x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ilmu Pengetahuan bagi Siapa Saja

Melalui open science dan networked science, persoalan ilmu pengetahuan secara potensial dapat dipecahkan lebih cepat berkat kontribusi banyak pikiran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kerja kolaboratif menjadi salah satu peluang yang ditawarkan internet dalam kerangka menghimpun pengetahuan. Beberapa perusahaan multinasional sudah memanfaatkan internet untuk membangun jejaring pengetahuan di lingkungan internal. Karyawan, manajer, dan para expert di lingkungan perusahaan dapat saling bertukar ilmu dan pengalaman. Dalam memecahkan persoalan yang pelik, pekerja di Indonesia dapat meminta atau menerima saran dari karyawan lain yang bertugas di Mexico atau Qatar.

Fenomena itu bukan hanya terlihat dalam lingkungan korporat. Beberapa studi menunjukkan bahwa teknologi internet memudahkan kerja kolaboratif di antara ilmuwan yang bekerja di lembaga yang berbeda-beda. Tim Gowers, seorang matematikawan di Cambridge University, Inggris, pernah melakukan eksperimen pada awal 2009. Ia memilih sebuah persoalan matematika yang pelik dan berusaha memecahkannya secara terbuka. Gowers memakai blognya untuk menaruh ide-ide pemecahannya secara bertahap.

Yang menarik, Gowers mengundang orang lain untuk menyumbangkan gagasan dengan pertimbangan ‘pikiran bersama’ lebih ampuh ketimbang pikiran satu orang. Beberapa jam setelah Gowers mengundang partisipasi, seorang matematikawan Hungaria memposting komentar. Lima belas menit kemudian, Terence Tao—matematikawan di University of California Los Angeles—mengirim komentar pula. Diskusi pun berlangsung. Dalam waktu enam pekan, persoalan matematika itu terpecahkan—sebuah hasil dari kecerdasan kolektif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kehadiran teknologi internet memang telah mendorong sains memasuki tahap baru, setidaknya bila mengikuti ide Diana Rhoten (The Dawn of Networked Science, 2007). Penelitian ilmiah, menurut Rhoten, telah melewati berbagai fase, yang dimulai dengan “bench-top science” di mana ilmuwan secara individu melakukan riset sendiri. Lalu riset memasuki fase “big science” yang melibatkan banyak ilmuwan dalam satu program, misalnya Manhattan Project dengan tujuan menciptakan bom atom.

Fase berikutnya ialah “team science” di mana peneliti dipekerjakan oleh banyak organisasi untuk melakukan riset pada satu proyek, contohnya Human Genome Project. Kini, tiba fase baru yang disebut “networked science” di mana ilmuwan dari berbagai organisasi bekerjasama untuk memecahkan persoalan tertentu, tapi mereka melakukannya sebagai individu di lingkungan riset yang tersebar. Contohnya, Biomedical Informatics Research Network.

Networked science, seperti dikatakan oleh Michael Nielson (Reiventing Discovery: The New Era of Networked Science, 2011) berpotensi untuk mempercepat penemuan. Tapi, dalam prakteknya dapat menghadapi kendala serius. Persaingan antar ilmuwan, misalnya, dalam upaya memperoleh dana hibah untuk riset, akan membuat mereka berpikir ulang untuk berbagi kemajuan riset mereka secara terbuka. Padahal, potensi untuk mempercepat penemuan sangat mungkin diwujudkan bila networked science ini bersifat terbuka (open science), sebagaimana sudah dicontohkan oleh perkembangan teknologi android atau linux atau wikipedia.

Wikipedia memang kerap disebut sebagai contoh hasil hebat dari kerja kolaboratif relawan-relawan yang tersebar di berbagai belahan Bumi. Mereka memberikan kontribusi dalam upaya menghimpun pengetahuan. Penyuntingan yang berulang-ulang merupakan upaya memperbaiki kualitas pengetahuan, memperbarui materi sesuai perkembangan, dan memperkaya keanekaragaman perspektifnya. Semangat yang diusung sangat jelas: pengetahuan adalah warisan bersama umat manusia.

Spirit serupa menjadi landasan apa yang disebut sebagai program open science. Melalui program ini diharapkan pertukaran pengetahuan dapat berlangsung di antara siapapun yang memilikinya. Sifatnya yang terbuka memungkinkan publik di luar lingkaran ilmuwan, akademisi, periset, dan universitas untuk dapat mengakses pengetahuan yang dikembangkan di lingkungan itu. Dalam konteks ini, peningkatan literasi sains di kalangan masyarakat awam dipandang sebagai ikhtiar yang strategis.

Sejumlah prakarsa memperlihatkan kesungguhan dalam mendorong pengetahuan agar dapat diakses publik luas. Salah satu yang patut dipuji ialah inisiatif MIT Open Course Ware yang dikelola oleh Massachusetts Institute of Technology, AS. Sejak dimulai pada 2001, perguruan tinggi ini membukakan pintunya bagi siapapun yang ingin memperoleh bahan-bahan kuliah. Pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan di institut ternama ini dapat diakses oleh orang-orang di luar Amerika. Dukungan dari kampus-kampus terkemuka, seperti Harvard, pun kemudian berdatangan.

Lebih dari 2.000 materi kuliah telah diunggah dan dikunjungi lebih dari 100 juta kali oleh puluhan juta individu dari berbagai benua. Lebih dari 200 universitas di seluruh dunia telah bekerjasama dengan MIT dalam mempublikasikan materi kuliah secara gratis dan terbuka dan secara kolektif menerbitkan materi lebih dari 13.000 kuliah—termasuk materi-materi yang langka. Kita yang berada di Indonesia bisa mengakses dengan leluasa dan kampus-kampus di Nigeria bisa mengunduh materi MIT Open Course Ware dan membahasnya di kelas-kelas mereka.

Public Library of Science juga sangat antusias dalam menyediakan scientific papers bagi siapa saja yang berkemauan mempelajari beragam bidang yang terkait biologi dan kedokteran. Program yang dipelopori BioMed Central ini merupakan contoh bagaimana internet dapat dipakai untuk kemaslahatan bersama, sebagai sesama manusia.

Melalui networked science, persoalan ilmu pengetahuan secara potensial dapat dipecahkan lebih cepat berkat kontribusi banyak pikiran. Internet mendorong ilmuwan berkolaborasi dalam memikirkan mulai dari galaksi sampai dinosaurus. Memperbaiki cara mengembangkan sains dapat mempercepat penemuan cara-cara mengobati penyakit, mengatasi persoalan perubahan iklim, maupun isu-isu mendesak lainnya.

Persoalannya ialah bagaimana mengubah yang ada selama ini dan mendorong dikembangkannya scientific culture yang menganut open sharing of knowledge. Ilmuwan mungkin berpikir bahwa ia telah berkutat di dalam laboratorium, bersusah payah melakukan eksperimen, menghimpun data, dan kemudian menganalisisnya; haruskah ia berbaik hati berbagi data dan pengetahuan yang diperolehnya kepada orang lain secara gratis?

Hambatan yang tak kalah besar datang dari regulasi, yang bila disahkan, akan membalikkan apa yang sudah berlangsung saat ini. Negara-negara maju mempunyai kecenderungan untuk membatasi atau bahkan melarang kegiatan scientific information sharing maupun mempublikasikan penemuan-penemuan ilmiah secara gratis kepada masyarakat umum. Bila masyarakat umum ingin membaca penemuan semacam itu, ia harus membayar ‘biaya akses’ untuk setiap scientific paper. Artinya, seperti dikatakan Michael B. Eisen, guru besar biologi sel dan molekuler di University of California, Berkeley, AS dan pendiri Public Library of Sciencen, masyarakat yang telah membiayai riset dengan cara membayar pajak harus membayar lagi untuk membaca hasil riset yang dibiayai oleh mereka.

Tantangan-tantangan cultural, yang datang dari kalangan keilmuan sendiri, maupun regulasi yang merupakan manifestasi kepentingan kelompok (ekonomi, politik dan kekuasaan, serta keilmuan) akan menghadang langkah maju networked science dan open science. Persekutuan kekuatan-kekuatan ini, terutama di AS dan negara maju lainnya, merupakan satu ancaman yang bisa menjadi titik balik dari segenap upaya open science yang berlangsung selama ini. (sumber ilustrasi: scot.ofkn.org)

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler