x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mendaki Puncak Kepemimpinan

Kisah-kisah yang dituturkan Useem memang bukan peristiwa biasa, melainkan momen luar biasa yang menjadi ‘pentas’ bagi pribadi-pribadi istimewa untuk menunjukkan kualitas kepemimpinannya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Effective leadership is not about making speeches or being liked, leadership is defined by results not attributes.”

--Peter Drucker (Guru manajemen)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Di saat situasi gaduh seperti sekarang dan kita sebagai warga masyarakat kebingungan mencari di mana atau siapa sebenarnya pemimpin kita, ada sebuah buku yang menarik untuk dibaca. Michael Useem, dalam bukunya The Leadership Moment, menyarikan hakikat kepemimpinan dari berbagai momen-momen kritis yang dialami sekelompok orang maupun masyarakat dan perusahaan.

Salah satu kisah kepemimpinan yang menarik ialah tentang Roy Vagelos. Ketika itu ia eksekutif Merck&Co, sebuah perusahaan multinasional yang berkecimpung dalam industri farmasi. Roy diakui tangguh dalam berbisnis, namun ia menyimpan sisi-sisi lain yang mencemaskan pemegang saham. Pada 1970an, ketika ia menduduki posisi Senior Vice President of Research di perusahaan ini, Roy mulai memimpin kampanye untuk melenyapkan river blindness.

River blindness adalah sejenis kebutaan disebabkan oleh larva microfilaria yang kerap menjangkiti penduduk yang menetap di sekitar sungai di Afrika dan Amerika Selatan. Roy sadar, ia dan timnya tengah menghadapi tantangan yang terlihat mustahil untuk ditaklukkan. Dari luar perusahaan: river blindness telah membikin badan-badan kesehatan berbagai negara nyaris frustrasi mengatasinya. Dari dalam perusahaan: para penentang menyayangkan uang $200 juta dihabiskan untuk mengembangkan obat yang calon pemakainya tidak akan mampu membelinya saking mahalnya menurut perhitungan.

Nah, begitu duduk di posisi puncak Merck & Co. (1985), Vagelos mengembangkan obat itu dan menghabiskan ratusan juta dolar lagi untuk mendistribusikannya kepada orang-orang yang berisiko. Michael Useem mengajak kita memasuki pertarungan Roy Vagelos dan menyingkapkan wawasan fundamental di balik perjuangannya menegakkan momen kepemimpinan, yakni “gigih menghadapi kemustahilan”.

Roy Vagelos pada akhirnya mampu membukakan mata para penentangnya bahwa derma ratusan juta dolar bukanlah kesia-siaan. Merck & Co. lantas dikenal sebagai perusahaan yang bervisi, memiliki jiwa, dan membangun idealisme di sekitarnya. Roy memang telah melanggar prinsip sempit profitabilitas perusahaan, tetapi itu hanya sesaat untuk kemudian mengembalikannya kepada perusahaan dalam wujud reputasi hebat.

Eugene Kranz memperlihatkan spirit serupa di tengah kebingungan ratusan orang di Houston yang menanti apakah para astronot Apollo 13 sanggup kembali dengan selamat setelah pesawat mereka terkoyak oleh ledakan. Kranz dan timnya beradu kecerdasan melawan kegagalan teknologi, dalam waktu yang sangat terbatas. Di saat para ahli tekniknya mengatakan tidak ada cara untuk dapat membawa ketiga astronot kembali ke Bumi dengan selamat, Kranz bersikukuh, “Kita tidak akan pernah menyerah.”

Kisah-kisah yang dituturkan Useem memang bukan peristiwa biasa, melainkan momen luar biasa yang menjadi ‘pentas’ bagi pribadi-pribadi istimewa untuk menunjukkan kualitas kepemimpinannya. Apa yang membedakan Kranz, Vagelos, Blum, Gutfreud, dan lima nama lain dalam buku ini ialah kemampuannya dalam memutuskan dan kesanggupannya dalam bertindak. Kepemimpinan, pada galibnya, menyangkut dua perkara ini. Keterlambatan dan apa lagi tidak adanya tindakan dapat mengakibatkan kerusakan besar pada kepemimpinan, sama besarnya dengan kerusakan akibat tindakan yang tidak tepat.

Useem, direktur Center for Leadership and Change Management di Wharton School saat menulis buku ini, membicarakan kepemimpinan dengan cara yang berbeda. Ia menunjukkan, sebagai kecakapan yang dapat dipelajari, kepemimpinan selalu dapat ditemukan dalam beragam peristiwa. “Saya belajar dengan cara sulit,” kenang Arlene Blum, seorang perempuan, tentang pendakiannya bersama 9 perempuan lain ke Annapurna, salah satu puncak di Himalaya. “Meskipun saya belum seperti jenderal yang memimpin pasukan, saya sudah mulai bergerak ke arah sana.”

Alfredo Cristiani menemukan momen kepemimpinannya saat ia ditarik oleh situasi yang tiba-tiba saja datang menghampirinya. Sebagai petani kopi, ia diminta oleh pihak yang bertikai yang sudah lelah kepada para politikus untuk menyelesaikan konflik bersenjata di negerinya, El Salvador. Inilah sebuah titik balik bagi Cristiani dan ia meyakini bahwa sebuah kesempatan historis tengah menunggunya. Sejarah menantinya memain peran merundingkan revolusi. Waktu membuktikan ia salah satu orang yang mampu menciptakan perbedaan di dunia.

Ya, pada akhirnya, kepemimpinan memang soal performanceketika situasi genting. “Orang menjadi pemimpin hanya di dalam momen performance itu,” kata Useem. Di saat-saat seperti itu, kita dipaksa untuk fokus pada pengambilan keputusan yang sukar, pada momen menentukan ketika tujuan dipertaruhkan dan kita tidak yakin apakah dapat mencapai tujuan itu. Baik Roy maupun Kranz telah memperlihatkan bahwa mereka berani bersikap dan bertindak cepat, tanpa ragu dan berbeli-belit, serta tidak punya ketakutan apapun bakal kehilangan jabatan. Mereka lebih memercayai kebenaran. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler