x

Iklan

Aditya Wijaya

follow @trah_oglangan
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Payung Juwiring, Riwayatmu Kini

Ibarat lagu Bengawan Solo, riwayat kejayaan Juwiring sebagai sentra penghasil payung tradisional hampir tinggal kenangan. Seiring laju jaman, fungsi payung Juwiring sekarang bergeser menjadi hiasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbekal obrolan di angkringan, saya pun menginjakkan kaki di rumah Slamet Harjono di Dusun Gebungan, Desa Kwarasan, Kecamatan Juwiring, Klaten. Kata lawan obralan saya, Slamet Harjono merupakan salah satu perajin payung veteran di daerah itu. Begitu memasuki teras rumahnya, suguhan pemandangan sebuah ranjang terbuat dari bambu dengan tumpukan payung berwarna pink dan belasan kaleng cat berwarna-warni terlihat berserakan. Menonjol dibanding deretan rumah lainnya karena lebih mirip kapal pecah dibandingkan bengkel seni.

Sejurus kemudian, sesosok pria lanjut usia dengan mengenakan sarung dan berkemeja batik lengan panjang serta bertopi peci hitam, muncul dari balik pintu dengan sandal jepit bututnya. Sorot matanya nampak berat, seperti kurang tidur, tapi masih menyisakan kobaran api semangat.

"Sayang sekali, sekitar sepuluh menit yang lalu istri saya baru saja mengantar pesanan payung ke Yudonegaran, Jogja. Yang tersisa hanya payung polos untuk kiriman berikutnya," ujar Slamet Harjono, saat mengetahui maksud kedatangan saya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Harjono begitu ia disapa yang tidak mengetahui pasti angka tahun kelahirannya, merupakan generasi ketiga yang tinggal di kampung penghasil payung. Bersama istrinya, Surip, menu sehari-hari Harjono terdiri dari sulaman benang yang beradu dengan rangka bambu dan sabetan kuas yang melukis selembar kain atau kertas. Ia tidak memiliki memori soal sejarah kampungnya yang tersohor dengan ikon payung itu. Dibenaknya, pertama kali belajar membuat payung sekitar tahun 1960-an, usai tamat SD.

"Sebelum Indonesia Merdeka, kakek saya sudah bikin payung yang diteruskan ke bapak dan kemudian sampai saya. Kalau sejarah payung di Juwiring, saya tidak tahu persis. Tapi perajin payung disini yang sepuh tinggal saya, sedang perajin lainnya itu seangkatan anak saya," kata kakek bercucu satu ini.

Dari hasil karya tangannya, Harjono membuat payung tradisional dengan bahan dari kain dan kertas. Pembuatannya pun hanya berdasarkan pesanan, bukan untuk dijual memenuhi kebutuhan pasar. Pasalnya seiring laju jaman, fungsi payung buatannya bukan sebagai pelindung panas dan hujan, melainkan untuk hiasan. Tak jarang, serupa dengan belasan perajin payung yang tersisa di Juwiring, payung-payung itu digunakan untuk upacara adat, seperti Payung Kraton, Payung Temanten, Payung Taru, Payung Pantai, Payung Kebun, hingga payung pemakaman.

Harjono mengisahkan, sekitar tahun 1970-an, setiap kali Keraton Surakarta menggelar upacara Suronan serta Muludan, selalu memesan payung dari Juwiring. Sedangkan untuk keraton Jogjakarta biasanya digunakan para abdi dalem untuk labuhan di Laut Kidul. Selain itu, payung hasil karya para perajin Juwiring ini juga pernah dipesan Pemerintah untuk dikirim ke negara Jepang, Suriname dan Kamboja. Sehingga payung hias asal Juwiring terdengar hingga seantoro Nusantara, berdampingan dengan payung asal Tasikmalaya, Jawa Barat.

"Kalau saya sih paling banter ke Jakarta. Orang jakarta itu pesan ke saya gara-gara pesanan payungnya di Tasikmalaya kurang cepat selesai. Lewat karyawanya yang datang ke rumah dan memberikan panjer (Down Payment/DP), dia pesan payung 150 hingga 200 biji untuk dijual ulang ke Bali hingga bertahan bertahun-tahun. Pernah juga datang dari Batam. Dari jumlah pesanan sembilan payung hias, tiga diantaranya dihargai satu juta rupiah. Jenisnya payung bertingkat dengan diameter sekitar 1,5 meter," ujarnya.

Namun kenangan manis dengan pemesan asal Jakarta itu berhenti di tengah jalan saat krisis moneter melanda bangsa ini menjelang lengsernya Presiden Soeharto. "Beberapa tahun kemudian setelah turunnya pak Harto, orang Jakarta itu kembali menghubungi. Dia kembali memesan ratusan payung. Tapi karena pembuat rangka bambu payung langganan saya memilih beralih menjadi pembuat sangkar burung, walhasil saya tidak menyanggupi pesanan tersebut. Bersyukurnya, meski saya tidak pernah bertemu, dia pesan payung hingga bertahun-tahun lamanya. Padahal kalau orang Jakarta itu berbohong, bisa saja setelah payung saya paketkan dia kabur dan tidak membayar sisanya," ujar Harjono.

 

Disinggung proses pembuatan, Harjono menjelaskan, payung berbahan kertas maupun kain itu menggunakan bambu sebagai rangkanya. Adapun rangka bambu atau lidi itu sendiri dibuat oleh orang lain. Setelah rangka jadi, ia membungkusnya dengan kertas atau kain. Kemudian menyulam dan mengikatnya agar kuat. Berikutnya, kertas itu Harjono lukis dengan cat. Selesai dilukis dengan corak bunga, baru kemudian di jemur di bawah panas matahari di teras rumahnya.

"Untuk coraknya tergantung si pemesan. Biasanya si pemesan memberikan desain, lalu saya tinggal lihat gambarnya dan menyesuaikan motif bunganya. Tapi ada juga yang pesan polosan. Sedangkan lama pembuatannya juga tergantung. Kalau rangkanya sudah ada, pesanan 50 biji payung berukuran kecil pun dalam waktu 10 hari bisa selesai," jelasnya membeberkan proses pembuatan payung hias.

Untuk harga, imbuh Harjono, baik payung berukuran kecil hingga besar berkisar antara Rp 35 ribu hingga Rp 150 ribu per bijinya, bergantung bahan dari kertas atau kain. Sebab, ketika melukis bagian atas penutup payung yang terbuat dari kertas semen membutuhkan waktu agak lama. Setelah diberi lem dan disulam, penutup kertas dicat warna dasar berdasar permintaan, baru dilukis dengan corak bunga.

"Dulu waktu masih bugar, kami berdua yang memasarkannya. Sekarang kalau jarak pesanannya dekat, ya istri saya sendirian yang mengantar. Ini saja masih antri dan mengerjakan payung-payung pesanan dari Sriwedari, Solo, lalu toko langganan di Kampung Yudanegaran Jogja, dan pemesan dari Parakan, Temanggung. Biasanya sih untuk digunakan sebagai hiasan atau properti anak-anak kecil yang berlatih menari," imbuh dia yang mengaku setahun belakangan ini mengidap sesak nafas.

Menurut pria yang mengenyam pendidikan terakhir dibangku SD ini menuturkan, ada tiga syarat sehingga dia mampu setia dan awet sebagai perajin payung tradisional. "Selain berdoa kepada Sang Maha Pencipta, kita juga harus tepat waktu, tepat jumlah, dan kualitas alias tepat dalam membuat payung yang kuat tahan lama. Jangan hanya ngejar setoran dan hewes-hewes cepat jadi, tapi kualitasnya jelek," urainya.

Kendati demikian, sambung dia, Harjono tidak ingin putri semata wayangnya yang kini telah berumah tangga untuk melanjutkan usahanya. Pasalnya, pahit getirnya menjadi perajin payung sudah Harjono rasakan. "Disisi lain, banyak orang yang sebelumnya membuat rangka bambu payung kini memilih banting setir menjadi perajin sangkar burung," sambung Harjono.

Ikuti tulisan menarik Aditya Wijaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler