x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penulis yang Menjemput Kematiannya

Bunuh diri membayangi jejak banyak penulis hingga beberapa tahun terakhir ini. Media massa mengabarkan pada September 2009: “Postmodern Writer Is Found Dead at Home.”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“When you are insane, you are busy being insane—all the time.”
--Sylvia Plath

 

Sylvia Plath memiliki pesona yang tragis, bahkan hingga setelah kematiannya. Saat membaca kisah bunuh diri penyair perempuan ini, yang terjadi pada 11 Februari 1963, Anne Sexton terperangah. “Kematian itu milikku,” ujar Anne, yang juga penyair. Sebelas tahun kemudian, dengan mengenakan mantel buluyang pernah dikenakan ibunya, Anne duduk di kursi mobil dan menyalakan mesinnya. Asap segera memenuhi garasi yang sengaja ditutup rapat. Dengan cara itulah, Anne mengakhiri hidupnya.

Kematian Plath, setelah usaha bunuh dirinya yang ketiga, menggoda orang untuk melacak puisi-puisinya dan menyusuri jejak-jejak lain yang ditinggalkan Plath. “Hari yang amat menekan. Aku tak bisa menulis apapun...,” tulis Plath dalam catatan harian bertanggal 3 Oktober 1959.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jennifer Yaros menelisik lima puisi Plath yang terhimpun dalam The Collected Poems: ‘Elm’, ‘Lady Lazarus’, ‘Words’, ‘Contusion’, dan ‘Edge’. Jenny menemukan indikasi nuansa bunuh diri yang secara kronologis semakin kuat dan semakin kuat. Puisi-puisi itu, yang disebut oleh psikolog Steven Gould Axelrod sebagai ‘puisi pengakuan’, bagaikan otobiografi krisis yang menyingkapkan depresi internal dan tekanan sosial yang dialami Plath.

Ernest Hemingway menjumpai peristiwa kematian di medan perang Italia—yang mengilhaminya untuk menulis cerita pendek A Natural History of the Dead. Secara literer, ia diakui. Hadiah Nobel diberikan padanya. The Old Man and the Sea dibaca jutaan orang di dunia. Dua hal itu seolah tak cukup bagi Hemingway agar ia dikenang, dan menambahkannya dengan satu hal: bunuh diri.

Seperti halnya Plath, kematian menjemputnya setelah Hemingway mencoba bunuh diri untuk yang kedua kali. Menjelang ulang tahun ke-62, lelaki ini mengakhiri hidupnya dengan menembak diri. Orang-orang juga mencari jejak aroma kematian Hemingway dalam karya-karyanya.

Hingga ia merancang kematiannya, hidup Virginia Woolf seakan dikelilingi oleh maut yang bergerak begitu cepat: kematian ibunya, saudara tirinya, dan ayahnya. Setelah menyelesaikan manuskrip novel terakhirnya (yang terbit sesudah kematiannya, posthumous), Between the Acts, Woolf kian merana. “Aku merasa pasti bahwa aku menjadi gila lagi,” tulis Woolf dalam surat untuk suaminya. “Aku mulai mendengar suara-suara, dan aku tidak bisa berkonsentrasi.”

Ada banyak jalan menuju kematian, dan Woolf memilih jalannya sendiri. Pada 28 Maret 1941, Woolf mengenakan mantelnya, mengisi sakunya dengan bebatuan, lalu berjalan menuju River Ouse yang dekat dengan rumahnya. Ia melompat ke arus sungai dan menenggelamkan diri, mengukur kedalaman sungai. Tubuhnya baru ditemukan 18 April. Suaminya menguburkan Woolf di bawah sebatang pohon di taman rumah mereka di Rodmell, Sussex, Inggris.

Bunuh diri membayangi jejak banyak penulis hingga beberapa tahun terakhir ini. Media massa mengabarkan pada September 2009: “Postmodern Writer Is Found Dead at Home.” Itulah berita tentang akhir hidup David Foster Wallace, yang novel-novel ironis dan gelapnya, juga esei dan cerita pendeknya, menjadikan dirinya salah satu penulis paling berpengaruh di AS dari generasinya.

Kematiannya di usia 46 tahun menggoda orang untuk menarik benang merah antara kehidupan Wallace dan karya-karyanya: apakah cerita Death Is Not the End, Suicide as a Sort of Present, dan The Depressed Person tak cukup dibaca sebagai fiksi belaka, tak cukup dipandang sebagai terputus dari kontinuum hidup kesehariannya?

Barangkali, penulis demikian terbujuk oleh daya tarik bunuh diri sebagai sarana untuk mengendalikan kisah hidup mereka. Barangkali pula, di hadapan penulis yang berkutat dalam bahasa, bunuh diri menjadi metafor yang kuat, yang menancap ke dalam benak mereka.

“Sylvia Plath maupun Anne Sexton berbagi pengertian bahwa kehidupan seniman yang hebat harus berakhir dengan kematian (bunuh diri),” tulis penyair Diane Middlebrook. “Anda berhenti sebelum Anda menulis lebih buruk. Sexton memberi aplaus kepada bunuh diri Hemingway. Ia berkata, ‘Itu bagus buat dia’.”

Sebagian orang membaca cerita-cerita dan perkataan-perkataan penulis sebagai isyarat, tapi isyarat yang tak selalu dipahami kecuali sesudah maut menjemput. Orang tergoda untuk melacak puisi-puisi mereka, novel-novel mereka, drama-drama mereka, sebab orang percaya bahwa karya-karya itu refleksi perasaan dan pikiran penulisnya. Bukan yang terputus, bukan yang terpisah. (sbr foto: creativedrinks.com.au) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB