x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mencari Sunyi

Kita harus membayar mahal untuk sanggup melepaskan diri dari jeratan degradasi hidup yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan pasar. Salah satunya: kita kehilangan kesunyian, kesenyapan. Kota-kota semakin malam, ruang-ruang virtual bahkan tak mengenal waktu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Kesunyian adalah kawan sejati yang tak pernah berkianat.”
--Konfusius

 

Pernahkah Anda mendengarkan suara yang begitu dekat, yang menginginkan Anda beristirahat dari twitter, path, facebook, email, maupun percakapan telepon? Media elektronik di sekitar kita, rasanya, sudah mulai over-stimulation. Nyaris setiap saat, perhatian kita ditarik dan dialihkan oleh media sosial, pesan pendek, email, dan dering telepon.

Dengan semua kecanggihan ini, hidup terasa lebih sibuk untuk berkomunikasi, menanggapi, membalas, dan memberi komentar tentang hal-hal yang bukan urusan pokok kita. ‘Selalu terkoneksi’ menjadi jargon yang berasosiasi dengan kemutakhiran (updated)—tidak tertinggal isu, gosip, berita.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, keusilan kita jadi lebih mudah terpantik—bukankah kita menjadi bertambah usil, tergoda untuk mengomentari apa yang mungkin bukan urusan kita? Betapa mudah kita meluapkan rasa amarah dan berbagi apa saja di media sosial—ini adalah sejenis pertanda makin kaburnya batas-batas yang pribadi dan yang sosial; dan kita telah menyaksikan efek negatifnya dalam beragam rupa—perisakan (bullying), pemerasan, maupun pencemaran, bahkan hingga kematian.

Mungkin kita tidak segera menyadari betapa kemampuan kita untuk fokus pada hal tertentu juga mulai berkurang karena perhatian kita teralihkan oleh soal-soal lain. Ketika rapat, kita tergoda untuk membuka sms, menerima telepon, atau membalas cuitan. Kita tersenyum sendiri atau tertawa kecil sendiri.

Kehidupan multi-tasking juga kian membahayakan masyarakat ketika menjadi cara yang semakin dominan dalam kita hidup sehari-hari. Cara ini bukan saja mengurangi efektivitas kerja, tapi—secara esensial—mengurangi kemanusiaan kita.

Apa yang mulai terlihat ialah kita harus membayar mahal untuk sanggup melepaskan diri dari jeratan degradasi hidup yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan pasar. Salah satunya ialah kita kehilangan kesunyian, kesenyapan. Kota-kota semakin malam, ruang-ruang virtual bahkan tak mengenal waktu—senantiasa bising.

Kita kehilangan kesendirian yang kita butuhkan untuk berpikir, merenung, dan mendengarkan detak jantung sendiri. Ketika kita membutuhkan kesunyian, kita merasa “oh, alangkah tidak mudah menemukannya”. Kita mulai kehilangan kesunyian yang terkadang memang kita butuhkan untuk jeda. Tak mudah menemukan kesunyian di kota-kota besar, sebab kota hidup semakin malam—mobil dan motor berdentam-dentam. Tidur malam kitapun terganggu oleh mimpi buruk. Kita semakin terbiasa dibangunkan oleh alarm digital ketimbang alarm biologis.

Menarik diri dari segala hal yang mengalihkan perhatian menjadi kian tidak mudah. Bahkan kita harus membayar mahal untuk memperoleh kesunyian dengan bepergian ke gunung, pulau terpencil, dan laut lepas.

Kamar pribadi tak lagi memadai untuk mensunyikan diri. Telepon seluler harus dimatikan atau ia akan mengusik dan menggoda kita untuk memegangnya—ini bukan perkara mudah, banyak orang sukar membayangkan hidup tanpa telepon seluler atau tablet/laptop; banyak pula orang yang kelabakan ketika pergi sementara telepon tertinggal di rumah.

Mungkinkah kita mengembalikan kesunyian natural yang pernah kita nikmati dengan cara yang murah, mudah, dan alamiah? (sbr foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler