melayani pembeli.

Pada saat itulah, Hopi melihat kehadiranku. Ia memanggil lantang, menyeru minta bantuan. Sejurus kutatap matanya, dan aku pilih pergi dari gang kecil itu.

Tapi nahas, ketika hampir keluar dari antrian yang sesak, aku tak sengaja mendengar orang berbisik-bisik mengenai tujuannya membeli buku-buku bekas dari Hopi. “Untuk dijual lagi. Untungnya lumayan…”

Segera orang itu aku tinju mukanya dan tepat kena batang hidungnya. Itu gerakan spontan saja, barangkali karena sudah lama menahan geram pada tingkah menjengkelkan Hopi. Massa sekitar kaget, mengira ada perselisihan. Tanpa basa basi ada yang memukuli aku, yang juga kubalas membabi-buta. Suasana seketika ricuh. Dan aku berusaha menyelamatkan diri. Menyelinap di sana sini.

Tanahabang pagi itu, mirip hutan perburuan yang lebat. Orang-orang berjuang mendapatkan yang diinginkan. Meski sampai baku pukul sekalipun…***

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler