x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agar Hidangan Enak Tak Jadi Hambar

Hidangan yang enak sekalipun akan terasa hambar bila disajikan sembari cemberut. Keterampilan soft layak betul dikuasai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak manajer yang nyaman berurusan dengan kerumitan dalam menangani aspek finansial, peralatan, logistik, maupun rantai pasokan. Tapi, bagi mereka, aspek manusia dalam kepemimpinan terasa lebih intimidatif. Maksud saya, karena manusia bisa tersenyum, cemberut, bete, ataupun marah terpendam dan kesal diam-diam, manajer tertentu—khususnya yang sensitif secara emosional—akan merasa terganggu dan ia akan merasa semakin pening ketika menemui kenyataan bahwa mengubah sikap ketus menjadi ramah bukanlah soal yang ringan.

Orang menyebut kemampuan untuk tetap tersenyum di hadapan pelanggan yang kesal adalah sejenis keterampilan lunak (soft skill). Keterampilan ini juga sangat diperlukan saat bernegosiasi—kita tak bisa menawar harga sembari marah-marah, kita perlu membujuk agar kita dapat memperoleh harga yang kita inginkan. Dan ini merupakan sisi sebaliknya (soft side) dari mata uang bisnis yang sama: sisi lainnya ya itu tadi masalah keuangan, teknis, ketersediaan barang.

Jadi terbayang bahwa kadang-kadang sisi lunak dari urusan bisnis itu sungguh intimidatif. Itu pula yang terbayang ketika seorang manajer menceritakan upayanya: “Kami sudah melakukan banyak perubahan untuk memberi layanan yang lebih bagus.” Sebagai teman, saya merasa senang. Dengan bangga pula ia menceritakan investasi besar yang dialokasikan perusahaannya untuk memerbaiki kualitas layanan, mulai dari perbaikan ruang tunggu, model antrian yang lebih efisien, serta servis yang lebih cepat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lantaran itu saya tertarik untuk mendatangi kantor cabang yang ia pimpin. Kebetulan saya ingin membuka rekening. Saat duduk di depan petugas customer service, saya mendapati wajah yang kurang ramah. Permintaan membuka rekening saya memang dilayani, tapi petugas ini bolak-balik bangkit dari tempat duduknya ke tempat lain tanpa ba-bi-bu.

Akhirnya, begitu urusan selesai, saya beranjak dengan satu pengalaman ‘service encounter’ yang tidak terlupakan. Sebenarnya saya tak ingin menceritakan pengalaman ini kepada kawan saya yang manajer itu. Tapi, jika ia tidak tahu, ia akan merasa pelayanan yang diberikan kantor cabangnya “oke-oke saja”.

Saya katakan, perubahan yang dilakukan perusahaannya mirip dengan apa yang dikerjakan sebuah restoran terkenal. Juga kebanyakan perusahaan jasa. Ada kesan bahwa peningkatan kualitas layanan cukup dilakukan semata-mata dengan memperbarui teknologi yang digunakan maupun cara mengatur antrian. Seolah-olah, dengan perubahan seperti itu, konsumen akan serta merta terpuaskan.

Contohnya di restoran tadi; yang berlangsung adalah pergantian adegan yang serba terburu-buru. Karyawan mengajukan pertanyaan dengan cepat: “Mau pesan apa? Mau ini, atau itu.” Konsumen yang mau pesan terkadang malah bingung diberondong pertanyaan dan tawaran yang bertubi-tubi. Begitu pesanan disebutkan, karyawan bergerak cepat menyiapkan pesanan.

Layanan memang tersampaikan kepada konsumen lebih cepat. Namun barangkali perusahaan ini agak mengabaikan keseluruhan situasi psikologis yang membentuk ‘service encounter’—saat jasa disampaikan kepada konsumen. Misalnya, ketika nasabah berhadapan dengan teller, atau karyawan restoran menyerahkan pesanan kepada pelanggan yang menunggu di meja atau di baris antrian, ia tidak memperhatikan situasi emosional pelanggannya.

Seringkali terjadi, hal-hal psikologis yang mempengaruhi persepsi pelanggan terabaikan. Terutama, saat pengunjung banyak, antrian panjang, atau di saat karyawan sudah memerlukan jeda tapi ‘jam istirahat’ belum tiba. Di waktu seperti itu, karyawan yang mulai lelah akan kehilangan senyum dan tidak lagi sabar memberikan layanan. Atau ia mengambil peluang untuk ngobrol dengan temannya untuk menghalau rasa jenuhnya.

Investasi teknologi dan memperbaiki model antrian kerap dilakukan oleh perusahaan untuk memperpendek waktu tunggu. Perusahaan memang lebih mudah mengukur hal-hal yang konkret seperti berapa lama seorang nasabah menunggu untuk dilayani atau berapa lama hidangan yang dipesan sampai ke meja pelanggan.

Namun ada hal-hal yang lebih subyektif, seperti perasaan dan emosi pelanggan, yang lebih sukar digambarkan dan diukur. Apakah pelanggan menikmati hidangan yang disajikan? Apakah nasabah menjadi lebih tenang setelah menelpon service center karena kartunya tertelan ATM? Padahal ini amat penting dalam memengaruhi persepsi pelanggan terhadap layanan/jasa maupun terhadap perusahaan itu sendiri.

Saya mencoba mengingat lagi tiga unsur “soft side” yang disebut oleh Siram Dasu dan Richard B. Chase, keduanya guru besar di Marshall School of Business, AS, sebagai faktor ETC, yakni emotion, trust and control. Hal-hal emosional mudah diingat oleh pelanggan, misalnya ketika petugas bersikap kurang ramah atau sebaliknya sangat membantu. Misalnya saja, mengangkatkan koper yang relatif berat.

Kepercayaan juga mendatangkan rasa nyaman. Pelanggan ingin lingkungan sekitarnya terkendali, dan kendali terkait dengan kepercayaan. Makin tinggi kepercayaan pelanggan, makin rendah kebutuhan mereka untuk mengendalikan lingkungan saat service encounter terjadi. Pelanggan merasa nyaman dan percaya bahwa hasil dari service encounter itu ialah pengalaman menggunakan jasa yang menyenangkan.

Seperti halnya sistem komputer diperbarui agar karyawan bisa lebih cepat mengakses data atau rantai pasokan dipangkas agar lebih efisien, hal-hal yang sifatnya “soft” juga perlu dicermati betul. Desain jasa yang bagus, menurut Dasu dan Chase, membutuhkan perhatian serius atas rangkaian peristiwa yang membentuk jasa itu. Seumpama di restoran, mulai dari saat pelanggan datang sampai meninggalkan restoran, sisi-sisi ‘soft’ dari jasa ini tak boleh diabaikan. Hidangan enak sekalipun, jika disajikan sembari cemberut, rasanya jadi hambar. (foto: tempo.co.) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler