x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Malam-malam yang Menyuburkan Jazz

Suasana malam andil menyuburkan pertumbuhan jazz. Di kelab jazz, musisi tumbuh dewasa; tempat kesalahan dimaklumi, keberhasilan dirayakan. Di sini musisi nongkrong, mendengarkan rekannya bermain, atau ber-jam session.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Jazz is about being in the moment."

--Herbie Hancock (Musisi, 1940-...)
 
 

 

Di tahun 1960an, Slug Saloon yang terletak di East 3rd Street, pinggiran Manhattan (Lower East Side), adalah bar yang jauh dari kehidupan malam kota New York. Lingkungan kumuh menjadikannya terlampau berbahaya. Untuk mengusir pedagang obat bius, pemilik kelab ini mengundang Sun Ra’s Arkestra, yang menjerit di kegelapan yang nyaris total. Tak lama, penyair pun berdatangan, lalu pelukis, disusul selebritas (Salvador Dali muncul di suatu malam, dikelilingi para pembantunya yang membawa lilin).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di kelab ini pengunjung bisa menyaksikan Sonny Rollins memasuki bar dan tampil pada suatu malam, lalu pulang berjalan kaki, sambil tetap bermain; atau mendengar Ornette Coleman memainkan saksofon plastik; atau, di malam yang naas, menyaksikan istri pemain trompet Lee Morgan menembak musisi ini di panggung.

Suasana malam seperti di Slug Saloon andil menyuburkan pertumbuhan jazz. Namun, kelab bukan sekedar tempat musisi unjuk aksi. John Szwed, dalam Jazz 101, meletakkan cerita dan legenda di seputar kelab jazz sebagai momen-momen yang membentuk musik ini. Di kelab jazz, musisi tumbuh dewasa; tempat kesalahan dimaklumi, keberhasilan dirayakan. Di sini musisi nongkrong, mendengarkan rekannya bermain, atau ber-jam session.

Bagian terbesar sajian Szwed membentang sejak Louis Armstrong hingga 1960-an—serta sedikit porsi untuk jazz era 80-90an dan “jazz Eropa.” Ketika itu arus utama jazz masih mengalir baik, hingga di medio 60-an rock and roll memperkuat cengkeramannya. Banyak kelab jazz gulung tikar atau beralih ke rock, lalu jadi diskotek… Di masa jayanya, menurut Szwed, jazz merambah ke luar lewat beragam representasi—rekaman, film, sastra, iklan, pakaian, pidato, makanan dan minuman.

Tapi, apakah musik jazz itu sehingga pengaruhnya begitu luas? Saat ditanya “apa itu jazz,” Louis Armstrong menjawab, “Kalau kamu bertanya, kamu tidak akan pernah tahu.” Jazz bisa dikenali, meski tak mesti dijelaskan dengan kata-kata. Jazz menolak definisi. Buku ini pun menghindari definisi, tapi memaparkan unsur-unsur pembentuk jazz.

Sebelum bertutur perihal sejarah jazz, Szwed mengurai bentuk, sumber, aransemen, komposisi, dan improvisasi. Juga, bagaimana ’cara’ mendengarkan jazz. Ini sekedar pembuka untuk kemudian kita diajak menyusuri kisah kehebatan musisi jazz yang sanggup menciptakan momen luar biasa intens hingga penonton tergerak, melompat dari tempat duduk, atau berteriak spontan.

Tentu saja, diskusi ihwal improvisasi beroleh penekanan. Sudah lama improvisasi dianggap ciri khas jazz, walau banyak musik lain berimprovisasi dalam derajat tertentu. Ada benarnya pendapat Szwed: musisi jazz berlaku seolah jazz-lah satu-satunya jenis musik yang menitikberatkan kreativitas instan dalam permainannya. Musisi jazz berbicara melampaui apa yang dikomposisikan, melebihi interpretasi ala kadarnya, menuju tingkat kreativitas yang lebih inspiratif dan spontan. Mereka sanggup mencapai kondisi trans, berada di garis batas kesadaran dan ketaksadaran.

Menarik, Szwed tidak berusaha menyembunyikan aroma favoritismenya. Sewaktu mengulas “Fooling’Myself” Quintessential Billie Holiday, Vol. 4, Szwed menulis: “Saat mencapai bridge, dengan amat luar biasa ia bernyanyi begitu jauh di belakang beat sehingga seolah-olah lagu itu akan tercerai-berai. Dia memiliki kepekaan ketukan serupa dengan apa yang Mozart dan Chopin sebut sebagai tempo rubato, yaitu kemampuan untuk berkeliaran jauh dari iringan yang ketat namun akhirnya dapat kembali ke ketukan yang tepat.”

Kapasitasnya sebagai guru besar antropologi-musik memungkinkan buku ini tersaji begitu renyah. Ada antusiasme personal, dan ini yang justru membuat kita setia mengarungi karya Szwed hingga selesai. Sayangnya, Szwed menempatkan nyanyian jazz sekedar lampiran, walau ia menulis ‘tak ada alasan untuk tidak menganggap vokal bagian penting dari jazz.’ Mungkin ia tak bisa sepenuhnya menghindar dari pendapat ‘pasar’ bahwa kontribusi terpenting dalam jazz diberikan oleh instrumentalis dan jazz, pada intinya, adalah musik instrumental. Padahal, tak bisa ditampik, Louis Armstrong, Nat ‘King’ Cole, Sarah Vaughan, Ella Fitzgerald memberi kontribusi yang hebat.

Tapi, sesudah semua itu, apa? Masihkah jazz menarik, adakah yang baru? Jawabannya mungkin seperti yang dikatakan Max Harrison, jazz tak bisa mengulang masa lalu sekaligus tidak keluar dari masa lalu. Jazz selalu bertambah dan berubah dari yang telah ada. Pendeknya, akan selalu enak untuk dinikmati. (sbr foto: knowla.org) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB