x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Buku yang Membangkitkan Kegilaan

Sebuah buku mungkin berhenti sebagai himpunan teks hingga pembaca mengikuti perjalanan teks itu, memaknainya, menafsirkannya lewat pengalaman, pengetahuan, dan kepekaan rasanya hingga menemukan kekuatan di dalamnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“A real book is not one that we read, but one that reads us.”
--W.H. Auden (Penyair, 1907-1973)

 

Sebuah buku mungkin berhenti sebagai himpunan teks hingga seorang pembaca mengikuti perjalanan teks itu, memaknainya, menafsirkannya lewat pengalaman, pengetahuan, dan kepekaan rasanya hingga menemukan kekuatan di dalamnya. Di tangan Mikkel Birkegaard, pembacaan buku oleh orang-orang tertentu sanggup melahirkan kekuatan dahsyat—yang menghancurkan, bahkan membunuh seseorang.

Libri di Luca menjadi ajang penumpahan imajinasi Birkegaard yang mungkin tak terbayangkan perihal sebuah buku. Semakin sering sebuah buku dibaca, semakin kuat buku itu. Daya hancurnya terus bertambah. Pembaca tertentu yang memiliki kesenyawaan dengan buku tertentu akan mampu mengeksplorasi kekuatan tersembunyi di dalam teks.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Intrik, kecurigaan, kelompok rahasia, dan pembacaan mewarnai pertarungan kelompok terang dan gelap. Mereka memperebutkan orang-orang yang memiliki kekuatan pembacaan, saling mengintimidasi dan saling memburu. Birkegaard menarik kita untuk mengikuti penuturannya hingga halaman terakhir tentang kekuatan gelap yang tersembunyi dalam buku-buku.

Simon Winchester memilih sudut kegilaan yang berbeda. Geolog yang juga menulis buku Krakatoa ini mengisahkan cerita di balik penyusunan Oxford English Dictionary dalam The Professor and the Madness. Mengambil latar belakang Inggris menjelang akhir abad ke-19, Winchester membuka ceritanya dengan kunjungan Dr. James Murray, editor Oxford English Dictionary, ke kontributor utama kamus Oxford—seorang jenius yang telah 20 tahun menghuni penjara rumah sakit jiwa.

Pengisahan Winchester membukakan mata betapa penyusunan sebuah kamus tidak lepas dari pertarungan gagasan, bertautan dengan gejolak sosial pada zamannya, dan kian menegangkan ketika ia mempertautkannya dengan kegilaan seorang jenius yang hidup bersama kata-kata dan bahasa. Sebuah kamus prestisius hanya lahir dari orang-orang yang mencintai kata-kata dan pengungkapan.

Dongeng lain tentang buku yang menimbulkan kekacauan dituturkan oleh Matthew Pearl dalam The Dante Club. Mengambil latar belakang Boston tahun 1865, fiksi ini mengisahkan upaya sejumlah intelektual Boston untuk menerjemahkan karya Dante, Inferno, ke dalam bahasa Inggris. Para penentang berusaha menggagalkan upaya penerjemahan dengan beragam cara.

Seperti halnya Birkegaard dan Winchester, Pearl menjadikan pembunuhan, intrik, intimidasi, juga persekongkolan yang dilambari rasa dengki sebagai elemen untuk memacu ketegangan. Mereka yang tengah berusaha memperkenalkan Dante Alighieri kepada masyarakat Amerika dipaksa terlibat upaya menguak pembunuhan. Sang pelaku pembunuhan agaknya terinspirasi oleh hukuman-hukuman dalam Inferno, karya pujangga kota Firenze itu.

Dalam sejumlah fiksinya, Pearl mendasarkan karakter utamanya pada orang-orang yang memang ada dalam sejarah, dan kali ini Boston, seperti penyair Henry W. Longfellow, penyair dan dokter Oliver W. Holmes Sr., serta penyair dan penerbit James R. Lowell—orang-orang yang tergabung dalam Dante Club. Dengan membaca The Dante Club, kita diajak memasuki lorong sejarah abad ke-19 di sebuah kota yang kelak menjadi salah satu pusat intelektual Amerika.

Ketiga karya fiksi itu dapat membukakan jalan menuju horison yang begitu luas dari dunia literer: tentang buku yang membangkitkan kegilaan dan buku yang lahir dari jenius yang mengidap kegilaan. (Foto: Old Boston, sbr: hairofthedogboston.com)

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler