x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah Para Pendiri yang Kembali ke Rumahnya

Mengelola unit bisnis bukanlah perkara kemampuan manajerial semata, melainkan di dalamnya tersimpan ruh yang menggerakkan perusahaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berikut ini cerita tentang orang-orang yang mendirikan perusahaan, lalu pergi—atas kehendak sendiri maupun karena didepak, untuk kemudian mereka kembali. Kisah mereka menyingkapkan rahasia bahwa mengelola unit bisnis (atau apapun) bukanlah perkara kemampuan manajerial semata, melainkan di dalamnya tersimpan ruh yang dinamai oleh banyak orang sebagai passion, nilai-nilai, dan tujuan berbisnis. Begini kisah ringkasnya:

Tatkala Howard Schultz memilih mundur dari jabatan Chief Executive Officer Starbucks pada 2000, jaringan kedai kopi ini adalah salah satu merek yang paling diakui di dunia. Schultz memang masih menjabat sebagai Chairman, tapi ia sudah menyerahkan kegiatan operasional sehari-hari kepada Jim Donald. Delapan tahun kemudian, Starbucks mengalami masa-masa sukar dan kehilangan langkah strategis saat ekonomi global didera krisis.

Ketika ia mengambil kembali kursi CEO, tahulah Schultz bahwa banyak hal ternyata lebih buruk dari yang ia bayangkan. Dalam wawancara dengan Harvard Business Review, lelaki jangkung ini mengaku banyak keputusan yang harus diambil sangatlah sukar, di antaranya melepas Jim Donald. Namun ia harus memikirkan 180 ribu karyawan beserta keluarganya. “Kami harus mengakui bahwa kami telah berbuat salah,” tuturnya. “Begitu kami menyampaikan pengakuan itu, ini menjadi kekuatan bagi perubahan. Ini tak ubahnya ketika Anda memendam rahasia dan kemudian mengungkapkannya. Beban itu seperti lepas dari pundak Anda.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Schultz mengikuti jejak Steve Jobs dan Michael Dell, pulang ke rumah dengan perasaan gemas menyaksikan perusahaan yang mereka dirikan menunjukkan tanda-tanda kemerosotan. Schultz khawatir bahwa budaya, misi, dan nilai-nilai khas Starbucks yang telah membawa perusahaan sampai kepada keberhasilannya bakal tererosi.

Menurut Schultz, ia kembali ke peran operasional sebab ia merasa bahwa jalan keluar dari krisis bukan perubahan sederhana dalam strategi bisnis, melainkan—dalam kata-katanya—“love and nurturing.” Kuncinya ialah merevitalisasi investasi pada orang, meneguhkan kembali komitmen pada tujuan inti organisasi, dan menyediakan harapan dan inspirasi bagi karyawan.

Schultz mengatakan, transformasi Starbucks sejak revitalisasi telah menjadi kunci bagi lahirnya banyak inovbasi baru dalam perusahaan. Orang-orang mengatakan kepadanya bahwa kembalinya Schultz mengingatkan mereka pada masa-masa awal Starbucks. Schultz mengajak 10.000 orang terbaiknya dan mengumpulkan mereka di New Orleans pada 2008 untuk menghadiri konferensi tentang kepemimpinan. Mereka menghabiskan  50.000 volunteer hours guna membantu masyarakat membangun-kembali kota yang baru saja diterjang Badai Katrina itu.

Menurut Schultz, peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa terpenting yang membangkitkan kembali budaya Starbucks, dan ia melakukan banyak investasi meski menghadapi oposisi dari pemegang saham yang marah, yang tidak memahami bagaimana belanja di saat itu akan mendatangkan manfaat bagi perusahaan. Sebagai pelajaran untuk masa mendatang, kata Schultz, merek yang hebat menyediakan hubungan emosional dan sense of discovery yang terus berjalan, dan ini berasal dari ikhtiar membangun merek dari dalam.

Meski Schultz mengatakan ada hal-hal baik pada diri Jim Donald, tapi ia mengakui bahwa kelemahannya ialah tidak memiliki pengganti yang siap dari dalam perusahaan. Menurut Schultz, bagi orang luar, mempertahankan budaya dan nilai perusahaan merupakan tantangan yang sukar. Ia mengatakan tidak akan berbuat kesalahan lagi dan menyiapkan penggantinya dari dalam.

Sebagai Chairman Dell Inc., Michael Dell juga mengalami kegusaran serupa. Setahun lebih awal dari Schultz, Dell terpaksa kembali ke perannya sebagai CEO setelah Kevin Rollins mengundurkan diri dari jajaran direksi. Soalnya nilai-nilai juga, dan kepemimpinan. “Direksi yakin bahwa visi dan kepemimpinan Michael merupakan hal yang kritis untuk membangun kepemimpinan Dell dalam industri teknologi dalam jangka panjang,” kata Samuel A. Nunn, salah seorang direktur. Bahkan, agak berlebihan ia mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih baik di dunia ini untuk menjalankan Dell Inc. saat ini selain pria yang menciptakan model langsung dan yang telah membangun perusahaan ini lebih dari 23 tahun terakhir.” Tahun 2007, ketika Michael kembali ke rumahnya, Dell Inc. kehilangan pangsa pasar yang digerus oleh Hewlett-Packard.

“(Perusahaan) Dell memiliki peluang luar biasa untuk memimpin,” kata Michael Dell. “Saya sangat antusias perihal Dell 2.0, yang mencakup rencana kami untuk menyediakan pengalaman terbaik bagi pelanggan, membangun bisnis jasa global yang kuat dan menjamin produk kami memberikan nilai pelanggan terbaik dalam jangka panjang.”

Sebagaimana Schultz memuji Jim, Dell memuji Rollins. “Kevin telah menjadi mitra bisnis yang hebat dan seorang kawan. Ia memberikan kontribusi signifikan pada bisnis kami selama 10 tahun yang lewat. Saya ingin dia sukses di masa depan.”

Nasib Steve Jobs agaknya tak seberuntung Schultz maupun Dell. Ia bukan saja didepak oleh orang yang ia rekrut untuk memimpin perusahaan yang ia dirikan. Bahkan, tak seperti Schultz dan Dell, Jobs tidak memperoleh kursi Chairman sekalipun. Ia benar-benar ditendang keluar dari Apple Inc. ketika itu dan kemudian mendirikan NeXT dan Pixar. NeXT gagal berkembang, tapi Pixar menandai tonggak-tonggak pembaruan dalam film animasi.

Apple dalam kondisi buruk ketika Jobs diminta masuk kembali. Harga sahamnya merosot terus, dan moral karyawan bahkan merosot lebih cepat. Sejumlah orang yang didudukkan sebagai CEO Apple Inc. tak mampu mengemudikan bahtera perusahaan dengan sukses. Mereka mampu membuat Apple tetap berproduksi, tetapi mereka gagal menyalakan ruh yang menghidupkan kreativitas para awak Apple.  Menghidupkan spirit inovasi itulah yang dilakukan Jobs sekembalinya ke Apple dan ia terus menjaganya sampat ia meninggal.

Jadi, apa alasan sesungguhnya kepulangan mereka? Alasan-alasan psikologi seperti tidak rela kehilangan “anak kandung” sendiri dan frustrasi hanya bisa menyaksikan kemerosotan perusahaan tanpa sanggup berbuat apapun tanpa jabatan resmi mungkin tidak memadai. Mungkinkah ada alasan lain?

Pertama-tama, para pendiri seperti Schultz, Dell, dan Jobs memiliki “genggaman” yang jauh lebih baik dibandingkan dengan para penggantinya dalam mengelola bisnis maupun orang-orangnya. Seperti kalau kita bermain tenis atau badminton, kita sanggup mengayunkan raket dengan nyaman dan luwes—naluri dan spirit kita tersalur melalui lengan-lenngan kita. Keberhasilan awal mereka didasarkan atas ketrampilan intuitif yang brilian, yang memungkinkan mereka menciptakan nilai yang unik bagi pelanggan mereka dan mengilhami karyawan mereka.

Mereka memadukan intuisi dengan “drive” yang sukar dihentikan hingga menyaksikan bisnis mereka berhasil dan kemampuan memotivasi tim mereka untuk mencapai performansi puncak. Mereka adalah gifted leaders, bahkan tanpa pelatihan manajemen formal. Mereka lebih banyak ditempa oleh kesalahan dan kegagalan.

Di sisi lain, penerus seperti Jim Donald di Starbucks, John Scully di Apple, maupun Kevin Rollins di Dell adalah para manajer professional yang mengkhususkan diri dalam proses-proses manajemen, tetapi tidak memiliki kreativitas intuitif dan passion seperti pendirinya. Dalam upaya menegakkan tipe disiplin dan pendekatan sistematis yang dipraktikkan seperti di General Electric, mereka gagal untuk menggenggam apa yang membuat bisnis mereka sukses dan justru mendemotivasi orang-orang kunci yang membuat perusahaan berjalan. Seringkali, mereka menghabiskan lebih banyak waktu di ruang-ruang rapat ketimbang bekerja di pasar, dan lebih banyak bergulat dengan angka-angka ketimbang belajar dari karyawan mereka—orang yang dari jam ke jam meracik kopi untuk pelanggan maupun merakit komputer dan mengisinya dengan perangkat lunak.

Howard Schultz membangun Starbucks berdasarkan prinsip bahwa “karyawan yang puas menciptakan pelanggan yang puas.” Sebagai chairman, ia mengunjungi duapuluh kedai setiap minggu, hanya untuk melihat bagaimana hubungan antara karyawan Starbucks dan karyawan mereka. Apa yang ia saksikan tak lama setelah ia mundur dari posisi CEO sangatlah mengganggu dirinya: dalam upaya mempercepat layanan, manajemen Starbucks menaruh mesin besar otomatis di antara barista dan pelanggan, sehingga pelanggan tidak bisa mencium aroma saat kopi diseduh. Tiba-tiba saja, Starbucks menjadi lebih menyerupai kedai McDonald’s. Schultz menulis memo rahasia kepada penggantinya dan mengekspresikan keprihatinan ini. Ia merasa tidak bahagia ketika mengetahui bahwa memo itu bocor kepada media.

Ketiga contoh ini memberikan wawasan berharga mengenai apa yang membuat perusahaan sukses. Secara sederhana, ini perkara kepemimpinan. Banyak sekali manajer yang mengetahui bagaimana mengelola anggaran, menganalisis model-model computer tentang input, proses, dan output, serta menjalankan bisnis dengan sistem dan prosedur yang canggih. Sekolah bisnis melahirkan banyak orang seperti itu. Namun, para manajer yang terlalu berorientasi pada analisis ini kehilangan apa yang membuat para pendiri itu berhasil. Dan prinsip serupa berlaku di medan yang lain. (foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler