x

Iklan

Iswadi Suhari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perbaikan Statistik Beras

Data perberasan di Indonesia memang masih menyimpan ruang yang perlu segera diperbaiki dan ditata ulang. Apa saja yang perlu diperbaiki, baca artikel ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso meragukan validitas data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait stok dan produksi komoditas pangan, khususnya  beras. Pendapat Andreas diungkapkannya lantaran data BPS yang dirilis selalu menunjukkan kondisi beras surplus, namun justru berbanding terbalik dengan harga beras di pasaran yang terus melonjak”. Demikian dilansir republika.co.id, 26 Mei 2015.

Data perberasan di Indonesia memang masih menyimpan ruang yang perlu segera diperbaiki dan ditata ulang. Seperti diketahui data yang dirilis BPS berupa produksi padi dalam kualitas Gabah Kering Giling (GKG) diramal dengan menggunakan dua variabel utama yaitu luas panen dan produktivitas atau yield per hektar. Data produktivitas walau mungkin belum begitu sempurna tetapi setidaknya telah dikumpulkan dengan menggunakan kaidah ilmu statistik yang benar. Hal ini telah diakui oleh berbagai ahli baik dari dalam negeri maupun dari lembaga internasional. Namun, data luas panen masih merupakan akar karut marutnya data produksi pangan di Indonesia.  

Data luas panen dikumpulkan oleh staf dinas pertanian kabupaten/kota atau dinas lain yang menangani tanaman pangan – Kepala Cabang Dinas (KCD) -- tanpa penggunaan kaidah sampling yang sesuai dengan teori disiplin ilmu statistik. KCD notabene merupakan kepanjangan tangan dari dinas pertanian kabupaten/kota yang diangkat oleh bupati atau walikota yang berkepentingan dalam penilaian akuntabilitas kinerja mereka. Setidaknya, demikianlah yang banyak diketahui oleh masyarakat. Jadilah ketidakindependenan data menjadi salah satu isu lain terkait data luas panen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kelemahan tersebut sebenarnya bukan tidak disadari oleh BPS -- lembaga yang ditugasi merilis data produksi padi setahun tiga kali sebagai konsekwensi dari Instruksi Menteri Negara Ekonomi, Keuangan dan Industri NO.IN/05/MENKUIN/I/1973 TGL 23 JANUARI 1973 kepada Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, dan Kepala BPS yang mendaulat BPS sebagai koordinator perhitungan produksi pertanian nasional walaupun sebenarnya menurut Undang-Undang no.16 tahun 1997 tentang statistik, data tersebut termasuk statistik sektoral yang merupakan tanggung jawab kementerian atau lembaga teknis yang menangani pertanian.

Berbagai usaha pembenahan data produksi tanaman pangan khususnya padi, sebenarnya telah dan sedang dilakukan oleh BPS. Dalam hal pengumpulan data luas panen, BPS tengah melakukan uji coba penerapan metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang merupakan hasil penelitian BPPT. Uji coba diimplementasikan mulai tahun 2015 dengan mengambil lokasi di Kabupaten Garut dan Indramayu, Jawa Barat. KSA diharapkan dapat menggantikan metode eye estimate yang selama ini dianggap tidak ilmiah. Usaha lain yang tengah digarap BPS adalah Survei Luas Panen dan Luas Lahan Tanaman Pangan 2015. Survei ini juga diharapkan dapat memberikan jawaban apakah metode wawancara dapat dijadikan alternatif dalam mengumpulkan data luas panen.

Data produktivitas separuhnya dikumpulkan oleh staf dinas pertanian kabupaten/kota. Sebagai tindakan pengawasan, BPS telah mengeluarkan surat edaran untuk melakukan pengumpulan data produktivitas melalui Survei Ubinan secara bersama antara staf BPS yang dikenal dengan Koordinator Statistik Kecamatan (KSK) dan KCD. Usaha ini dilakukan untuk menghapus kecurigaan dan keraguan data yang dikumpulkan oleh KCD atau sebaliknya. Usaha ini pun tak semudah membalikan telapak tangan. Sulitnya menyamakan waktu kerja KSK, KCD, dan waktu panen petani bukanlah hal yang mudah karena tugas mereka tidak hanya mengumpulkan data pertanian.

Usaha evaluasi data produksi padi/beras juga dilakukan dengan meng-update ukuran-ukuran konversi yang digunakan dalam perhitungan produksi padi dan beras. Untuk sampai pada angka produksi padi dalam kualitas GKG, setidaknya terdapat dua angka konversi yang sudah berumur tua bahkan sangat tua yaitu konversi galengan dan konversi GKP ke GKG. Konversi galengan digunakan untuk memperoleh luasan bersih dari data luasan -- seperti luas panen dan luas tanam -- untuk proses poduksi yang dilakukan di lahan sawah. Konversi galengan yang digunakan saat ini diestimasi pada level kabupaten dan merupakan data yang diperoleh dari Survei Pertanian yang pelaksanaannya diintegrasikan dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1969/1970. Besaran konversi ini disinyalir telah mengalami banyak perubahan. Untuk itu, Survei Luas Panen dan Luas Lahan Tanaman Pangan 2015 juga diharapkan dapat memberikan update untuk indikator penting ini.

Angka konversi GKP ke GKG yang digunakan saat ini sebesar 86,02 persen merupakan angka konversi hasil Survei Susut Panen dan Pasca Panen Padi tahun 2005, 2006, dan 2007. Angka tersebut dihitung dari penggabungan data hasil survei yang dilakukan tiga tahun berturut-turut dengan pelaku survei yang berbeda yaitu BPS dan Kementerian Pertanian. Tidak mutakhirnya angka konversi ini pun telah disadari oleh pemerintah. Karena itu, pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian menginstruksikan BPS untuk melakukan update angka konversi tersebut melalui Survei Konversi Gabah ke Beras tahun 2012. Survei ini menghasilkan angka konversi GKP ke GKG baru sebesar 83,12 persen.

Perhitungan produksi beras secara kasar sering dilakukan dengan mengalikan produksi GKG dengan angka 0,57. Sebenarnya angka tersebut digunakan untuk memeroleh gambaran produksi beras secara cepat. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh angka tersebut merupakan kumpulan angka konversi yang lagi-lagi sudah cukup tua. Angka konversi tersebut terbentuk dari angka penggunaan GKG untuk non pangan (pakan ternak/unggas, bibit/benih, bahan baku industri non makanan, dan susut) sebesar 7,30 persen, angka konversi GKG ke beras 62,74 persen, penggunaan beras untuk non pangan (pakan ternak, industri non makanan, dan susut) sebesar 3,33 persen. Angka-angka tersebut diambil dari neraca bahan makanan keluaran Badan Ketahanan Pangan yang juga perlu dievaluasi lebih dalam.

Perlu disadari, Indonesia adalah negara besar dengan wilayah yang luas dan heterogen. Selayaknya pengumpulan data melalui metode sampling dapat mewakili semua variasi yang ada termasuk kondisi pada daerah-daerah yang sulit dijangkau transportasi. Untuk memperoleh satu angka saja – produktivitas padi nasional misalnya -- dibutuhkan dana yang sangat besar karena harus melibatkan ribuan petugas. Walaupun tak boleh jadi alasan, kendala ini nyata adanya. Banyak metode pengumpulan data yang ditawarkan, akan tetapi pada akhirnya cost effective tetap menjadi pertimbangan. 

Sepakat dengan perlunya pembenahan data. Angka-angka konversi yang sudah “usang” harus segera dimutakhirkan. Pembenahan data harus dilakukan pada data produksi, konsumsi, penggunaan, dan data lahan. Hingga saat ini, gonjang-ganjing data lahan masih belum dapat diselesaikan. Pemekaran wilayah administratif yang sangat cepat membuat penentuan batas dan luas wilayah administratif menjadi pekerjaan yang sangat besar. Semua itu berpengaruh pada kualitas statistik beras. Semoga segera ditemukan titik terang.

Ikuti tulisan menarik Iswadi Suhari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler