x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Night at the Museum (Geologi Bandung) yang Seru

Ratusan pengunjung Museum Geologi menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap sains. Daya tarik museum akan bertambah bila kegiatan ceramah umum dapat diadakan di museum ini secara teratur, agar para geolog dapat berbagi pengetahuan kepada masyarakat awam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sabtu malam, 23 Mei, waktu belum lagi pukul 7, suasana di Museum Geologi Bandung begitu ramai. Pengunjung menanti pintu museum dibuka. Setelah usai direnovasi, ini merupakan kesempatan pertama untuk melihat wajah baru museum, siapa tahu ada koleksi-koleksi baru yang menawan. Saya menduga, banyak pengunjung punya pikiran serupa.

Apa lagi, pembukaannya malam hari—biasanya museum buka hanya siang hari, mengingatkan saya pada film Night at the Museum. Saya berangan bisa menikmati pengalaman Larry Daley, karakter yang dimainkan oleh Ben Stiller dalam film itu. Drama tercipta di dalam museum ketika koleksinya tiba-tiba hidup: dari Tyrannosaurus hingga boneka koboi dan Theodore Roosevelt (yang diperankan Robin Williams).

Tentu saja, itu tidak terjadi. Tapi baiklah, penjelajahan arena museum harus dimulai sebelum pengunjung makin bertambah. Di sayap kiri pintu masuk, kita disambut dengan penjelasan umum tentang proses dan fenomena geologi negeri kita, di antaranya lapisan bumi. Ada pula film yang tengah diputar dengan layar dinding museum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lebih ke dalam lagi, ruangan diisi dengan koleksi bebatuan aneka rupa, termasuk bongkahan batubara, nikel, aspal, hingga batu-batu kristal yang niscaya membikin ngiler para penggemar batu akik. Alangkah kaya negeri ini, tapi industri pertambangan telah menggerus bumi begitu dalam, menghabiskan jutaan batang pohon dan meninggalkan persoalan lingkungan yang tidak mudah ditangani.

Dibandingkan sebelum renovasi, penataan koleksi lebih menarik. Batu-batu yang sangat menawan ditata rapi disertai keterangan ringkas. Sejumlah layar video juga dipasang, banyak hal menarik yang disajikan seperti proses penggalian tanah untuk mendapatkan contoh-contoh batu. Sebuah layar yang diletakkan terbaring mengundang sejumlah anak muda untuk berkerumun. Mereka memainkan tombol-tombol layar sentuh untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka.

Meskipun ada peta yang menggambarkan penyebaran fauna dengan garis-garis (imajiner) Wallace dan Weber, sayangnya koleksi paleontologinya masih kurang. Koleksi yang tersedia masih yang lama dan terletak di sayap kanan dari pintu masuk. Di sayap ini sepertinya tidak ada sentuhan baru, seperti tayangan video maupun video interaktif.

Di lantai dua museum, kita dapat menengok pemanfaatan kekayaan geologi kita, seperti video pengeboran minyak laut dalam, gas alam, hingga terjadinya banjir. Ada pula penjelasan tentang terjadinya tsunami, tapi sayang tidak disertai pemutaran video yang niscaya dapat menimbulkan impresi lebih hebat.

Sejumlah barang, seperti sepeda motor yang sudah ringsek, televisi yang bagian plastiknya sudah meleleh, dan termos air panas relatif cukup utuh, memperlihatkan dampak dahsyat yang ditimbulkan terjangan ‘wedus gembel’ Gunung Merapi. Banyak pengunjung mengantri untuk merasakan guncangan gempa dengan berdiri di atas simulator.

Ratusan pengunjung malam itu menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap sains—saya rasa begitu, bukan karena tiket masuk lagi digratiskan. Sayangnya, tak cukup tersedia pendamping dari museum yang menjelaskan lebih lanjut bagi pengunjung yang penuh rasa ingin tahu. Juga tidak tersedia setidaknya booklet yang dapat menemani pengunjung mengelilingi dua lantai ini.

Saya sendiri berharap kegiatan ceramah umum (public lecture) dapat diadakan di museum ini secara teratur, misalnya dua minggu sekali. Dalam kesempatan seperti ini, para geolog dan palaentolog dapat berbagi pengetahuan mereka yang kaya mengenai kekayaan geologis negeri ini kepada masyarakat awam. Bukan hanya di saat terjadi letusan gunung berapi atau gempa bumi. Pengayaan koleksi yang disertai pengayaan program niscaya dapat semakin menjadikan Museum Geologi sebagai tujuan wisata pengetahuan masyarakat.

Betapapun, pengalaman malam hari mengunjungi Museum Geologi Bandung ini cukup menyenangkan walaupun tak seheboh pengalaman Larry Daley dalam film Night at the Museum. Keluar dari gedung museum, di halaman sudah menunggu pedagang yang bajigurnya siap menghangatkan tubuh di saat malam mulai terasa dingin. (foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler