x

Iklan

Ipul Gassing

Pemilik blog daenggassing.com yang senang menulis apa saja. Penikmat pantai yang hobi memotret dan rajin menggambar
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bertemu Para Penjaga Hutan Kalimantan

Saya sempat menghabiskan waktu 3 hari 2 malam di sebuah desa yang dihuni orang Dayak Punan, orang yang terkenal sebagai penjaga hutan Kalimantan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Desa itu terasa sangat sederhana. Sebuah jalan setapak yang dibeton membelah desa, menghubungkan ujung satu dengan ujung lainnya. Rumah-rumah kayu berjejer di sebelah kanan dan kiri jalan tersebut. Tidak ada listrik PLN di sini, warga menikmati listrik dari genset desa yang mereka punya. Sinyal selulerpun tidak mampu mencapai desa ini.

Di gerbang desa sebuah gereja Katolik berdiri tegak dengan dominasi warna hijau. Desa ini seperti dikelilingi hutan dengan sungai kecokelatan yang memisahkan salah satu sisi desa dengan hutan itu.

Desa itu bernama Punan Adiu, terletak di Kecamatan Malinau Selatan Hilir atau kerap disingkat Masehi, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Tidak mudah mencapai desa ini, dari kota Malinau kita berkendara ke arah barat laut melalui jalanan yang tak rata. Tidak ada aspal mulus, yang ada hanya jalan tanah yang ditutupi pasir dan batu seadanya. Di musim hujan jalanan sangat licin sementara di musim kemarau jalanan berdebu tebal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jalanan itu sebenarnya jalan milik perusahaan kelapa sawit dan tambang batu bara yang memang banyak beroperasi di Kalimantan. Oleh warga jalan itu disambut sebagai jalan yang menghubungkan desa-desa di pedalaman.

Desa Punan Adiu dihuni mayoritas suku Dayak Punan. Mereka terkenal sebagai suku asli penghuni Kalimantan yang paling terakhir bersentuhan dengan dunia modern. Suku Punan terkenal sebagai suku yang dulunya hidup di hutan, mengumpulkan hasi hutan yang bisa dimakan, berburu hewan liar dan hidup berpindah-pindah.

Orang Punan Adiu punya punya hutan adat seluas 17.000 Ha, tergolong besar untuk desa yang hanya dihuni oleh 27 kepala keluarga. Hutan adat itu mereka jaga sepenuh hati, karena bagi mereka hutan adalah ibu yang memberi mereka kehidupan. Orang Punan tidak pernah mengambil hasil hutan secara membabi-buta, mereka hanya mengambil seperlunya dan membiarkan selebihnya tetap terjaga.

Karena sikap mereka itulah sampai kemudian timbul pergesekan. Hutan adat seluas 17.000 Ha tentu sangat menarik perhatian para investor, dan itulah yang terjadi. Investor kelapa sawit dan batu bara sudah lama berusaha untuk mengusik hutan milik orang Punan Adiu, mereka bahkan mencobanya melalui tangan pemerintah. Hebatnya, orang Punan Adiu bergeming, mereka tak hendak menyerahkan sejengkalpun hutan  mereka untuk para investor rakus itu meski berarti mereka harus menolak gelimang rupiah yang ditawarkan.

Selama 3 hari 2 malam saya menghabiskan waktu bersama orang-orang Punan Adiu. Dari waktu yang singkat itu saya bisa merasakan betapa sederhanya hidup mereka. Meski perlahan mereka mulai menyesap hidup modern, mereka tetap bertahan mencintai hutan seperti yang diajarkan leluhur mereka.

Orang Punan digelari sebagai penjaga terakhir hutan Kalimantan. Mereka bertahan di tengah terpaan modernisasi dan rayuan investor demi menjaga hutan-hutan adat mereka. Meski untuk itu mereka rela hidup apa adanya dan bahkan kadang dianggap bodoh dan terbelakang.  

Suatu hari nanti kita mungkin akan berterima kasih pada mereka, para penjaga terakhir hutan Kalimantan. Penjaga paru-paru bumi. 

Ikuti tulisan menarik Ipul Gassing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler