x

Indonesiana - Dengan PNB per kapita yang masih jauh dari batas minimum negara-negara kelompok high income countries, Indonesia berpotensi terjebak dalam kelompok middle income countries

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bonus Demografi dan Ancaman Middle Income Trap

Dengan PNB per kapita yang masih jauh dari batas minimum negara-negara kelompok high income countries, Indonesia berpotensi terjebak dalam kelompok middle income countries

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat ini, Indonesia tengah berada dalam bayang-bayang ancaman middle income trap. Suatu kondisi ketika sebuah negara yang telah berhasil memasuki kelompok middle income terjebak dalam stagnasi pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, negara tersebut tak juga beranjak menjadi negara maju (high income country). Kondisi seperti ini banyak dialami oleh negara-negara di kawasan Amerika Latin.

Data pertumbuhan ekonomi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Februari lalu kian memperkuat ancaman tersebut. BPS melaporkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2014 hanya sebesar 5,02 persen. Hal itu memberi konfirmasi bahwa ekonomi Indonesia terus mengalami perlambatan secara konsisten selama lima tahun terakhir.

Berdasarkan pengelompokkan yang dilakukan Bank Dunia, saat ini Indonesia termasuk dalam kelompok lower middle income countries dengan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita sebesar US$3.580. PNB per kapita sebesar itu masih jauh dari PNB per kapita minimum negara-negara kelompok high income countries yang sebesar US$12.747. Itu artinya, bagi Indonesia, potensi untuk terjebak dalam kelompok middle income cukup besar dan ada di depan mata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena itu, tak ada jalan lain, pertumbuhan ekonomi harus dipacu. Dan tentu saja, angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen jauh dari memadai. Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, setidaknya, rata-rata  sebesar  6 persen per tahun dalam dua dekade mendatang. Jika tidak, Indonesia bakal membutuhkan waktu lama untuk bisa keluar dari kelompok middle income countries dan, boleh jadi, mimpi untuk menjadi negara maju pada tahun 2030 bakal jauh panggang dari api.

Untungnya, saat ini hingga dua dekade mendatang, Indonesia sedang mengalami periode dimana struktur penduduk didominasi kelompok usia produktif (15-64 tahun). Kondisi tersebut, oleh para ekonom kependudukan, biasa disebut “bonus demografi”.

Jika dikelola dengan baik, struktur penduduk yang didominasi kelompok usia produktif berpotensi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Hal itu terjadi karena melimpahnya suplai tenaga kerja, dan pada saat yang sama pendapatan masyarakat dapat ditingkatkan, karena lebih banyak penduduk yang secara ekonomi aktif di pasar kerja.

Struktur penduduk yang didominasi kelompok usia produktif pada akhirnya akan meningkatkan tabungan masyarakat, karena mereka dapat menabung lebih banyak sebagai akibat menurunnya porsi pendapatan yang digunakan untuk menanggung penduduk usia tidak produktif (anak dan lansia). Tabungan tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk investasi, yang sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Pengalaman sejumlah negara menunjukkan, bonus demografi berkontribusi signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Tiongkok, misalnya, sepanjang 1960-2000 berhasil memacu pertumbuhan ekonominya rata-rata 7 persen per tahun. Menariknya, kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang mengesankan itu mencapai 9,2 persen per tahun.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Thailand, bahkan jauh lebih mengesankan dibanding Tingkok. Betapa tidak, kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonomi Thailand—yang rata-rata sebesar 6,6 persen per tahun sepanjang 1960-2000—mencapai 15,5 persen per tahun.

Namun demikian, patut dicamkan bahwa apa yang dialami oleh Tiongkok dan Thailand tidak terjadi secara otomatis. Hal tersebut merupakan buah dari keseriusan mereka dalam mengelola bonus domografi yang dialami. Satu hal yang pasti, kunci keberhasilan kedua negara tersebut dalam memanfaatkan bonus demografi adalah adanya keseriusan dan komitmen yang kuat terhadap investasi modal manusia (human capital), utamanya di bidang pendidikan dan kesehatan.

Indonesia harus memetik pelajaran berharga dari keberhasilan Tiongkok dan Thailand  serta negara-negara lain yang telah sukses memanfaatkan bonus demografi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Karena itu, kapabilitas (tingkat pendidikan dan kesehatan) penduduk usia produktif, khususnya generasi muda, harus ditingkatkan. Intervesi kebijakan dari pemeritah dalam hal ini sangat dibutuhkan. Apa gunanya jumlah penduduk usia produktif yang besar tapi tidak berkualitas (produktivitas rendah).

Generasi muda/angkatan kerja muda (usia 15-40 tahun) juga harus dibekali dengan keterampilan, kemampuan berwirausaha, penguasaan teknologi informasi, dan soft skill yang memadai agar mereka dapat berkontribusi maksimal di pasar kerja. Dengan demikian, mereka mampu menciptakan sebanyak mungkin pendapatan dan memupuk tabungan.

Dalam hal ini, kesadaran generasi muda untuk selalu mengembangkan kemampuan dan kapasitas diri serta menghindarkan hal-hal yang dapat  merusak masa depan mereka, seperti narkoba dan pergaulan bebas, juga memegang peran yang sangat krusial dalam menentukan keberhasilan negeri ini dalam memanfaatkan bonus demografinya dan terhindar dari ancaman middle income trap. (*)

 

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler