x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ibn Khaldun di Era Facebook

Nama Ibn Khaldun mendadak kembali ramai dibicarakan setelah CEO Facebook Mark Zuckerberg menulis di laman Facebooknya bahwa ia tengah membaca Muqaddimah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nama Ibn Khaldun mendadak kembali ramai dibicarakan setelah CEO Facebook Mark Zuckerberg menulis di laman Facebooknya bahwa ia tengah membaca Muqaddimah, karya sejarawan abad ke 14 itu. “Buku ini tentang sejarah dunia yang ditulis seorang cendekian yang hidup pada tahun 1300an. Fokusnya pada perkembangan masyarakat dan budaya, termasuk pembentukan kota-kota, politik, perdagangan, dan ilmu pengetahuan,” tulis Zuckerberg.

Dari masa Ibn Khaldun hingga era Facebook sekarang terbentang jarak waktu sejauh hampir 7 abad. Bukan rentang waktu yang pendek, namun bagi Zuckerberg tetap menarik untuk membaca apa yang dipahami pada waktu itu dan bagaimana di masa sekarang. Lantaran kemajuan zaman, kata Zuckerberg, banyak yang dulu dianggap benar kini terbantahkan. Sayang, dalam konteks pemikiran Ibn Khaldun yang tertuang dalam Muqaddimah, Zuckerberg tidak memberi contoh ihwal pernyataannya ini.

Muqaddimah lahir bermula dari niat Ibn Khaldun untuk menulis tentang sejarah universal masyarakat Arab, tapi kemudian ia berpikir bahwa penting untuk membahas lebih dulu metoda sejarah. Ia bermaksud menyusun kriteria mengenai kebenaran sejarah. Upaya ini mendorong Ibn Khaldun untuk merumuskan apa yang digambarkan oleh sejarawan Inggris Arnold Toynbee sebagai “filsafat sejarah yang tidak diragukan lagi merupakan karya terbesar dari jenisnya, yang pernah dihasilkan oleh pikiran manapun pada masa atau tempat manapun..”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cendekia kelahiran Tunisia ini lalu memelajari sifat-sifat masyarakat dan perubahan sosial, yang kemudian membawanya kepada apa yang ia pandang sebagai ilmu pengetahuan baru, yang ia sebut ‘ilm al-‘umrãn atau sains tentang budaya. Ilmu pengetahuan ini menjadikan masyarakat manusia dan persoalannya sebagai subyeknya, termasuk transformasi sosial yang berlangsung dalam masyarakat. Gagasan inilah yang membuat banyak ilmuwan menyebut Ibn Khaldun sebagai peletak dasar sosiologi.

Jangkauan telaah Ibn Khaldun lebih luas dari itu. Setelah membicarakan sosiologi secara umum, Ibn Khaldun membahas sosiologi politik, kehidupan perkotaan, ekonomi, dan sosiologi pengetahuan. Melalui pendekatan kompleks, yang memadukan faktor-faktor psikologi, sosiologi, ekonomi, maupun politik, Ibn Khaldun menganalisis jatuh-bangunnya dinasti atau kerajaan: “mengapa dunia lama surut dan digantikan oleh dunia baru”.

Ibn Khaldun, dalam pandangan Ibrahim Oweiss, bukan hanya meletakkan dasar-dasar sosiologi dan sejarah, tapi juga ekonomi. Menurut pengajar di Georgetown University ini, Ibn Khaldun bukan hanya menanam benih-benih persemaian ekonomi klasik, termasuk di dalamnya produksi, pasokan, atau biaya, tapi ia juga menjadi pionir dalam isu konsumsi, permintaan, maupun utilitas, yang menjadi landasan teori ekonomi modern. Ia, dalam penilaian Oweiss, mendahului Adam Smith hampir empat abad.

Menarik bahwa Ibn Khaldun menyusun teori-teorinya berdasarkan observasi lapangan—ia pengamat yang cermat mencatat berbagai peristiwa sejarah, termasuk peristiwa Kematian Hitam yang merenggut keluarga ayahnya.

Di lapangan ekonomi, menurut Oweiss, Ibn Khaldun melakukan investigasi empiris untuk menganalisis dan menghasilkan pemikiran ekonomi yang orisinal. Ibn Khaldun meninggalkan kontribusi yang kaya dalam bidang ekonomi. Ia menganalisis hubungan antara teorinya mengenai akumulasi kapital dengan bangkit dan jatuhnya dinasti-dinasti. Ia menawarkan persepsi yang dinamis mengenai permintaan, pasokan, harga, dan profit. Ia juga berbicara ihwal pajak, uang, dan peran pemerintah. David Abramsky, dalam jurnal ekonomi dan filsafat The Trans Atlantic (2010), juga menunjukkan betapa majunya pemikiran ekonomi Ibn Khaldun.

Melihat kekayaan Muqaddimah, niscaya tetap menarik untuk membaca karya ini. Bukan hanya untuk mengetahui apa yang dipahami pada masa lampau, seperti dikatakan Zuckerberg, tetapi untuk memahami bahwa apa yang dipikirkan oleh Ibn Khaldun masih memiliki relevansi dengan era Facebook sekarang ini. Relevansi itu dikarenakan gagasan-gagasan Ibn Khaldun bukan retorika semata, melainkan didukung oleh pengamatannya terhadap fenomena historis dalam masyarakat manusia. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu