x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Strata

Hari ini semua lini mengenal strata tak terkecuali kualitas sekolah. Tepatkah atau malah mengkhianati tujuan terselenggaranya pendidikan Indonesia?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

RPP atau Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah rancangan proses belajar, yang disiapkan guru biasanya tiap awal semester atau tahun ajaran baru, memenuhi standar Kementerian Pendidikan. Data sekolah, alokasi waktu, sampai hal-hal rinci seperti kompetensi dasar, metode pembelajaran, juga indikator capaian dicantumkan. RPP itu kewajiban tiap guru menerjemahkan ide kurikulum dari pusat. Maksudnya, setelah kurikulum dan silabus disusun nasional, guru-guru se-Indonesia harus menerjemahkannya di atas kertas, sesuai keadaan di hadapan masing-masing menilik norma lokal, kondisi sosial, juga potensi anak didik. RPP seperti skenario kegiatan belajar di kelas tiap harinya mengacu standar nasional.

Menurut ketetapan, RPP menjadi salah satu komponen penambah angka kredit guru. Saking berharganya selembar RPP karena tingginya poin kredit dan berpengaruh langsung pada rupiah penghasilan, fenomena guru mengcopypaste RPP akhirnya marak. Bukan terjemahan arsitektur pembelajaran nasional ke lokal yang kita dapat, malah lahirlah kecurangan ‘memperjuangkan’ pemenuhan hajat hidup. Kecurangan terkondisi sistem. Gara-gara tanggung jawab-tanggung jawab dihargai nominal lahirlah penghalalan-penghalalan untuk hasil akhir sekedar soal pendapatan. Sebuah sebab akibat, menurut saya.

Peraturan Menteri Pendidikan No. 81 A tahun 2013, yang jika tidak salah masih berlaku sampai hari ini atau belum ada peraturan pengganti, mencantumkan prinsip-prinsip penyusunan RPP, salah satunya harus sesuai kondisi satuan pendidikan. Kondisi satuan pendidikan adalah kenyataan kelas yang dihadapi masing-masing guru, meliputi kemampuan awal peserta didik, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kecepatan belajar, dan banyak hal lain. Logikanya RPP berarti bisa disusun ketika sang guru telah mengenal baik isi kelas yang menjadi tanggung jawabnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nyatanya, RPP disusun di awal tahun ajaran atau awal semester, menjadi ukuran kesiapan guru mengajar atau jamak dinamai atribut kerja. Maka alih-alih menjadi jembatan kurikulum nasional dengan kenyataan di kelas, RPP malah legalisasi kurikulum telah tersampaikan, entah benar ilmu dipahami entah tidak. Setahu saya, meski ada indikator penilaian, yang dapat diidentikkan tingkat pemahaman siswa, tapi kontrol memastikan kenyataan-kenyataan sesuai suratan skenario RPP tidak ada, selain persen kelulusan.

Sedihnya, bagi saya, persen kelulusan siswa menjadi salah satu instrumen akreditasi sekolah. Artinya, ketika sebuah sekolah ingin terakreditasi baik, silahkan meluluskan sebanyak-banyaknya anak didik yang telah terdaftar. Muaranya sekolah-sekolah berlomba menggenjot angka kelulusan  tak peduli tingkat penguasaan murid pada pelajaran. Utak-atik nilai, yang jelas curang, bermunculan. Lagi-lagi sebab akibat.

Cara lain, demi memperbesar kemungkinan ketepatan skenario RPP dengan keseharian, sekolah cenderung ‘memilih’ siswanya. Sekolah mengadakan tes-tes awal saat penerimaan murid maupun menetapkan standar-standar tinggi. Wajah sekolah berubah, bukan wadah belajar semua anak Indonesia berburu pengetahuan, melainkan lembaga resmi negara yang menuntut kelas-kelas, cerdas-tidak cerdas, pandai-tidak pandai, mampu-tidak mampu, kaya-tidak kaya, dan sebagainya, dan seterusnya. Fungsi sekolah bergeser, dari lembaga sosial harusnya, memuaskan dahaga seluruh anak bangsa akan ilmu pengetahuan, menjadi badan-badan eksklusif menyaratkan kesempurnaan.

Ketika sekolah dipaksa ‘memperjuangkan kelasnya’ bedasar hal-hal fisik, angka kelulusan salah satunya, maka sekolah menjadi selektif saat proses penerimaan. Jangankan membentuk generasi saling peduli, membantu anak-anak memahami keluhuran, bahwa kelebihan dan kekurangan tiap manusia digariskan Tuhan agar manusia saling membantu dan melengkapi saja, rasanya tidak. Generasi seperti apa yang akan lahir? Mereka akan mencintai proses atau mengagungkan hasil akhir?

Karena RPP lebih mirip target kelewat padat sesuai silabus pusat, guru sebagai pelaksana atau ujung tombak sistem pendidikan seperti di pinggir jurang. Jika ia seorang bermoral penuh kemuliaan, maka menghadapi siswa-siswinya yang keteteran memahami pelajaran, akan ia selenggarakan jam-jam tambahan. Babak belur sendirian sang guru mencoba mencari keseimbangan antara alur di atas kertas dengan kenyataan di hadapan. Mau-tidak mau ia harus berkorban waktu, tenaga, dan biaya jika keterpanggilan jiwanya menjalankan tanggung jawab membuat anak didik paham dan menguasai pengetahuan.

Kita tahu Indonesia bukan kumpulan metropolitan saja, dengan banyak sekolah yang mudah dijangkau. Ada kota-kota kecil juga daerah terpencil, yang sekedar punya satu mungkin dua sekolah dalam satu wilayah seluas kota. Jumlah ini jauh lebih banyak. Di kondisi serba jauh begitu, jelas perlu upaya tidak sedikit menyelenggarakan jam-jam tambahan.

Apa adil kita memaksa hasil seragam dari kondisi berbeda sekaligus menjadikannya tolak ukur sekolah bagus-tidak bagus, akreditasi A-akreditasi B, standar nasional-standar tidak nasional? Sudah tepatkah kita menentukan ukuran, atau sudah benarkah kita menstrata sekolah-sekolah? Tatanan ini menghasilkan ‘kemajuan’ atau sekedar mencetak penerus bangsa yang akan terus-terusan menyoal material?  

Guru rentan memilih ‘jalan cepat’ saking beratnya sistem hidup yang melingkupi, akibat tatanan bertumpu standar-standar badaniah. Smokel nilai yang bermunculan, meski itu manipulasi, menurut saya adalah pelanggaran yang manusiawi. Bukankah itu sekedar memenuhi ‘order’ angka kelulusan banyak agar memperoleh label sekolah berstrata tinggi? 

Menyedihkan, menurut saya, tapi kenyataan. Indonesia, akan kemana kita?

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler