x

Iklan

Arimbi Bimoseno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semua Orang Pasti Mengalami Turbulensi

Di antara siang dan malam ada warna jingga yang membias kala senja, warna perpaduan merah dan kuning menjadi oranye.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Novel Vivian Zen

Kisah sebelumnya: Zakia Ditemukan

Om Fadil? Dia sangat perhatian pada mama selama ini. Sering menjenguk mama di rumah sakit. Om Fadil juga ikut menjemput waktu dokter mengatakan mama sudah boleh pulang untuk melanjutkan rawat jalan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenapa Om Fadil melakukan itu? Aku sulit mempercayainya. Tapi hati manusia, siapa yang tahu. Bu Fauziah bilang, kadang seseorang bisa melakukan sesuatu di luar dugaan.

Aku merasa sangat cemas. Aku perlu bicara dengan seseorang. Kutekan nomor Fedy di ponsel. = “Udah sampai kantor polisi?” tanyaku langsung.

“Sebentar lagi.”

“Benarkah Om Fadil yang melakukannya?”

“Dia udah ditetapkan sebagai tersangka.”

“Dia sayang banget pada mama…. Kupikir….”

“Vivian, jangan mencemaskan apa pun. Kita ikuti hasil penyelidikan polisi.”

“Fedy…, aku tidak mengerti dengan semuanya ini.”

“Kamu terlalu cemas. Tenanglah. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diputar kembali. Ikhlaskan mama. Itu akan membuat mama tenang di alam sana. Sedangkan kamu, kamu tidak sendirian. Kamu adalah tanggung jawabku. Berapa kali aku harus yakinkan, aku akan menjagamu.”

Jawaban Fedy terdengar emosional di telingaku. Aku mengerti Fedy dalam keadaan capek, malam-malam begini, mengantuk, dan harus ke kantor polisi.

Ya. Situasi ini memang menguras emosi kita semua.

“Vivian, kita harus tenang supaya bisa membuat Zakia tenang. Dia pasti syok saat ini,” suara Fedy kembali menonjok gendang telingaku.

“Iya.”

Kututup ponsel dengan lemas.

Untuk ke sekian kali kubatinkan dalam hati, terimakasih Tuhan telah mengirim Fedy untukku. Saat aku lemah, dia menguatkanku. Dia hadir di saat-saat terburuk dalam hidupku. Saat aku kehilangan Arya. Saat aku harus menerima kepergian papa. Dan kini saat aku harus kembali menerima kenyataan yang menimpa mama.

Rasanya seperti terguncang-guncang di dalam pesawat yang mau jatuh.

Turbulensi.

Tidak.

Rasanya lebih menyakitkan dari turbulensi.

Saat itu aku kelas empat sekolah dasar. Di musim liburan, papa dan mama membawaku ke Lombok. Dalam penerbangan menuju pulang ke Jakarta, pesawat mengalami turbulensi.

Rasanya seperti melindas gundukan saat mengendarai mobil di jalanan. Tapi, ini lebih mengerikan karena berada di ketinggian. Pesawat bisa saja jatuh dan tenggelam di dalam laut, menabrak gunung dan terbakar, atau hancur berkeping-keping setelah menembus hutan belantara. Apa saja bisa terjadi.

Pesawat terguncang-guncang hingga makanan dan minuman berserakan di lantai. Ada air tumpah dari botol, cipratannya mengenai langit-langit pesawat. Seorang pria muda berambut gondrong yang baru saja keluar dari toilet, terpental beberapa meter dan kepalanya membentur dinding pesawat. Kaca matanya terlempar dan darah segar mengalir dari dahinya.

Guncangan terjadi beberapa kali. Semua orang panik. Ada yang menjerit-jerit histeris. Ada yang berdoa, mulutnya komat-kamit dengan mata terpejam.

Mama memelukku sangat erat.

“Apa pesawat ini mau jatuh, Ma?” bisikku ke telinga mama.

Mama menjawabku dengan terus-menerus mengucap zikir, “Astaghfirullah… astaghfirullah… astaghfirullah….”

Beberapa saat kemudian, pesawat terbang dengan tenang. Mama mengucap, “Alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah….”

Itulah pertama kali aku mengenal kata turbulensi.

Suatu hari kemudian papa mau mengajakku ke Surabaya dengan menggunakan pesawat, aku menolaknya.

“Vivian, itu turbulensi, tidak nyaman tapi tidak berbahaya. Itu bagian dari terbang dan tak perlu ditakuti,” kata papa.

“Semua orang pasti mengalami turbulensi,” lanjut papa.

Semua orang pasti mengalami turbulensi? Kan, tidak semua orang naik pesawat? Entah kenapa tidak kudebat begitu waktu itu.

“Turbulensi itu apa, Pa?”

“Turbulensi itu gerakan tidak beraturan atau berputar tidak beraturan akibat perbedaan tekanan udara atau perbedaan temperatur udara.

“Kenapa harus ada turbulensi?”

Papa menjelaskan seperti seorang guru fisika. Sambil berdiri dan kadang dengan gerakan-gerakan tangan. “Banyak hal yang dapat menyebabkan turbulensi. Di antaranya suhu, pemanasan dari matahari menyebabkan masa udara panas naik dan sebaliknya masa udara dingin turun. Ini sering disebut dengan turbulensi thermis. Ada yang disebut turbulensi jet stream karena pergerakan yang sangat cepat arus udara pada level ketinggian yang tinggi, dan mempengaruhi udara di sekitarnya. Angin yang mengalir saat terbang pada pesawat seperti aliran sungai, disebut jet stream. Jet stream ini bisa ribuan mil panjangnya, tapi lebar dan kedalamannya hanya beberapa mil. Pilot bisa menghindari benturan angin atau menggunakan angin yang mengalir dalam satu arah terhadap jet stream tersebut. Angin ini bisa bertiup sampai 250 mil per jam atau sekitar 402 km per jam. Sama seperti aliran sungai yang mengalir cepat dan berputar-putar, jet stream juga bercampur dengan udara yang bergerak lambat. Hal ini menyebabkan percampuran udara cepat dan lambat hingga menimbulkan guncangan yang disebut turbulensi.

Ada yang disebut turbulensi mekanis karena gesekan angin dengan bangunan atau gunung. Massa udara melewati pegunungan atau bangunan dan mengakibatkan turbulensi pada saat pesawat terbang di atasnya pada sisi yang lain. = Ada wake turbulence yang disebabkan oleh gerakan manuver pesawat. Semakin besar pesawat, semakin besar juga efek wake turbulence-nya. Biasanya kalau ada pesawat kecil terbang di belakangnya bisa terkena efek bergoyang-goyang bahkan bisa terhempas.”

“Jet stream itu apa, Pa?”

“Arus angin berkecepatan tinggi, bisa lebih dari 150 knot, 277 kilometer per jam yang terjadi di lapisan atmosfir bagian atas yang sangat tinggi, di atas 30.000 kaki.”

“Yang kita alami waktu itu termasuk turbulensi yang mana?”

“Clear air turbulence. Ketika terjadi turbulensi, pesawat sedang terbang dengan ketinggian jelajah 36.000 kaki di atas permukaan laut. Setelah terkena turbulensi, pesawat berada di ketinggian 30.000 kaki atau terhempas 6.000 kaki ke bawah.”

“Kok papa bisa tahu?”

“Karena papa rajin baca, dan suka ngobrol dengan Om Waluyo.”

Om Waluyo seorang pilot, teman papa. Kadang mereka main tenis bareng. Tapi itu sudah sangat lama. Entah di mana sekarang Om Waluyo. Waktu papa meninggal, ia tidak kelihatan.

“Apa turbulensi bisa dihindari?”

“Om Waluyo bilang, pilot tidak bisa mendeteksi pada radar dan tidak bisa secara akurat memperkirakan turbulensi. Untuk mengatasinya, mereka mengandalkan laporan dari pesawat lain dan pantauan lalu lintas udara. Mereka menemukan jalan yang paling nyaman tanpa mengorbankan keselamatan penumpang.

Turbulensi itu ada tiga tingkatan, ringan, sedang, dan berat. Dalam turbulensi ringan, pilot seperti supir mobil yang terkena guncangan karena jalan yang tidak rata. Pesawat mungkin menyimpang dengan hanya beberapa meter di ketinggian. Untuk turbulensi sedang, sudah sering dialami oleh pilot. Sebabnya, mereka akan mengalaminya tiap beberapa jam dalam setiap seribu jam terbang. Ini biasanya berlangsung selama tidak lebih dari 10 atau 15 menit, tapi kadang-kadang dapat berlangsung selama beberapa jam. Turbulensi ini dapat menyebabkan minuman tumpah dan membuat pesawat menyimpang hingga 10 atau 20 kaki, tiga sampai enam meter.”

“Kalau turbulensi yang berat?”

“Turbulensi yang berat sangat jarang. Dalam karier terbang lebih dari 10.000 jam, Om Waluyo pernah mengalami turbulensi yang berat selama sekitar lima menit. Sangat tidak nyaman, tetapi tidak berbahaya.”

Setelah mendengar penjelasan papa, aku mau diajak ke Surabaya dengan menggunakan pesawat. Dan sejak itu, tiap ada kesempatan terbang bersama papa dan mama, aku tidak khawatir lagi.

Kupikir aku sedang mengalami turbulensi yang berat. Rasanya seperti naik pesawat yang menabrak gunung dan terbakar. Aku menemukan diriku di dalam pesawat yang terbakar. Tak ada jalan keluar. Mungkin aku akan mati karena terbakar, atau mati saat pesawat jatuh ke laut dan tenggelam. Aku terperangkap dalam pesawat yang penuh air. Aku tak bisa keluar. Aku tidak bisa bernapas. Aku mati.

Tidak.

Aku tidak mau mati.

Seharusnya aku menemukan alasan kenapa harus menjalani hidup.

***

Foto ilustrasi: http://www.tsu.co/dailypicts

Bersambung

Ikuti tulisan menarik Arimbi Bimoseno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler