x

Iklan

Arimbi Bimoseno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aku Tak Tahu Harus Percaya Pada Siapa

Di antara siang dan malam ada warna jingga yang membias kala senja, warna perpaduan merah dan kuning menjadi oranye.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Novel Vivian Zen

Kisah sebelumnya: Semua Orang Pasti Mengalami Turbulensi

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku tidak bisa menunggu. Aku bergegas menuju pintu keluar stasiun, mencari mobil yang bisa mengantarku ke bendara Juanda untuk mengejar penerbangan paling pagi.

Semua terasa mudah. Aku mendapatkan mobil sewaan. Tiba di bandara, aku bertemu seorang bapak yang membatalkan tiketnya tujuan Jakarta.

Masih pagi buta saat pesawat mendarat. Dari Cengkareng, aku naik taksi menuju Pejaten.

Fedy dan Zakia masih tidur setelah melewati malam yang berat.

Lega rasanya melihat Zakia sehat. Secara fisik setidaknya itu yang tertangkap mataku. Di kamar tamu, Zakia tidur sambil memeluk guling.

Kuhempaskan badanku di sofa di ruang keluarga.

Mariana menyeduh dua cangkir teh, untuknya dan untukku.

“Kamu tinggal di sini saja, Vivian.”

Tawaran yang sungguh baik, tapi aku menyukai privasi.

“Saya mau cari rumah kontrakan, Ma.”

“Ya sudah kalau itu maumu. Oh ya, mama mau tunjukkan sesuatu,” Mariana berjalan ke rak buku, mengambil dua lembar kertas.

Kertas dengan coretan tangan Zakia. Lembar pertama berupa gambar ayah, ibu dan kakaknya yang terseret gelombang tsunami. Lembar kedua berupa gambar papa dan mama yang berjalan menjauh dari dirinya.

“Dia tidak menangis, tapi sepertinya sangat tertekan. Dia sangat pendiam. Berbeda dari biasanya.”

Cerita Mariana itu mengingatkanku pada Zakia ketika pertama kali kulihat di asrama anak-anak korban tsunami Aceh. Waktu itu Zakia tidak mau berbicara sama sekali. Dia hanya menggambar dan menggambar.

“Tak adakah yang dibilang Zakia, Ma?”

“Cuma mengangguk dan menggeleng. Waktu mama tanya apa dia diperlakukan buruk oleh penculiknya, dia menggeleng. Waktu mama tanya apa dia dikasih makan, dia mengangguk.”

“Zakia seperti itu kalau lagi syok, Ma. Kalau sudah keluar karakter aslinya, dia periang dan kadang cerewet. Dalam keadaan normal, dia suka mendongeng dari buku yang baru dibacanya.”

“Iya nggak apa-apa. Nanti dia akan kembali normal. Kadang anak-anak bisa lebih kuat dari orang dewasa. Ada malaikat yang menjaga anak-anak.”

Fedy muncul dari kamarnya. Dia terkejut melihatku.

***

Fedy mengantarku ke rumah mama. Sunyi sekali kurasakan. Aku tidak mau menyebutnya suram, seram, mencekam.

Kuambil beberapa barang, termasuk baju dan buku pelajaran sekolah Zakia.

Foto mama di atas meja di pojok ruang tamu menghentikan langkahku. Lidahku kelu. Jantungku memburu.

“Dibawa aja ini,” Fedy mengambil foto mama dari tanganku, memasukkannya ke dalam kopor.

Saat membuka pintu pagar, dari arah berlawanan kulihat Gathan berlari ke arah kami. Baru kusadari wajah dan perawakannya sangat mirip dengan bajingan itu. Aku tak mau lagi menyebut nama Fadil, apalagi dengan awalan Om.

“Aku perlu bicara denganmu, Vivian,” Gathan terengah-engah.

“Bicara saja dengan polisi,” jawabku dingin.

“Bukan ayahku yang melakukannya. Ayahku tidak mungkin melakukan itu pada mamamu.”

“Katakan itu pada polisi.”

Fedy menyentuh lenganku, “Tak ada salahnya mendengar kesaksiannya, Sayang.”

“Aku sedang tidak bisa berpikir, dan tidak mau bicara dengan anak bajingan itu,” aku bergegas menuju mobil.

“Ada yang menjebak ayahku. Seolah-olah ayahku yang membunuh mamamu dan menculik adikmu,” Gathan setengah berteriak sembari mengepalkan tinjunya.

“Aku tidak tahu harus percaya pada siapa. Yang jelas aku sedang sangat emosi. Sebaiknya bawa ceritamu itu pada pengacaramu,” kumasukkan kopor ke dalam bagasi.

“Saat peristiwa itu terjadi, ayahku sedang bersamaku. Kami sedang makan di kafetaria kampus. Penting buatku membicarakan masalah ini denganmu, Vivian. Agar kamu tidak salah mengerti. Kamu tahu bagaimana ayahku pada mamamu,” Gathan terus bicara.

“Semua orang bisa membuat pengakuan apa saja. Aku sudah menyerahkan masalah ini ke polisi. Ayo Fedy, aku sudah nggak tahan.”

“Vivian, kita bisa bekerja sama untuk mengungkap siapa sebenarnya pelakunya. Ayahku hanya kambing hitam dalam sebuah konspirasi. Aku sama terpukulnya denganmu.”

“Ceritakan tentang konspirasi itu,” kata Fedy pada Gathan.

“Sudah Fedy, aku mau pergi. Aku tidak mau mendengar omong kosongnya,” aku duduk di jok depan sebelah kiri.

Fedy mendekatiku, “Kamu tunggu di sini.”

Fedy dan Gathan berjalan ke arah rumah Gathan. Mereka masuk ke dalam rumah pembunuh itu.

Aku keluar dari mobil dan menatap rumahku.

***

Mama, sebuah akhir yang tidak kusangka-sangka. Pelajaran apa yang aku bisa petik dari kepahitan macam ini. Mama pergi dengan cara demikian. Ini sangat menyakitkan. Siapa yang tega melakukannya. Si biadab itukah? Yang pura-pura menyayangi mama? Bodohnya aku mempercayainya selama ini. Bukti-bukti polisi mengarah padanya, tapi anak si bajingan itu berusaha menyangkalnya.

Fedy keluar dari rumah bajingan itu. Aku cepat-cepat masuk ke dalam mobil, tak sudi melihat anaknya atau apa pun yang berkaitan dengan bajingan itu.

Dalam perjalanan mencari rumah sewaan, Fedy menceritakan apa yang disampaikan anak bajingan itu. Aku mendengarnya tanpa berminat. Semua ceritanya bertolak belakang dengan keterangan polisi. Aku tak tahu harus percaya pada siapa.

“Bagaimana kalau cerita Gathan benar? Bayangkan Om Fadil harus menjalani hukuman yang dia tidak lakukan,” Fedy mulai ragu. “Sudah begitu, apa coba motif Om Fadil melakukannya?”

“Vivian, coba ingat-ingat, hari-hari terakhir bersama mamamu. Mama berinteraksi dengan siapa aja? Apa ada yang tidak senang dengan mamamu?”

“Mama tidak punya musuh. Mama tidak punya banyak teman. Dengan Tante Marta aja, mama suka ngobrol. Aku tidak terlalu memperhatikannya. Aku sibuk dengan diriku sendiri.”

“Coba ingat-ingat lagi detilnya,” Fedy mendesakku, “Suster itu? Kenapa dia menghilang?”

“Tentang suster itu udah kuceritakan ke Kapten Swasono,” tiba-tiba kepalaku sakit sekali, “Fedy, jangan bicara tentang mama dulu ya, aku nggak kuat.”

“Oke. Dan kamu nggak harus buru-buru mendapat rumah sewaan hari ini kan?”

“Nggak harus. Aku mau bawa Zakia ke rumah Bu Fauziah.”

“Kenapa sih nggak mau tinggal di Pejaten? Mama kan sudah mengizinkan?”

“Kita belum menikah, Fedy.”

“Kamu sedang rapuh. Dekat denganku akan baik buatmu. Lagipula kita tidak melakukan apa-apa.”

“Aku mau ke rumah Bu Fauziah aja.”

“Baiklah. Aku tidak akan memaksamu.”

Fedy menghentikan mobil di depan sebuah rumah yang ditandai dengan tulisan ‘disewakan’ pada sebuah papan putih. “Di sini tidak terlalu jauh dari Pejaten. Kalau kamu lagi sibuk banget, kamu bisa titipkan Zakia di rumah mama.”

“Aku merasa nggak enak hati harus merepotkan keluargamu.”

“Anggap aja kita sedang latihan berkeluarga. Inilah esensi berkeluarga. Saling bantu, saling support.”

“Kamu sabar sekali Fedy. Aku tidak menyangka.”

“Aku mau bilang sesuatu, tapi jangan cemburu ya?”

“Apa?”

“Kemarin lusa Melisa meneleponku. Dia minta ditemani menjenguk papanya di penjara.”

“Oh.”

“Kalau nanti ada berita gosip macam-macam, jangan kaget.”

“Apa lagi yang aku belum tahu?”

“Ada kabar baik dari Peter dan Nuri. Mereka mau rujuk.”

“Oh ya?”

“Ya.

Kami turun dari mobil.

Pohon pinus dalam pot besar di depan rumah ini kering kerontang. Sepertinya sudah lama tidak disiram di tengah musim kemarau ini.

“Nanti bisa diganti dengan pinus yang baru,” Fedy seperti bisa membaca pikiranku.

Seorang perempuan bertubuh kurus dan berambut panjang menyambut kami. Ia membuka kunci pintu dan mengajak kami melihat-lihat bagian dalam rumah.

Pertama kali yang aku ingin lihat adalah toiletnya. Begitu masuk ke dalam toilet, aku merinding, entah kenapa. Aku buru-buru keluar.

“Rumah ini terlalu besar buatku, Fedy.”

“Ya udah, kita cari yang lain.”

Kami berputar-putar di seputar Pejaten dan belum menemukan rumah yang cocok. = “Nanti malam Fedy n Friends ada acara.”

“Ya Tuhan, dan kamu menemaniku sejak pagi tanpa aku mengerti kerepotanmu. Harusnya kamu bersiap-siap.”

“Nggak apa-apa. Aku tahu pikiranmu lagi kacau.”

“Aku ingin menemanimu, tapi badanku rasanya sakit semua.”

“Kamu istirahat aja.”

“Thanks, Fedy.”

“Yakin mau ke rumah Bu Fauziah sore ini?”

“Iya.”

***

Foto ilustrasi: http://www.tsu.co/dailypicts

Bersambung

Ikuti tulisan menarik Arimbi Bimoseno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler