x

Iklan

Fadly Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah Syair Arab-Melayu di Sepinggan Piring

Tulisan ini berusaha memahami dinamika Islam Nusantara melalui syair-syair Arab-Melayu di kalangan umat Islam Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak kisah yang dikandung ragam artefak yang ditorehkan teks. Mulai dari inskripsi batu, pahatan kayu, lontar, hingga daluang. Semuanya itu menjadi sarana untuk membunyikan segala rupa peristiwa, maklumat, ayat suci, hingga syair melalui teks.

Setiap artefak hakikatnya punya ceritanya tersendiri. Misal saja kisah ”Cawan Suci” (Holy Grail) dalam kisah ”Perjamuan Terakhir” (Last Supper) yang dilukiskan secara menawan oleh Leonardo da Vinci. Saat-saat terakhir kebersamaan Yesus bersama murid-muridnya yang ditutup oleh sebuah perjamuan, terlihat Maria Magdalena menyodorkan Cawan Suci kepada Yesus. Cawan berisi anggur menjadi simbol kesucian pengorbanan darah Yesus saat-saat menjelang penyaliban. Dan Brown sebagai novelis sejarah mencoba merekonstruksi dan mengintegrasikan kisah Cawan Suci dalam narasi yang hidup dari baur imajinasi dan fakta-fakta. Tentu, nilai historis wadah seperti cawan akan lain makna historisnya jika bukan sekedar sebagai wadah minum, tapi juga wadah bagi teks-teks pengetahuan. Pun halnya larik-larik syair klasik Rubaiyyat-nya Ommar Khayam yang digandrungi dunia Eropa pada abad ke-19, berkali-kali menyebut “cawan anggur” sebagai simbol kebahagiaan jasmani dan ruhani.

Setidak-tidaknya itu juga barangkali yang terbuktikan dari piring-piring Inggris berhias sajak-sajak Melayu sebagaimana didapati di makam-makam Islam dalam hasil penelitian Henri Chambert-Loir: Melahap Teks: Piring-Piring Inggris Berhiasan Sajak Melayu (salah satu artikelnya dalam buku Sultan, Pahlawan dan Hakim [KPG, 2011]). Seperti halnya perburuan kisah Cawan Suci dan atau mereguk cawan anggur, barangkali itu juga yang dilakukan Henri. Sebagai filolog cum sejarawan yang piawai membaca aksara-aksara kuno Nusantara, Henri memeriksa sajak-sajak Melayu yang menghiasi piring-piring Inggris. Dan tersirat, bagi Henri teks-teks Melayu dalam piring Inggris, secara filologis bukan hanya soal menangani aksara, tapi juga mempunyai dimensi ideologis dan historis. Dimensi yang pertama agaknya tidak terlalu aneh baginya. Tapi, dimensi yang kedua telah membawa Henri kepada suatu penziarahan menarik yang melintasi ruang dan waktu tak diduga-duga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Piring-piring itu tertempel pada tembok di makam Sunan Bonang di Tuban, serta makam Sunan Gunung Jati dan Ki Gede Kebangusan di Cirebon. Memang, bukan hanya piring-piring buatan Inggris, tapi juga ada buatan Tionghoa. Hanya saja yang menarik dari buatan Inggris ini adalah teks-teks yang tertoreh di atas piring itu berbahasakan Melayu dengan teks beraksara Arab (Melayu pegon). Piring-piring bersajak Melayu itu tentu punya makna ideologis, dengan pasal itu ditempelkan di makam-makam Islam. Makam-makam itu sendiri berkurun tahun tua, tapi usia piring-piring itu sendiri ternyata berusia lebih muda karena dibuat dan banyak beredar pada pertengahan abad ke-19 di tempat-tempat berjauhan (Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, hingga Malaysia). Sehingga jelas penempelan piring-piring itu di tembok-tembok makam dilakukan jauh belakangan. Lalu, apa alasan penempelan itu?   

Menyoal ini, Henri cenderung memilah sisi lain dari teks-teks itu demi menemukan sisi historisnya. Baginya, jelas, sastra dan sejarah adalah dua hal yang saling berkaitan. Namun, semua teks berupa syair dalam piring-piring Inggris ternyata berkaitan dengan sejarah suatu nama, keluarga, dan para produsen piring-piring itu yang nun berada di Eropa (Inggris dan Belanda). Semua jenis piring Inggris berupa piring makan biasa dan piring sup memuat pantun di tepi dan syair di tengahnya. Ini menjadi pijakan awal Henri menziarahi teks-teks yang bukan hanya didapati di piring, tapi juga membunyikannya melalui telusur literatur. Serupa benar dengan kerja Sherlock Holmes menyusun puzzle kasus-kasus misteri. Dari empat buah pantun dalam tepian piring itulah puzzle misteri piring-piring Inggris disusun. Satu contoh pantunnya berbunyi begini: “yang membuat namanya Adam//Wakilnya Tolson di Betawi//Syair dan pantun banyaklah ragam//Janganlah Tuan kikir membeli.”

Sebuah larik pantun ternyata bisa membawa peneliti sejarah seperti Henri ke dalam dunia korporasi niaga yang tak ada hubungannya dengan makam-makam Islam. Pelacakannya atas rupa-rupa sumber literatur mulai dari “ensklopedia manufaktur porselin Inggris”, hingga “sejarah keluarga Adams” untuk membunyikan fakta-fakta di balik piring-piring Inggris itu berhasil mengenalkan Henri kepada perusahaan Tolson atau Anderson Tolson di Batavia yang menjadi agen dari “Adam” maupun “Anderson Hunt” di Inggris (hal. 155-157).   

 

Sisi menarik lainnya, piring-piring itu menempel di tembok-tembok makam Islam. Menjadi lebih menarik, teks-teks yang tertera di piring-piring itu bertuliskan aksara Arab berbahasa Melayu yang sedikit saja memuat tema religius. Selebihnya teks-teks bertema syair cinta dan wanita yang cenderung ‘erotis.’ Ambil misal bunyi syair yang dikutip Henri ini (hal: 163):

“Pahanya seperti paha belalang

Laksana manikam di dalam baling

Permainya bukan alang-kepalang

Barang yang memandang rasanya walang”

 

Hal yang menguatkan alasan mengapa tema erotis yang tak bernafas religius sedikitpun –meski sebenarnya syair bagi Omar Khayyam juga punya nilai religiusitas tersendiri– pada piring bisa ‘tersasar’ di tembok-tembok makam, tak lain itu lebih karena aksara Arabnya. Dengan lain kata, aksara Arab bagi si penempel piring itu boleh jadi dinilai merepresentasikan keislaman. Dan sebaliknya, Islam bagi si penempel, seperti halnya masyarakat muslim Indonesia, kadung selalu diidentikan dengan Arab. Semua yang berhuruf Arab dipastikan Islam(i). Karena Islam(i), maka huruf-huruf itu disakralkan. Ini juga yang membuat kisah sebuah piring bertuliskan basmalah dan hamdalah pada 1984 dilarang oleh pemerintah Indonesia dengan alasan tidak patut menaruh makanan di atas asma Allah (hal. 153 – 154).

 

Secara ideologis, hal ini memang menarik sekaligus menggelikan. Namun setidaknya, secara filologis Henri mungkin ingin memberi unjuk betapa di luar teks (paratext), aksara Arab-Melayu punya kisah-kisah menarik untuk ditafsirkan. Si seniman boleh saja dibilang punya selera seni kaligrafi dan syair yang tinggi ketika menempatkan teks Arab-Melayu di sepinggan piring. Namun ketika Islam selalu dikaitkan dengan keserba-Araban, akhirnya karya seni itu dimaknai jumud. Tampaknya, kejumudan yang banyak didapati sekarang memang telah berakar sejak silam.

Ikuti tulisan menarik Fadly Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler