x

Iklan

Lilik Agus Purwanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keraguan Pada Calon Kepala BIN

Pencalonan Kepala Badan Intelijen Negara banyak menuai kecaman dan keraguan. Sutiyoso banyak menuai kontroversi baik secara kompetensi, pengalaman, dan masa lalunya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah sekian lama dalam penantian tentang siapa yang mengantikan Marciano sebagai kepala BIN (Badan Intelijen Negara), kemarin (10/6) Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan pencalonan Mantan Gubernur Sutiyoso sebagai kepala BIN.

Pengajuan nama Sutiyoso banyak menuai kontroversi baik secara kompetensi, pengalaman, dan masa lalunya. Kendati sutiyoso mengaku bahwa dunia intelijen adalah habitatnya, namun tidak sedikit pengamat dan kader partai seperti PDIP yang meragukan kemampuannya. Hal ini didasarkan karena usia Sutiyoso yang sudah uzur (71 tahun) juga pengalaman dalam hal intelijen yang dinilai telah usang dan ketinggalan Jaman, dan dihawatirkan akan membawa institusi intelijen menglami kemunduran.

Tantangan Intelijen

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam beberapa kesempatan, para pengamat intelijen berpendapat bahwa saat ini yang diperlukan dalam BIN adalah bagaimana melakukan reorganisasi dan remodernisasi bidang intelijen. Hal ini dikarenakan tantangan yang dihadapi oleh intelijen bukan hanya persoalan intelijen keamanan dalam artian fisik (konvensional), namun juga soal perang dalam dunia maya (cyber war).

Perang terbuka menggunakan persenjataan militer atau hard power (kekuatan keras) umumnya sudah tidak relevan lagi dalam kondisi dunia sekarang, serta sangat mahal secara ekonomi. Ini bukan berarti ancaman hard power bisa disepelekan. Ketegangan militer antara Cina dengan sejumlah negara, yang memiliki sengketa wilayah di Kepulauan Spratley, Laut Cina Selatan, masih sangat nyata. Konflik militer terbuka masih bisa pecah. Begitu juga kita lihat dalam kasus ISIS di Timur Tengah sekarang.

Namun, perang asimetris dengan pendekatan cyber war perlu mendapat perhatian lebih, karena aktor-aktor pemainnya bisa sangat banyak dan beragam, bukan cuma negara-negara yang memiliki kekuatan militer. Perang cyber bisa dilakukan lewat eksploitasi media massa, penjebolan situs internet lewat peretas individual, disinformasi, dan kampanye propaganda. Ia juga bisa memanfaatkan organisasi dan jejaring LSM (lembaga swadaya masyarakat) dalam negeri, yang kita tahu sebetulnya mayoritas didanai pihak asing. Hal inilah seharusnya yang menjadi fokus pembangunan intelijen saat ini.

Kasus penyadapan pembicaraan Presiden SBY oleh Australia pada saat yang lalu menjadi contoh nyata betapa rapuhnya system keamanan kita. Australia dan negara-negara lain dapat dengan mudahnya menyadap percakapan penting Kepala Negara, sudah barang tentu hal demikian sangat merugikan Negara. Bukan tidak mungkin bahwa data-data dan informasi intelijen yang ada dapat juga di retas oleh intelijen asing jika kondisi keamanan yang kita nilai tidak memadai tersebut.

Tugas penting sebagaimana disampaikan diatas, menjadi wajib hukumnya dimiliki oleh seorang calon kepala intelijen kedepan, karena harus mampu melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi kerja dalam hal perlindungan keamanan, dengan visi dan gagasan yang fresh dan cerdas.

Tantangan Ideologi Liberalisme dan Fundamentalisme

Pada era reformasi pasca runtuhnya orde baru, dan sejalan dengan kebebasan dalam demokrasi, kita dihadapkan dengan persoalan-persoalan baru yang teramat rumit. Bagaimana tidak, dalam era globalisasi ini derasnya pengaruh faham-faham liberalisme dan fundamentalisme secara bersama-sama berusaha merangsek masuk untuk merubah tatanan yang telah ada. Tentunya hal ini kita tidak bisa memandang secara sepele, manakala keberadaannya sendiri telah banyak menggerus bangsa ini dengan memaksakan faham-faham yang mereka anut dapat mempengaruhi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

Bagi kaum liberal, dalam memaknai kebabasan mereka cenderung berkeinginan untuk menuntut sebuah kebebasan sebagaimana ala Barat diterapkan. Dengan berkedok pluralisme, para penganut liberalisme ini berkeinginan menuntut kebebasan secara individualisme secara berlebihan. Dalam pemahaman mereka, dalam memaknai kebebasan bukan sebagaimana pluralitas yang selama ini kita pandang, namun mengarah kepada pluralisme dengan target kebebasan individual. pemikiran untuk menepis peran serta negara dalam melakukan kontrol atas nilai-nilai dalam kehidupan baik secara individu maupun dalam berbangsa dan bernegara menjadi angenda terpenting misi mereka.

Pada sisi lain ada kaum fundamentalisme yang juga tidak kalah. Dengan faham monolistik yang mereka bawa, adalah satu-satunya anggap sebagai suatu kebenaran. Indonesia yang sedari awal telah menyepakati Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa, yang diletakkan diatas semua ideologi dan keberagaman yang komplek tiba-tiba harus dipersalahkan oleh mereka dengan dalih bertentangan dengan syariat. Para kaum fundamentalis juga telah menjadikan Indonesia sebagai medan jihad baru untuk memerangi kapitalisme.

Tantangan yang sedemikian berat itu, dengan bekal pengalaman intelijen yang dimiliki oleh Sutiyoso yang kita tahu bahwa dia hanya berbekal pengalaman masa lalu dalam bidang intelijen militer, tentunya ini akan menjadi sebuah pertanyaan, apakah Sutiyoso mampu menyelesaikan dan menanggulangi hal yang sedemikian kompleks seperti disampaikan diatas?

Netralitas dan Persoalan Masa Lalu

Sebagai seorang petinggi sebuah lembaga seperti BIN, persoalan netralitas penting untuk diperhatikan. Undang-undang Intelijen Negara menyaratkan netralitas anggota intelijen. Yang dimaksud netralitas adalah sikap tidak memihak dan bebas dari pengaruh dan kepentingan pribadi maupun golongan (politik). Sutiyoso yang saat ini menjabat sebagai ketua umum PKPI akan sangat dipertanyakan sikap netralitasnya dalam hal kepemimpinannya di lembaga BIN. Yang dimaksud dalam hal kepentingan disini, dikawatirkan keberadaan seorang kader parpol dalam menduduki jabatannya akan memanfaatkan seluruh sumberdaya lembaga negara, dalam artian aset dan kebijakan-kebijakan dalam artian pengelolaan sumberdaya organisasi untuk kepentingan partainya.

Jika kita berbicara netralitas, jangankan kepala BIN seorang Presiden saja yang memang jelas-jelas adalah kepala Pemerintahan sekaligus kepala Negara yang dipilih langsung oleh rakyat, sangat susah untuk meletakkan kepentingan partai dibanding kepentingan negara. Apalagi ini adalah kepala BIN yang notabene jauh dari kontrol masyarakat.

Selain persoalan netralitas sebagaimana diatas, Sutiyoso ternyata masih menanggung dosa masa lalu, dimana posisinya saat itu sebagai seorang pangdam Jaya di indikasikan keterlibatannya dalam kasus kudatuli (kerusuhan 27 juli) yakni penyerbuan kekantor PDI (sekarang PDIP). Sejumlah kader PDIP menyayangkan penunjuk Sutiyoso sebagai kepala BIN oleh Jokowi, menginggat Jokowi sendiri adalah kader PDIP. Bahkan beberapa kader di Jawa Tengah meminta penjelasan kepada Ganjar Pranowo atas penunjukkan tersebut dan sekaligus meminta pihak Istana menjelaskan rasionalitas penunjukkan Sutiyoso yang sebenarnya telah melukai perasaan Kader PDIP. Jika kasus penculikan Witji Tukul aja Jokowi masih teringat mana mungkin dia melupakan kasus kudatuli yang kita semua tahu keadaan itu sangat melukai kader PDIP maupun Megawati.

 

(diolah dari berbagai sumber)

Sumber Foto: rmol.co

Ikuti tulisan menarik Lilik Agus Purwanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler