x

Indonesiana - Neraca keadilan

Iklan

Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja - FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pantaskah Membela Ahok?

Bukan Ahok vs DPRD, tapi Pengadilan Sebenarnya vs Pengadilan Media. Save Indonesia, bukan #SaveAhok, bukan #SaveDPRD! Jadikan pembelajaran!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dulu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tatkala sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2013 berencana menggusur paksa PKL.  Dianggap bahwa PKL ganggu ketertiban. Sampai PKL diancam pemidanaan.

Abraham Lunggana (Lulung), anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PPP dituduh netizen, ‘preman Tanah Abang,’ bisnisnya terancam oleh Ahok. Isunya adalah blok F mahal uang sewanya (20-50 juta rupiah per tahun), lebih baik pindah ke blok G. Isu lain bahwa blok G kurang layak, lebih baik tetap di blok F.

Pada 27 Juli 2013 Effendi Gazali menyatakan, penertiban itu harus dilakukan dalam momen yang tepat, Ahok harus beri jeda dalam memberikan pernyataan keras karena hal itu mengundang reaksi keras. kemudian, sepertinya Ahok tak peduli.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perspektif lain dalam penanganan PKL diaplikasikan oleh seorang dosen teladan Universitas Jambi, ia bikin gerobak unik bermotif batik, punya sumber listrik, bisa dikreasikan jadi lebih menarik. Ia berpandangan tak perlu gusur PKL. Karena mikroekonomi digambarkan secara jelas pada tataran perekonomian PKL ini.

Pada 2 Agustus 2013, Andrinof A Chaniago mengutarakan bahwa Ahok harus mengedepankan dialog. Ahok harus beradaptasi agar tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Apa tanggapan Ahok? Ahok malah memancing Pengadilan di Media. Awalnya bagaimana?

“Pansus MRT hanya akal-akalan supaya anggota DPRD dapat honor,” ujar Ahok. Cepat direspon Fraksi PPP DPRD DKI Jakarta, dengan meminta klarifikasi Ahok sambil meminta pimpinan DPRD DKI Jakarta memanggil Ahok. Berharap agar Ahok tidak asal bicara.

Sempat reda perseteruan lulung dengan Ahok. Bulan Juni 2014 (masih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta), Ahok bilang, “saya udah kompak dengan Pak Haji Lulung.”

Apakah redanya bertahan lama? Apakah peristiwa menjadi sangat berbeda seandainya Lulung tidak menggubris pernyataan pedas Ahok? Saya berpendapat, tidak akan terjadi gesekan antara Lulung dan Ahok. Namun yang terjadi kemudian adalah adegan saling ‘serang.’

Sedikit menambahkan  adegan saling serang tersebut yakni dalam menanggapi RUU Pilkada. Menurut Ahok RUU Pilkada seandainya disahkan, hanya akan jadikan kepala daerah budak para anggota dewan.

Menarik dicermati, kenapa Ahok selalu berkata pedas? Penulis berpendapat Ahok membidik 2017. Mengingat dahulu pada 10 September 2014 Ahok pernah menyatakan “Kalau 2017 saya terpilih lagi, saya tidak mau jadi budak DPRD.”

Lulung responsif terhadap pernyataan Ahok tentang RUU Pilkada, ia menyatakan bahwa DPRD tak terima dihina. Sehari kemudian ia bilang, Ahok harus dibinasakan kariernya. Ahok cepat membalas, “Kita liat aja siapa yang kariernya binasa?”

Ahok tuding ada oknum anggota DPRD DKI Jakarta membacking PKL di Pasar Tanah Abang. Mungkin ia menyiratkan peran Lulung, ini menurut perpektif Ahok. Lulung menyindir dengan meminta Ahok periksa kejiwaan. Ahok ‘menyerang’, dengan menganggap DPRD tidak paham Perda.

Sikap reaktif sekali lagi, kali ini Ormas Betawi melakukanaksi unjuk rasa agar Ahok minta maaf. Namun karena tidak berproses di Pengadilan maka jadilah pada kesimpulan bahwa Pengadilan Media tidak menyelesaikan masalah.

Adegan kedua yang menarik adalah, saat Mei 2014, menurut Ahok Kampung Pulu (Jakarta Timur) akan terus banjir sampai kiamat sekalipun. Ahok terkesan pesimis, ini perspektif Lulung.

Ketika sebagai Gubernur

Di Gedung DPRD Jl Kebun sirih Jakarta, pada rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta, 8 Desember 2014, Ahok dan Lulung saling lempar senyum dan tawa. Lulung menasehati Ahok, “Jangan anggap saya sebgai musuh. Kalau Anda ngomongnya kurang baik, saya sebagai mitra merasa wajib memberi masukan.” Ahok membalas, “Oh Iya, iya,” sambil senyum. Lulung mengakui, “Saya tidak menentang Ahok jadi Gubernur DKI Jakarta, karena sesuai dengan amanat konstitusi.”

Apakah reda perseteruan ini? Tidak.

Ini menurut hemat penulis tidak ada perseteruan karena agama dan yang jelas Pengadilan Media sepertinya tukang ’sabung ayam’ saja.

Ahok ngotot bahwa DPRD salah. Kemudian pada 26 Januari 2015 reaksi keras muncul, kali ini dari M. Taufik Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, politisi Partai Gerindra. Ahok dinilai oleh M Taufik sebagai Fir’aun karena cuma menonjolkan kesombongan dan marah-marah sebalum maupun pasca pelantikannya sebagai Gubernur 19 November 2014.

Bulan Februari 2015 masalah lagi. Politisi PDIP sekaligus Mendagri Tjahjo Kumolo pada 23 Februari 2015 mengatakan bahwa RAPBD 80%nya untuk belanja pegawai, sedangkan 20%nya untuk pembangunan.

Ahok membantah, “Mana ada 80%.” Saya heran kenapa Kemendagri tidak membahas hasil temuan BPKP selama 2 tahun silam tentang anggaran siluman, tambah Ahok.

Singkat histori, secara resmi, DPRD DKI Jakarta mengajukan Hak Angket atas Gubernur Ahok pada Kamis 26 Februari 2015. Apakah masa depan Ahok adalah pemecatan dirinya sebagai Gubernur? Tentu terancam. Ini tekanan kepada Ahok.

Di hari yang sama, 26 Februari 2015, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran, ICW (Indonesia Corruption Watch), Firdaus Ilyas menyatakan bahwa biarkanlah publik yang menilai angaran versi siapa yang menyimpan celah korupsi. Ini jelas, pengadilan Media. Tidak lebih dari itu. Keesokan hari, Jum’at, koordinator advokasi dan investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menganjurkan DPRD mengevaluasi diri, legislator tidak memiliki kewenangan mengelola anggaran.

Pada tahun 2014, telah diinstalasikan UPS (Uninteruptable power Supply) untuk sejumlah sekolah di Jakarta Barat senilai miliaran rupiah. Ini biaya relatif, bisa dibilang wajar bisa pula dibilang tak wajar. Tergantung faktor dan elemen-elemen yang menyertainya. Proyek ini kemudian direncanakan lagi dan tercantum dalam draft RAPBD 2015. Rencana proyek ini muncul setelah RAPBD 2015 dikirim ke Mendagri pada 27 Januari 2015.

RAPBD versi DPRD DKI Jakarta diklaim Ahok berisi  anggaran siluman, lebih tepatnya rencana siluman. Jumlah biaya yang tercantum itu tiba-tiba muncul? Siapa yang memunculkannya?

Pada hari yang sama, Jum’at 26 Februari 2015, Ahok bilang, “Perseteruannya dengan DPRD karena anggaran siluman titipan DPRD DKI Jakarta harus dimasukkan ke dalam RAPBD dan berharap disahkan menjadi APBD.”

Apakah Ahok pura-pura menunjukkan sikap kompak dengan DPRD? Berikut ini aneh, Ahok mengklaim punya bukti (rekaman CCTV) bahwa dia masih berkomunikasi dengan baik bersama DPRD menunjukkan bahwa hubungannya dengan DPRD masih baik.

Nah kemudian Ahok malah menantang, “ Saya tidak takut Hak Angket DPRD, saya tidak tahu apa itu cuma ‘gertak sambal’ saja.”  Ahok menuding rencana dan biaya Siluman itu terjadi pada item angaran Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas pemadam Kebakaran dan Penanggulangan bencana, serta Dinas Pariwisata.

Ahok tegar dengan draft RAPBD versi e-budgeting. Ia mengklaim DPRD mengajukan Hak Angket karena ia menggunakan software program e-budgeting yang berisi rincian APBD yang tidak bisa diutak-atik karena yang memegang pasword adalah Ahok dan Dinas terkait.

Ahok menyatakan bahwa keputusan MK sudah jelas, DPRD punya hak budgeting tapi enggak berhak susun APBD. DPRD cuma mengawasi. Sedangkan Wakil Ketua DPRD, politisi PPP, Lulung berkata, “Legislatif tidak mempersoalkan penerapan e-budgeting. Mestinya APBD yang diserahkan eksekutif kepada Mendagri harus draft yang mencantumkan kesepakatan antar kedua pihak, termasuk hingga ke rincian satuan ketiga.” Lulung juga menampik, “Tolong diingat, itu (e-budgeting) bukan produk hukum!”

Sejauh ini adalah Pengadilan Media, memang tidak menyelesaikan masalah. Rencana dan biaya siluman yang dituding Ahok sebesar  12 Triliun Rupiah.

Kembali ke rincian satuan ketiga, e-budgeting, dan persetujuan bersama DPRD DKI Jakarta dengan Kepala Daerah. Inilah dasar untuk melihat bahwa Ahok dan DPRD sama-sama salah yakni tidak kompak atau tidak sampai kepada konklusi ‘keputusan bersama’ tentang RAPBD.

Keesokan harinya, Sabtu 28 Februari 2015, ketua Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) Syahrul Yasin Limpo mengatakan bahwa tidak baik bagi pemerintah daerah, cukuplah DKI Jakarta dan Ahok yang terjadi kontraksi seperti itu. Limpo menasehati, “Gubernur dan DPRD harus kompak. Penyusunan Anggaran seharus dilakukan bersama, dengan perhitungan rasional.”

Sebelum meneliti perkataan Syahrul Yasin Limpo coba perhatikan terlebih dahulu peristiwa yang mengitari pokok masalah. Mari membaca debat di Kaskus yang judulnya Ahok Harus Lengser karena Sistem e-budgeting bisa Batasi Korupsi Parpol dan Birokrat? Malah dalam debat ini persoalan menjadi kian melebar.  Di sisi lain, perdebatannya mengarah kepada harapan agar segera dibuktikan di Pengadilan.

Kembali ke pernyataan Limpo, ketua APPSI! Penulis yakin Limpo paham (1) bahwa RAPBD yang dikirim ke Mendagri haruslah yang disepakati bersama oleh Ahok dan DPRD; (2) bahwa biaya siluman yang dicantumkan dalam RAPBD 2015 bukan bukti korupsi sebab masih tataran planning. (3) Ahok sengaja membuka praktek korupsi pada tahun 2014, artinya Ahok sudah tidak substansif lagi jika tuduhannya itu sekadar memancing ke Pengadilan Media. (4) DPRD meminta Ahok merinci anggaran sampai ke satuan tiga, ini termasuk kesalahan DPRD.

Sehingga wajar jika Limpo menasehati, “Tidak baik bagi pemerintah daerah, cukuplah DKI Jakarta dan Ahok yang terjadi kontraksi seperti itu. Gubernur dan DPRD harus kompak.”

Penulis sepakat terhadap opini, “Korupsi mau tools kayak apa juga, gak efektif. Penentu utama pencegahan korupsi bukan tools e-budgeting tapi sektor manusia sebagai user. Karena bisa saja kongkalikong legistatif dengan eksekutif.”

e-budgeting belum bisa diakses rakyat? Sejauh ini masih belum. Artinya Ahok dan DPRD masih berdebat soal rencana. Bukan soal praktek. Masalahnya ada pada tuduhan Ahok bahwa DPRD menitip rencana dan biaya siluman. Selain itu, ada pada praktek tahun 2014 seperti intalasi UPS di beberapa sekolah yang biayanya miliyaran rupiah, dan beberapa praktek lainnya.

Apa Ahok tersudut, sehingga baru sekarang momen membuka ‘aib’ DPRD DKI Jakarta? Kenapa tidak dari dua tahun lalu dilaporkan ke KPK, ketika Ahok menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta? Selanjutnya akan dibuka aib seluruh DPRD se-Indonesia? Bagaimana kejadiannya, seandainya Ahok mendiskusikan RAPBD sebelum mengirimkannya ke Mendagri. Di sini lah kelihatannya Ahok sengaja menjebak DPRD. Apakah sebenarnya Ahok hanya menjebak Lulung?

Kebencian pada Ahok apakah karena e-Budgetingnya bila diterapkan secara nasional, bisa mengancam eksistensi Parpol dan birokrat untuk peluang korupsi? Justru e-budgeting baru rencana. Silakan diterapkan! Titik fokus solusi ada pada kesepakatan bersama Ahok dengan DPRD.

Meninjau Pengdailan Media Ahok kelihatan tidak bersalah. Di bundaran HI Minggu 1 Maret 2015, sejumlah orang menyebut diri dengan ‘Teman Ahok’ mendukung Ahok yang berani membongkar indikasi korupsi dalam APBD 2015 dan dan korupsi di tahun-tahun sebelumnya. Kelirunya adalah orang melihat bahwa APBD 2015 sudah disahkan, padahal belum! Jika didiskusikan selesailah maslah ini.

Ahok yang sengaja menjebak DPRD, apakah untuk membinasakan karier Lulung, atau untuk mempopulerkan dirinya menjelang Pilkada 2017? Namun, yang jelas Pengadilan Media tidak menyelesaikan masalah. Tapi ingat, penulis tidak sanksi terhadap Media karena bagaimanapun juga Media memberikan informasi kepada publik.

Pengadilan Media bisa saja memvonis Ahok dengan ‘hukuman’ dikubur idup-idup. Ibarat kuburin jengkol. Pengadilan Media bisa juga kok memvonis DPRD DKI Jakarta dengan ‘hukuman’ dibakar idup-idup. Ibarat bakar ikan. Jelas kedudukan Pengadilan Media bukan Pengadilan sebenarnya.

Bukan Ahok vs DPRD, tapi Pengadilan Sebenarnya vs Pengadilan Media. Save Indonesia, bukan #SaveAhok, bukan #SaveDPRD! Artinya? Adalah penting, seperti kata Pak Jusuf Kalla, jadikan pembelajaran!

Mari berpartisipasi dengan Pengadilan Sebenarnya!

 

read more:

Ahok dan anggota DPRD Bersalah

Ahok Menyoal Kemendagri yang Tak Mau Uangkap Soal Dana Siluman di APBD

Ahok vs Fraksi PPP DPRD DKI: Ketika Ahok Mendobrak Kesungkanan

Haji Lulung ingatkan Ahok Tak Provokasi PKL tanah Abang

Pengamat: Basuki Tak Bisa Terus-terusan Bicara Keras

Ahok Diminta Mengerem Ucapannya

Pengamat: Basuki Tak Perlu Komentari Perilaku DPRD

Panas Dingin Hubungan Ahok dan Lulung

Hadiri Paripurna DPRD, Ahok dan Lulung Saling Melirik Lalu Tertawa

Lulung Ke Ahok: Jangan Anggap Saya Musuh Dong (1)

Lulung Ke Ahok: Jangan Anggap Saya Musuh Dong (2)

Wakil Ketua DPRD DKI Samakan Ahok dengan Fir'aun

Hak Angket Ahok, FITRA : DPRD Tak Berhak Alokasi APBD

Angket Buat Ahok, Ini 20 Contoh Proyek Siluman APBD 2015

Pemprov Pakai E-budgeting: Ahok Sebut DPRD Kebakaran Jenggot

Tak Takut Hadapi Hak Angket, Ahok: Jangan Cuma Gertak Sambal!

Ahok: APBD Versi e-budgeting Bikin DPRD Sulit Utak-Atik Dana

Trensosial: Tagar Save Ahok

APPSI Berharap Konflik Ahok vs DPRD DKI Tidak Merembet ke Daerah Lain

Ahok Harus Lengser Karena Sistem e-budgeting Bisa Batasi Korupsi Parpol dan Birokrat (1)

Ahok Sengaja Bikin Jebakan Batman untuk DPRD?

Dukungan terhadap Ahok untuk Lawan DPRD Terus Mengalir

Kisruh Ahok-DRD, JK: Bagus Dijadikan Contoh Keterbukaan

 

sumber gambar di sini

Ikuti tulisan menarik Mahendra Ibn Muhammad Adam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu