x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Galileo, Darwin, dan Tumbangnya Pikiran Lama

Seandainya mesti memilih, manakah yang layak memperoleh penghormatan lebih besar: Galileo Bonaiuti de’Galilei atau Charles Robert Darwin? Para ilmuwan pernah berselisih mengenai hal ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seandainya mesti memilih, manakah yang layak memperoleh penghormatan lebih besar: Galileo Bonaiuti de’Galilei atau Charles Robert Darwin? Para ilmuwan pernah berselisih mengenai hal ini.

Mengapa?

Lebih dari 400 tahun yang silam, Galileo memakai teleskop sederhana untuk meneropong jagad angkasa luar yang amat luas. Memang bukan dia penemu teleskop, melainkan Hans Lippershey, orang Belanda. Tapi Galileo-lah yang pertama menyadari betapa revolusioner alat sederhana ini untuk meruntuhkan pikiran manusia zaman itu. Dengan teleskop buatan sendiri, ia berhasil melihat “dari dekat” Planet Yupiter dan menemukan keempat bulannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itulah bukti empiris penting untuk memperkuat dukungan Galileo atas ide heliosentris Nicolaus Copernicus. Bahwa matahari ada dalam posisi stasioner, dan planet-planet—termasuk Yupiter dan Bumi—mengelilinginya. Kekeraskepalaan Galileo untuk mengusung ide ini ditentang keras, kecuali oleh Johanes Kepler di Jerman. Ide yang lebih popular, dan dipegang teguh berabad-abad, meyakini bahwa Bumilah pusat alam semesta.

Harap makfum bila kemarahan meledak di mana-mana. Sebab, ini bukan perkara keilmuan belaka, melainkan telah mengguncang sendi-sendi keyakinan religius—sekurang-kurangnya seperti ditafsirkan otoritas keagamaan di Vatikan. Di usia tuanya, 68 tahun, dalam keadaan sakit-sakitan terserang hernia parah, vertigo, dan insomnia, Galileo dikenai tahanan rumah hingga ia mangkat. Buku-bukunya, termasuk yang terpenting Dialogue Concerning the Two Chief World Systems, dilarang beredar dan masuk dalam Index Librorum Prohibitorum.

Berabad kemudian, Vatikan merevisi sikapnya. Paus Johannes Paulus II, 1992, menyesalkan bagaimana di masa lalu Galileo diperlakukan, dan secara resmi mengakui bahwa Bumi tidak diam. Bila kini pengintaian Galileo ke jagad raya itu dirayakan oleh para astronom, bukanlah teleskop itu yang dimuliakan, melainkan penghancuran pikiran lama yang jumud—sebagaimana dilakukan Darwin.

Jejak pikiran Darwin diguratkan 150 tahun yang lampau, tatkala karya terpentingnya terbit, The Origin of Species by Means of Natural Selection. Karya ini, dibandingkan buku-buku lain yang ditulis Darwin, paling banyak dibaca, mungkin lantaran paling kontroversial. Bahkan pada masanya, buku ini kabarnya habis terjual pada hari pertama dipublikasikan, 24 November 1859.

Semua makhluk hidup ada, kata Darwin menyimpulkan, sebab alam telah memilih kita untuk ada, dan kita ada seperti kita apa adanya karena kita telah berkembang selama jutaan tahun—dan masih berkembang. Darwin menggambarkan evolusi kehidupan sebagai proses “seleksi alam,” frasa lain bagi survival of the fittest—istilah yang digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer. Ide ini hingga kini diadopsi untuk menjelaskan isu-isu sosial.

Sebagaimana ide heliosentris bukan buah pikir orisinal Galileo, begitupun dengan teori seleksi alam bukanlah gagasan orisinal Darwin. Sebelum Darwin, Jean-Baptiste Lamarck telah memaparkan ide evolusi dalam Philosophie Zoologique (1809) dan Histoire Naturelle des Animaux sans Vertebres (1815). W.C. Wells, dalam karyanya, “Two Essays upon Dew and Single Vision,” secara jelas mengakui prinsip seleksi alam. Namun, Darwinlah yang paling artikulatif dengan pengamatan lapangan yang paling kaya, sebagaimana Galileo memperkuat pikiran Copernicus lewat pengamatan teropongnya.

Gagasan evolusi dan seleksi alam juga dilontarkan Alfred Russell Wallace, dan ketika mengetahui kemajuan penelitian Wallace di Indonesia, Darwin merasa cemas. Melalui penjelajahannya di kawasan Indonesia (Hindia Timur, waktu itu), Wallace menulis esai “On the Tendency on Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type”. Inilah karya yang memicu Darwin untuk bergegas menyelesaikan The Origin dan menerbitkannya agar kredit tentang teori itu tidak lari kepada Wallace.

The Origin memuat gagasan yang digambarkan oleh palaeontologis Stephen Jay Gould, walau ia sendiri tak sepakat dengan teori evolusi, sebagai “revolusi ideologis terbesar dalam sejarah sains” atau dalam kata-kata biolog Richard Dawkins “gagasan paling penting yang pernah muncul dalam benak manusia.” Mungkin Dawkins terkesan berlebihan, tapi sukar dipungkiri bahwa ide Darwin masih dibicarakan, diperselisihkan, sekaligus diwarisi pendukung-pendukungnya yang terus tumbuh hingga kini—seperti Dawkins sendiri, E.O. Wilson dalam sosiobiologi, dan Steven Pinker dalam psikologi. Namun, juga ditentang.

Baik Galileo maupun Darwin tak hanya mengotak-atik berbagai kemungkinan ilmiah di atas kertas. Galileo meneropong langit dan Darwin mendatangi rimba. Mereka juga berbicara kepada publik awam dalam bahasa yang lebih mudah dipahami

Jalinan “cerita” The Origin of Species kerap dibandingkan dengan karya George Eliot atau Charles Dickens. Kaya dengan bumbu-bumbu metafor. Elok. Bahasa Darwin mengundang pembaca untuk ikut-merasakan pengalaman yang ia petik, seolah ikut berlayar dalam H.M.S. Beagle-nya ke Kepulauan Galapagos di Amerika Latin. Sosok Darwin adalah semacam perpaduan antara “scientific observer” dan “literary artist.”

Galileo, alih-alih memakai bahasa Latin, lebih kerap menulis dalam bahasa Italia. “Saya menulis dalam bahasa percakapan karena saya mesti membuat semua orang dapat membacanya,” kata Galileo. Orang-orang yang ia maksudkan tak lain tukang perahu di Gudang Peluru Venesia, peniup gelas di Murano, pengasah lensa, tukang pembuat alat, dan semua orang yang dengan penuh rasa ingin tahu menghadiri kuliah-kuliah umumnya.

Kedua raksasa ini juga mewariskan keberanian untuk tegak berdiri di tengah arus penentangan. Kendati orang lebih mudah menerima pikiran Galileo ketimbang gagasan Darwin, tapi Galileo menghadapi badai yang lebih kencang di masanya. Namun, ia tak kurang bersiteguh, seperti ia tuangkan dalam suratnya kepada Grand Duchess Christina:

“Pencekalan atas Copernicus, yang kini ajarannya dikukuhkan setiap hari oleh begitu banyak penelitian baru dan penelaahan kembali bukunya, setelah diizinkan dan ditenggang sekian lama, bagi saya berarti sebuah penyangkalan kebenaran. Usaha untuk menyembunyikannya hanya akan membuatnya tersingkap makin jelas dan terang. Jangankan menyensor atau menghilangkan seluruh isi bukunya, sekadar mengutuk sebagian darinya sebagai kesalahan adalah sebuah pelecehan atas otak manusia, karena ia mengandung bukti-bukti yang sukar disangkal…” **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler