x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kota sebagai Potret Diri

Kota yang kehilangan pohon adalah cerminan kita yang kurang peduli pada paru-paru sendiri dan membiarkannya terisi dengan polutan, pada hilangnya air tanah, pada rapuhnya tanah dan membiarkan dinding rumah kita retak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"This City is what it is because our citizens are what they are."
--Plato (Filsuf Yunani, 427-347 SM)

  

Di sebuah kota, di mana dan bagaimana kita meletakkan pasar, menempatkan pertokoan, menaruh sekolah-sekolah, menyusun perkantoran, menebarkan permukiman, menyemaikan taman-taman, membentangkan jalan-jalan adalah cara kita mengatur diri sekaligus cerminan sikap kita para penghuninya.

Bagaimana kita menata arus lalu lintas, menyediakan tempat parkir, melapangkan atau menyempitkan trotoar bagi pejalan kaki, mengatur saluran air dan kali-kali dalam kota, mengolah sampah atau membiarkannya teronggok, menyalurkan air bersih ke dapur kita adalah wujud cara kita memperlakukan diri sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kotanya terlampau sibuk,” begitu kata seorang turis Belanda yang saya jumpai di kereta ekonomi jurusan Surabaya beberapa waktu lalu tatkala saya tanyakan padanya perihal kesannya tentang Bandung. Ia, bersama dua saudarinya yang tengah menapaki usia senja, baru saja meninggalkan Bandung dan mengunjungi rumah yang pernah jadi tempat tinggal orang tua mereka.

Barangkali ia ingin mengatakan bahwa ‘kota yang terlampau sibuk’ sebagai kota yang padat dan kurang teratur lalu lintasnya, kota yang pengendaranya bergegas seakan ingin tiba selekas-lekasnya ke tempat tujuan, kota yang menyulitkan pejalan kaki untuk menyeberang.

Ketika kita membolehkan developer menegakkan apartemen berpuluh lantai, kita tengah terbawa oleh ‘gaya hidup’ sekaligus mengakui kian sempitnya lahan bagi hunian yang manusiawai—horisontal, ruang lapang nan hijau, tumbuhan yang menyegarkan, tempat anak-anak bermain.

Tapi, dengan menegakkan apartemen yang menjulang sesungguhnya kita juga tengah membenamkan diri ke dalam persoalan baru: air yang terkuras secara terkonsentrasi, polusi yang meningkat lantaran berjibunnya mobil para penghuninya, munculnya soal-soal sosial baru seiring adaptasi hidup berapartemen yang tak mudah.

Jalan-jalan di kota yang tak bertambah panjang maupun lebar tak mampu lagi menampung mobil dan motor yang tumbuh jauh lebih cepat. Semakin nyaring dan bersahutan bunyi klakson di pagi dan petang hari ketika orang berangkat dan pulang kerja: “Jangan bengong saja! Ayo jalan! Minggirlah! Beri saya jalan!”

Kemacetan adalah bukti ketidaksabaran kita dalam mengantri di tengah kepadatan lalu lintas. Kita memacu motor dan mobil seperti orang-orang yang cemas bakal kehilangan satu detik, sebegitukah—sementara kita membiarkan ratusan menit hilang untuk bergosip, mematut-matut diri, dsb?

Kota yang kehilangan pohon adalah cerminan kita yang kurang peduli pada paru-paru sendiri dan membiarkannya terisi dengan polutan, pada hilangnya air tanah dan mengundang banjir, pada rapuhnya tanah dan membiarkan dinding rumah kita retak.

Kota-kota kita, saat ini, adalah potret diri kita yang kisruh menghadapi perubahan zaman, bukan cerminan luasnya visi dan mimpi kita para penghuninya. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu