x

Iklan

Iswadi Suhari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lui Si Malas Mandi. Chapter 4: Pertarungan Dengan Maling

Dongeng anak penghibur keluarga

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Malam semakin larut. Langit tampak indah dihiasi terang bulan sabit dan kerlip bintang. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan dari kejauhan. Lui masih tertidur pulas.

Dalam tidurnya Lui bermimpi telah kembali ke rumah nenek Qodimah. Dia menangis dan meminta maaf pada sang nenek. Lui berjanji akan rajin mandi.

Tapi dalam mimpinya nenek Qodimah memalingkan wajahnya. Lui menangis meraung meminta maaf dan memanggil-manggil sang nenek.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun aneh, saat nenek Qodimah memalingkan muka ke arahnya, tampak oleh Lui mata nenek Qodimah bersinar mengerikan. Lui terperanjat ketakutan hingga terbangun.

Lui menggeleng-gelengkan kepalanya. Dikerdipkan pula matanya hingga kesadarannya kembali utuh. Sorotan mata yang seolah bersinar di kegelapan masih juga terlihat di depannya dengan jarak sekitar satu setengah meter.

Tubuh Lui bergidik. Tersadar, makhluk yang menatap sadis di depannya adalah seekor srigala yang tampak siap mencabik-cabik tubuhnya.

Srigala itu mulai bergerak lebih mendekatinya. Lui berusaha menjauh. Apadaya tali yang menjerat lehernya hanya memberikan sedikit ruang untuknya bergerak.

Hasrat hati Lui hendak berteriak “TOLONG!...”. Apadaya yang keluar Dari mulutnya hanya “MBEEKK!...”

Srigala semakin mendekat dan Lui mulai dapat melihat taring srigala yang tajam. Inilah akhir hidupku, pikir Lui. Jangtungnya terasa berdegup kencang. Moncong srigala membuka siap menerkam dan mencabik badan Lui. Lui memejamkan mata. Pasrah.

Tiba-tiba terdengar bunyi geletuk batu membentur kepala srigala diikuti kaingan makhluk sadis itu. Sekali lagi bunyi batu lemparan terjatuh di dekat kaki Lui. Lui membuka mata dan melihat ekor srigala yang tampak menjauh berlari kabur ketakutan.

Lui menarik nafas lega. Selamat… pikirnya. Badannya kembali lemas menahan rasa takut yang masih membuat tubuhnya gemetaran.

Sebuah pikiran buruk menyelinap di otak Lui. Bahaya lain sepertinya masih mengancam. Siapa gerangan yang melempar batu-batu ke arah srigala tadi. Jangan-jangan…

Lui mendengar bunyi langkah kaki tak jauh dari pohon nangka tempatnya terikat. Lui menoleh ke arah datangnya suara. Kembali rasa kaget dan takut menyapanya.

Terlihat oleh Lui dua orang lelaki berpakaian serba hitam dengan kepala dan wajah tertutup kain sarung. Hanya kedua matanya yang bebas jelalatan kesana kemari. Keduanya mengendap-ngendap mendekatinya. Hingga berjarak beberapa langkah…

“Heh… kambing montok, tenang ya…” bisik salah satu lelaki yang terlihat sangat gemuk. Lui melihat sorot mata si lelaki tampak waspada.

“Daripada kamu disembelih besok malam, lebih baik kamu ikut kami ke pasar dan memberi kami uang untuk bayar hutang,” Sambung lelaki satunya yang tampak sangat kurus. Sarung yang menutupi kepala dan wajahnya tampak turun memperlihatkan hidungnya yang tampak sangat datar.

Lui kembali bergidik ketakutan. Tak terpikir olehnya untuk menuruti kedua maling yang menawarkan umur sedikit lebih panjang. Tetap saja maling adalah sosok yang menakutkan untuk anak-anak seumur Lui.

Lui berusaha lari menjauh, lehernya terasa sakit menahan tali yang menjeratnya di pohon Nangka.

“Heh… tenang kambing montok …, jangan takut, kami akan menyelamatkanmu.” Kedua lelaki itu mendekat pelan-pelan. Dengan sangat hati-hati agar tidak membuat kegaduhan, tangan mereka mulai memegang tali pengikat leher Lui.

Lui panik. Ditendangnya ember bekas minum yang dibawa Jallo sekuat tenaga. Ember pun melayang dan mendarat tepat di kepala si lelaki kurus. Air yang masih tersisa mengguyur tubuh cekingnya.

Si lelaki kurus berdiri kebingungan. Kepala dan matanya tertutup ember yang seperti dibuat pas denga ukuran kepalanya sehingga sulit dilepas. Lelaki gendut tampak kaget kebingungan.

“Heh… Gendut, bantu aku lepas nih ember sialan…” panggil si kurus setengah berteriak.

“Hussss…. Jangan keras-keras, nanti mereka terbangun…” si gendut mendekati si kurus yang bergerak ke sana kemari tanpa arah. Kakinya menginjak sisa-sisa biji nangka yang licin dan membuatnya terpeleset jatuh menimpa si Gendut yang tengah berjalan mendekat.

“Sialan…” teriak si gendut tanpa sadar.

“Heh… siapa itu?” tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam rumah Jallo. Rupanya Bapak Jallo terbangun oleh bunyi gedebak-gedebuk dan susra teriakan si maling gendut.

“Tuh kan orangnya bangun… kamu sih maling amatiran” bisik si gendut lagi kesal,

“Siapa di luar ?” teriak bapak Jallo lagi.

Melihat kedua maling dalam kepanikan, Lui tidak melewatkan kesempatan emas itu dengan berteriak seolah minta tolong dan seperti biasa yang keluar dari mulutnya suara embikan yang keras.

Kedua maling semakin panik. Si gendut segera menarik tangan si kurus dan segera berlari menenmbus gelapnya kebun Ganyong di pinggir rumah Jallo. Si kurus pasrah mengikuti langkah si gendut dengan ember masih menutupi kepala dan matanya. Sesekali dia mengaduh saat kakinya menginjak duri dan kerikil tajam.

Saat Jallo dan bapaknya membuka pintu, kedua maling itu telah jauh lari dalam kegelapan.

“Kambing montok ada apa?” tanya Jallo sambil berjalan mendekati Lui yang tampak tersengal ketakutan.

“Sepertinya baru ada orang lewat.” Bapak jallo mengamati jejak telapak kaki di tanah basah tersiram air dari ember. Jallo mendekat dan ikut memperhatikan.

“Iya Ayah, sepertinya dua orang, telapak kakinya ada yang besar dan ada yang kecil.” Jawab Jallo.

“Wah-wah… jangan-jangan ada yang mau mencuri si kambing montok ini.” Terka sang Ayah sambil melihat Lui yang seperti menatapnya.

“Benar begitu kambing?” tanya Jallo ke arah Lui. Lui mengangguk.

“Tuh bener kan, Ayah, dia mengangguk. Dia mengerti bahasa kita.” Jallo mengelus-ngelus punggung Lui. Bapaknya hanya terkekeh, lucu melihat kelakuan anaknya.

“Ya, sudahlah Jallo, kita bawa saja si kambing ini ke dalam rumah. Kita ikat di ranjang dapur. Siapa tahu itu maling balik lagi, berabe kita kalau kambing ini sampai hilang.” Bapak Jallo melepas tali dari pohon nangka dan menuntun Lui ke dalam rumah.

Lui pasrah saja. Dia merasa tenang berada di dekat Jallo yang seperti dapat berkomunikasi dengannya.

Lui dibawa ke dalam dapur. Kembali Lui diikat di kaki ranjang kayu yang penuh dengan perabot. Setidaknya dia berada di dalam rumah, aman dari intaian srigala, pikir Lui.

*** Baca cerita dari AWAL

*** Baca kisah SEBELUMNYA

MAU MENDULANG UANG DARI MENULIS? Baca BUKU INI

Ikuti tulisan menarik Iswadi Suhari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu