x

Iklan

Abdul Munir A.S

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inspirasi; Bersyukurnya Si Supir Taksi Bluebird

Kata-katanya yang sederhana itu, menyungsep ke hati saya. Bahwa semua orang memiliki cara sendiri-sendiri mengartikan kekayaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Malam itu saya diserang kantuk yang sangat. Di pojok pertigaan Pasar Genjing-Pramuka, saya menyetop taxi Bluebird. Ketika taksii meminggir, tampang supirnya tersingkap lewat celah jendela mobil yang diturunkannya sedikit.

Saya mempaerhatikannya sejenak. Rambutnya beruban, memakai topi cokelat. Tekstur mukanya keriput. Goresan usianya yang senja, nampak kontras menembus malam sedikit gelap di pojok pertigaan jalan itu. Tapi air mukanya teduh. Meski gelombang garis keriput meliuk tak beraturan di bawah dua kantung matanya

“Pak, saya mau ke Cibubur”. Ia mengangguk kecil. Suaranya sesak. Ketika kaki kanan saya mendarat di taxi, engah napasnya lirih melintas di telinga. Saya sempat bertanya lagi, “yakin pak ke Cibubur, lumayan jauh lo pak”. Ia baru mengeluarkan suaranya “insya Allah masih kuat pak”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepanjang jalan, kami tak terlibat obrolan panjang. Saya berusaha menjaga konsentrasinya karena kami lewat tol Jagorawi. Jalan tol sepi. Kakinya yang menua, terus tancap gas. Jarum speedometer mematuk angka 80-100. Lumayan kencang.

Ketika keluar tol Cibubur, saya baru memulai obrolan. “berapa usia bapak?” dengan suara terang ia menjawab “Saya udah 68, Alhamdulillah, di usia seperti ini saya jarang sakit dan mata masih terang”.

Memang benar, sepanjang jalan ia tak cacat sedikitpun mengendarai taxi. Taxi yang dikendarainya melaju kencang. Nyalip dan mendahului kendaraan lain pun dilakukannya halus.

Saya tak sempat menanyakan namanya. Sepanjang jalan, ketika keluar tol Cibubur, sambil mengusap dada dengan tangan kiri, supir tua itu bergumam, “kesehatan diusia seperti ini, adalah kekayaan dan rahmat Tuhan yang tak henti-hentinya saya syukuri”.

Kata-katanya yang sederhana itu, menyungsep ke hati saya. Bahwa semua orang memiliki cara sendiri-sendiri mengartikan kekayaan.

Di luar sana, jumhur orang mengira, kekayaan sesuatu yang nampak, dan dapat memuaskan syahwat duniawi. Banyak orang kaya (materi), mengira kesehatannya sesuatu yang given, lalu dengannya ia mengeksploitasi raganya dengan cara-cara yang zalim.

Beda dengan supir taxi tua dimalam itu, kekayaan kesehatan (ragawi), diartikan sebagai sebab ia bersyukur pada Tuhan tanpa henti. Kesehatan diartikan sebagai emanasi wujud kasih Ilahi. Lantas dengannya memompa spiritualitas yang dalam.

Saya menikmati perjalanan ini, dengan impresi spiritual yang tinggi. Tanpa terasa kami merapat di mall Citra Grand Cileungsi. Saya turun dari taxi dan menyodorkan ongkos taxi Rp. 100.000. Argo taksi dimatikanya dengan kedip lampu indikator Rp.71.000.

“Kembalinya untuk bapak, malam ini, saya mendapatkan siraman makna yang dalam dari bapak, judulnya ; mensyukuri nikmat kesehatan”. Ia lantas menimpali saya, “semoga keikhlasan bapak, memberikan berkah”. Supir taxi tua, dengan sensitifitas keimanan yang tinggi. Selamat bekerja pak. []

 
 

Ikuti tulisan menarik Abdul Munir A.S lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB